jpnn.com - Dalam beberapa hari terakhir ini, sangat terasa keriuhan publik menanggapi Program Kartu Prakerja yang sudah diluncurkan oleh Pemerintah.
Betapa tidak, program yang diharapkan bisa membantu kalangan pekerja formal dan informal yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau sudah tidak bisa lagi berusaha selama terjadinya Pandemi Covid-19 malah banyak berputar di perusahaan unicorn, dengan kemasan biaya pelatihan.
BACA JUGA: Deddy Sitorus Sarankan Kartu Prakerja Diubah Jadi Modal Usaha Rakyat
Saya berharap, jika memang program tersebut kurang tepat sasaran, Pemerintah mau mengoreksi dan segera memperbaikinya.
Saya mengikuti dengan seksama setiap usulan tambahan belanja dan pembiayaan yang diajukan Pemerintah, termasuk untuk Program Kartu Prakerja. Program Kartu Pra-kerja merupakan bagian dari program Social Safety Net (SSN) yang telah dipersiapkan oleh Pemerintah, untuk membantu para pekerja formal maupun informal pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang terdampak dari berkurangnya aktivitas ekonomi, selama terjadinya wabah Covid-19.
BACA JUGA: Pendaftaran Kartu Prakerja Dibuka Kembali, Begini Cara Daftarnya
Adapun, anggaran yang dialokasikan untuk program SSN sebesar Rp 110 Triliun. Untuk anggaran yang alokasikan untuk program Kartu Pra Kerja pada tahun 2020 sebesar Rp 20 triliun.
Catatan Bagi Kartu Prakerja
BACA JUGA: Luar Biasa! Kepala Pusat Krisis Memberi Jempol Dua Buat TNI
Saya memiliki beberapa catatan yang bisa menjadi perhatian bagi Pemerintah dalam memperbaiki program Kartu Prakerja ini ke depan.
Pertama, dari sisi anggaran. Alokasi anggaran sebesar Rp 20 Triliun dalam setahun, bukan anggaran yang kecil, bisa membiayai dua puluh Kementerian Koperasi dan Usaha kecil Menengah (KUMKM) yang anggaranya tidak sampai Rp 1 triliun untuk tahun 2020. Oleh sebab itu, penggunaanya harus tepat sasaran.
Pemerintah menargetkan sekitar 5,6 juta perserta, dengan biaya bantuan pelatihan sebesar Rp 1.000.000 per peserta. Adapun, besaran manfaat insentif setelah penuntasan pelatihan sebesar Rp 600.000 per bulan per peserta selama empat bulan atau total Rp 2.400.000 per peserta.
Sedangkan, besaran manfaat insentif survei kebekerjaan sebesar Rp 50.000 per survei per peserta untuk tiga kali survei atau total Rp 150.000 per peserta, sehingga total besaran manfaat per peserta, sebesar Rp 3.550.000.
Biaya yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah untuk pelatihannya saja adalah sebesar Rp 5,6 triliun. Angka ini jelas terlalu besar, jika kita lihat Cost per unit yang diberikan adalah setara dengan cost profesional normal, tidak terlihat sebagai program bantuan untuk krisis.
Sehingga jika 5,6 juta peserta mengakses program tersebut, maka keuntungan yang diterima oleh lembaga penyelenggara tersebut sangat besar sekali. Tetapi di sisi lain, biaya yang harus ditanggung oleh Pemerintah tidak sepadan dengan hasil yang akan didapat.
Kedua, dari sisi efektifitas. Dalam kondisi seperti saat ini, dimana para pekerja banyak yang mengalami PHK atau tidak mampu lagi melanjutkan usahanya akibat berhentinya aktivitas ekonomi. Bantuan paling efektif yang bisa diberikan adalah bantuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dalam 3 sampai 6 bulan ke depan.
Saya mengusulkan, besaran manfaat insentif setelah penuntasan pelatihan sebesar Rp 600.000 per bulan per peserta selama empat bulan, bisa dimanfaatkan terlebih dahulu untuk membantu memenuhi kebutuhan pokok para pekerja dan keluarganya.
Program Kartu Prakerja yang menawarkan program pelatihan yang dilaksanakan secara daring (online), seperti menulis kontent; make-up; berbicara di depan publik; buat web design; menjadi barista; bagaimana naik jabatan dan lain sebagainya. Pelatihan yang diberikan umumnya mendorong kemandirian, tetapi tidak cukup hanya melalui Online.
Program ini seharusnya, butuh pendampingan, membuka akses pasar, permodalan dan sebagainya. Sebaiknya, dengan melihat model pelatihan yang bersifat soft skiil, maka sebaiknya ditunda setelah kondisi mulai membaik.
Terlebih keputusan ini menguntungkan perusahaan staf khusus presiden, meskipun tidak ada intervensi pandangan publik akan melihat hal ini sebagai konflik kepentingan.
Ketiga, dari sisi sasaran dan skala prioritas. Data dari berbagai daerah menyebutkan, terdapat lima sektor yang paling terdampak akibat wabah Covid-19. Antara lain sektor tranportasi; konstruksi; pariwisata; ketenagakerjaan; dan UMKM.
Pemerintah sendiri memperkirakan terdapat sekitar 4,6 juta pekerja yang di PHK atau dirumahkan selama Covid-19. Sudah bisa dipastikan saat ini, mereka tidak lagi punya penghasilan.
Bantuan paling tepat buat mereka saat ini adalah bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan pokok bagi keluarganya. Jadi dengan melihat sasaran dan skala prioritas untuk saat ini, jelas tidak tepat.
Menata Sektor UMKM
Saya membayangkan salah satu hikmah yang bisa kita petik akibat terjadinya wabah Covid-19 ini adalah menata kembali sektor UMKM kita, untuk menjadi salah satu penggerak motor perekonomian nasional pasca krisis ekonomi yang kita alami saat ini.
Dengan jumlah UMKM di Indonesia yang 62, 9 juta unit usaha, mencapai 99,9 persen dari total unit usaha di Indonesia, memapu menyerap 89,2 persen dari total tenaga kerja. Sehingga, sektor UMKM sesungguhnya telah menajadi lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional.
Krisis ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 ini, telah berdampak kepada semua sektor ekonomi, khususnya sektor riil. Jika 60 persen saja sektor UMKM berhenti beroperasi saat ini, maka ada sekitar 37,74 juta unit usaha yang tidak bisa lagi melanjutkan usahanya. Bisa dipastikan mereka juga kehilangan modal untuk memulai usahannya kembali.
Dari data tersebut, diambil 10 persen saja unit usaha yang terdata sesuai dengan kriteria by name by addres, maka akan terdapat 3,7 juta unit usaha UMKM yang bisa segera dibantu.
Prioritas utama bantuan untuk saat ini adalah memenuhi kebutuhan hidup selama tiga bulan kedepan. Sehingga, alokasi dana pasca pelatihan sebesar Rp 600.000 per bulan per peserta, bisa dimanfaatkan terlebih dahulu.
Saat ini, merupakan momentum paling tepat bagi Pemerintah untuk menata ulang kebaradaan UMKM dalam Perekonomian nasional. Mulai dari masalah permodalan, peningkatan kualitas dan daya saing produk, kemampuan manajerial pengelolaan usaha, akses pasar dalam memasarkan produk hingga terintegrasi dengan Global Value Chain, agar dapat terhubung dengan pasar Global.
Kesemuanya ini memerlukan keseriusan dan konsistensi kebijakan dari Pemerintah. Dari sinilah nantinya kita harapkan, program-program pelatihan Kartu Pra Kerja tersebut bisa masuk, secara lebih efektif, tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan penataan UMKM.
Oleh karena itu, ketika nantinya Pemerintah memulai melakukan program recovery ekonomi pasca Covid-19, sektor UMKM sudah siap menjadi sektor terdepan dalam proses percepatan pemulihan ekonomi.
Kontribusi sektor UMKM terhadap perekonomian juga semakin besar, sehingga bisa merubah struktur ekonomi nasional dari piramida menjadi struktur belah ketupat, dimana sektor UMKM mengisi ruang terbesar dalam struktur ekonomi nasional.(***)
Redaktur & Reporter : Friederich