jpnn.com - Karya Tulus Setiyadi kini kerap menjadi rujukan para mahasiswa untuk bahan skripsi dan diskusi akademis tentang bahasa Jawa. Padahal, Tulus tidak punya latar belakang ilmu sastra Jawa.
Agus Dwi Prasetyo, Madiun
BACA JUGA: 9 Langkah Membuang Bayang-bayang Mantan Kekasih
Salaku-lakune dingati-ati supaya ora nganti jlungup maneh marang tumindak kang ora becik.
Saiki Lastri wis bisa padhang atine.
Tekade tetep arep nggondeli marang gegayuhane, ngrungkebi marang kabudayane.
LASTRI hampir saja melakukan tindakan di luar batas. Kesucian ledhek atau penari tayub berparas cantik itu nyaris terenggut oleh Fery, pria tampan yang dikenalnya di sebuah mal.
BACA JUGA: David Beckham Minta Diajari Bahasa Jawa, Lucu, Ngakak Banget
Godaan untuk berbuat layaknya suami istri di kamar kos Fery ditolak Lastri setelah melihat kilatan petir yang menyambar.
Fery bukanlah satu-satunya pria yang mengagumi kecantikan Lastri. Ustad Yusuf dan Widi (anak anggota DPR) juga tergila-gila pada dara 24 tahun tersebut. Namun, cinta mereka terhadap Lastri tidak mendapat restu keluarga masing-masing. Keluarga memandang profesi Lastri sebagai ledhek cenderung negatif.
Hati lurah juga tertambat pada kemolekan Lastri. Mereka tidak sengaja bertemu di sebuah acara di Air Terjun Sedudo, Nganjuk.
Sang lurah pun mengutarakan isi hatinya saat perjalanan pulang mengantar Lastri ke rumahnya di wilayah Mojopurno, Kabupaten Madiun. Namun, Lastri menolak dengan halus. Dia khawatir menikah dengan pria berkeluarga bisa merusak pagar ayu.
Pinangan demi pinangan datang silih berganti. Namun, Lastri belum juga menemukan sosok pendamping yang tepat. Yang mau menerima dirinya apa adanya sebagai seorang ledhek. Tanpa embel-embel ini itu. Tanpa harus melalui perdebatan panjang tentang pemahaman agama dan budaya.
Hingga akhirnya Lastri bertemu dengan mantan kekasihnya semasa SMA dulu. Keduanya masih memendam rasa suka meski telah berpisah cukup lama.
Pria yang berstatus duda dan bergelar haji tersebut dengan senang hati menikahi Lastri tanpa menyoal profesi. Saat resepsi pernikahan digelar, Lastri mengundang para mantan yang pernah terlibat asmara dengannya.
Kisah di atas merupakan bagian dalam novel Ledhek saka Ereng-erenge Gunung Wilis yang ditulis Tulus. Lastri digambarkan sebagai seorang penari tayub yang tinggal di lereng Gunung Wilis, Madiun.
Tulus hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh hari untuk menyelesaikan novel yang mendapat Anugerah Sutasoma Balai Bahasa Jawa Timur kategori Karya Sastra Daerah Terbaik pada 2017 itu.
”Kisah ini (Ledhek saka Ereng-erenge Gunung Wilis) fiksi,” kata Tulus saat ditemui Jawa Pos di rumahnya di Desa Banjarsari, Madiun. Itu merupakan satu di antara 21 novel yang ditulis Tulus selama dua tahun terakhir.
Artinya, satu buku rata-rata hanya diselesaikan dalam waktu satu bulan. Waktu yang terbilang singkat bagi seorang penulis.
Semua novel ditulis berbahasa Jawa Mataraman. Maklum, Tulus lahir dan besar di Madiun yang merupakan kawasan Jawa Mataraman. ”Dulu (sebelum menulis, Red) saya sering dolan dan mempelajari kebudayaan-kebudayaan lokal. Jadi, secara otomatis jalan sendiri otak saya, otodidak,” ungkap Tulus, lantas tersenyum.
Mayoritas novel yang ditulis Tulus menceritakan kisah cinta dan budaya masyarakat Jawa. Dengan latar belakang atau setting peristiwa di pedesaan yang memang banyak dijumpai di wilayah Karesidenan Madiun. Di samping Ledhek saka Ereng-erenge Gunung Wilis, ada novel-novel lain yang juga bercerita tentang petualangan cinta. Salah satunya Sindhen Padmi.
”Sehari sekitar enam sampai tujuh kali membuka komputer. Saya mengalir saja. Karena saya bukan mencari daftar pustaka,” ungkap pria bujang 45 tahun tersebut. Selain menulis, Tulus sibuk menggarap sawah di dekat rumahnya.
Dua profesi yang sangat kontras itu dia jalani bersamaan. ”Kalau musim panen (padi), waktu untuk menulis sedikit berkurang,” ujarnya.
Sebagai seorang petani, kelihaian Tulus mengolah kata berbahasa Jawa menjadi sebuah novel diapresiasi sejumlah pihak. Bahkan, selama setahun terakhir, beberapa penggemar sastra Jawa dan mahasiswa program studi ilmu sastra Jawa dari sejumlah universitas datang ke rumahnya untuk sekadar menimba atau bertukar pengetahuan. ”Ada yang menjadikan novel saya sebagai bahan tesis untuk pascasarjana juga,” ucapnya.
Secara akademis, perbedaan penulisan dan penyebutan kosakata dalam bahasa Jawa memang masih kerap ditemui. Hal itulah yang sering menjadi perdebatan di kalangan akademisi. Contohnya, kata kejadian dalam bahasa Jawa sering ditulis dalam dua versi, yakni kedadeyan dan kedadean (tanpa huruf y). ”Di Surabaya (Balai Bahasa Jawa Timur) pakai y, tapi (Balai Bahasa) Jawa Tengah tanpa y,” bebernya.
Faktor akademis itu yang membuat Tulus kesulitan untuk mencari editor bahasa Jawa. Akhirnya dia sendiri yang mengedit setiap kata yang dia tulis. Berbekal kamus bahasa Jawa dan selalu berkonsultasi dengan Balai Bahasa Jawa Timur dan Jawa Tengah.
”Memang ada pertentangan dalam menulis bahasa Jawa, tapi nggak masalah, yang penting sing moco (yang membaca, Red) ngerti,” tuturnya.
Persoalan lain adalah minimnya modal untuk biaya menerbitkan buku. Ya, penghasilan seorang petani cenderung pas-pasan untuk sekadar membiayai ongkos pencetakan buku di penerbitan indie. Tak pelak, dengan kondisi terbatas seperti itu, Tulus hanya mampu mencetak buku paling banter seratus eksemplar setiap kali cetak. ”Balik modal saja sudah bagus,” kata alumnus Universitas Widya Mataram Jogjakarta tersebut.
Masalah kesulitan modal itu tak membuat Tulus putus asa. Setidaknya, hal tersebut bisa diatasi dengan menggadaikan perhiasan untuk jaminan pinjaman.
”Nanti ditebus saat panen,” ucapnya. Panen padi umumnya berlangsung dua kali dalam setahun. Itu bila cuaca sedang dalam kondisi baik. ”Bagi saya, menulis itu pengabdian,” imbuhnya.
Segala kekurangan tersebut membuat Tulus semakin bersemangat menulis karya sastra berbahasa Jawa. Selain novel, dia terus menulis esai dan geguritan atau puisi berbahasa Jawa. Saat ini sudah puluhan buku karya Tulus yang beredar di kalangan penggemar sastra Jawa. ”Pengalaman pertama, banyak kata yang salah. Tapi, saya tidak putus asa, yang penting harus berani menulis,” tegasnya.
Tulus selalu memotivasi para penulis muda untuk selalu berani menulis meskipun sering keliru. Motivasi itu dia cantumkan sebagai kata pengantar novel Ledhek saka Ereng-erenge Gunung Wilis.
Menowo wedi luput, mengkone ora bakal ngerti marang benere. Ora perlu wedi salah sakdurunge nulis. Dene ono keluputan, anggepen winongko pengalaman kanggo dalane kasampurnaan.
Artinya, Kalau takut salah, nanti tidak akan pernah tahu yang benarnya. Tidak perlu takut salah sebelum menulis. Kalaupun ada kesalahan, anggaplah sebagai pengalaman untuk menuju jalan kesempurnaan.
Seperti Lastri yang kukuh mempertahankan profesinya sebagai penari tradisional (ledhek), Tulus juga ingin melestarikan budaya Jawa melalui karya-karya sastra. Keduanya sama-sama punya tantangan dan merupakan bentuk pengabdian untuk ngerungkebi marang kabudayane (menerima dengan tulus kebudayaannya). Sebagaimana yang ditulis Tulus dalam Ledhek saka Ereng-erenge Gunung Wilis. (*/c9/oki)
Redaktur & Reporter : Soetomo