MAJENANG - Kelahiran bayi berkepala dua "paragus dicephalus conjoined twins", ternyata sangat langka terjadi. Secara statistik, kemunculan kasus ini adalah 1 berbanding 200 ribu kelahiran. Diperkirakan, kasus ini hanya terjadi dalam 100 tahun sekali di satu wilayah. Di Indonesia, baru ada dua temuan yakni pada 2006 dan 2009 lalu.
"Ini kasus yang sangat langka. Hanya ada dua di Indonesia. Ini yang ketiga. Perbandingannya satu banding dua ratus ribu kelahiran. Ini juga fenomenal," kata dokter spesialis kebidanan di Rumah Sakit Bersalin (RSB) Duta Mulya, dr Tatang Mulyana SpOG.
Dari seluruh kelahiran bayi berkepala dua itu, 60 persen diantara tidak bertahan lama dan meninggal dunia. Artinya, hanya 40 persen saja yang bisa bertahan hidup untuk jangka waktu lama. "60 persen meninggal," katanya.
Tatang menambahkan, dari sejumlah kasus bayi berkepala dua itu, ada diantaranya yang sampai dewasa. Bahkan, ada juga yang sampai bisa menikmati hidup dengan menjadi model iklan dan ada juga yang sampai menikah. Namun ada juga yang hanya sampai umur 7 tahun lalu akhirnya meninggal dunia.
Kasus "paragus dicephalus conjoined twins" ini, menurut Tatang mulai ditemukan pada 1783 di Bengal, India. Menyusul kemudian pada 1811, di Amerika Latin dan diberi nama Chang dan Eng. Di era modern, bayi ini lahir di Amerika Serikat, tepatnya di Minessota pada 1990 dan diberi nama Abigail dan Britanny.
Di Indonesia, kasus ini muncul pertama kali pada 2006 lalu. Bayi tersebut kemudian dinamai Syafitri. Kemunculan kedua terjadi pada 2009 lalu.
Tatang menambahkan, bayi dengan kelainan seperti ini membutuhkan perawatan medis secepatnya setelah lahir. Ini dilakukan untuk observasi mendalam untuk memastikan kondisi organ tubuh terutama organ dalam. Pasalnya, dua kepala dengan dua otak mengendalikan satu badan.
"Harus secepatnya ditangani oleh tim ahli dan peralatan yang memadai. Karena mayoritas meninggal setelah dilahirkan. Kondisi anak ini baik tapi butuh "follow up". Biar tahu sejauh mana survive-nya," katanya.
"Yang memeriksa tentu dokter spesialis kelainan anak yang ada di rumah sakit besar. Seperti Sarjito misalnya," katanya. (har)
"Ini kasus yang sangat langka. Hanya ada dua di Indonesia. Ini yang ketiga. Perbandingannya satu banding dua ratus ribu kelahiran. Ini juga fenomenal," kata dokter spesialis kebidanan di Rumah Sakit Bersalin (RSB) Duta Mulya, dr Tatang Mulyana SpOG.
Dari seluruh kelahiran bayi berkepala dua itu, 60 persen diantara tidak bertahan lama dan meninggal dunia. Artinya, hanya 40 persen saja yang bisa bertahan hidup untuk jangka waktu lama. "60 persen meninggal," katanya.
Tatang menambahkan, dari sejumlah kasus bayi berkepala dua itu, ada diantaranya yang sampai dewasa. Bahkan, ada juga yang sampai bisa menikmati hidup dengan menjadi model iklan dan ada juga yang sampai menikah. Namun ada juga yang hanya sampai umur 7 tahun lalu akhirnya meninggal dunia.
Kasus "paragus dicephalus conjoined twins" ini, menurut Tatang mulai ditemukan pada 1783 di Bengal, India. Menyusul kemudian pada 1811, di Amerika Latin dan diberi nama Chang dan Eng. Di era modern, bayi ini lahir di Amerika Serikat, tepatnya di Minessota pada 1990 dan diberi nama Abigail dan Britanny.
Di Indonesia, kasus ini muncul pertama kali pada 2006 lalu. Bayi tersebut kemudian dinamai Syafitri. Kemunculan kedua terjadi pada 2009 lalu.
Tatang menambahkan, bayi dengan kelainan seperti ini membutuhkan perawatan medis secepatnya setelah lahir. Ini dilakukan untuk observasi mendalam untuk memastikan kondisi organ tubuh terutama organ dalam. Pasalnya, dua kepala dengan dua otak mengendalikan satu badan.
"Harus secepatnya ditangani oleh tim ahli dan peralatan yang memadai. Karena mayoritas meninggal setelah dilahirkan. Kondisi anak ini baik tapi butuh "follow up". Biar tahu sejauh mana survive-nya," katanya.
"Yang memeriksa tentu dokter spesialis kelainan anak yang ada di rumah sakit besar. Seperti Sarjito misalnya," katanya. (har)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terus Selidiki Pamen Polri Pembawa Uang Ratusan Juta
Redaktur : Tim Redaksi