Kasus BLBI: Penghapusan Hutang Petambak atas Dasar Keamanan

Kamis, 16 Agustus 2018 – 19:48 WIB
Pengambilan sumpah para saksi dalam persidangan dugaan korupsi terkait penerbitan SKL BLBI untuk obligor Sjamsul Nursalim dengan terdakwa eks Ketua BPPN Syafruddin A Temenggung di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Foto: Ist.

jpnn.com, JAKARTA - Mantan Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo mengakui bahwa keputusan penghapusan utang petani tambak udang di bank beku operasi (BBO) Bank BDNI diambil pada saat sidang kabinet terbatas 11 Februari 2004 yang dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.

Namun, menurut dia, sidang itu diagendakan bukan atas permintaan Komite Kebijakan Sektor Keungan (KKSK) dan bukan dalam rangka penyelesaian kewajiban BLBI BDNI, tapi atas usulan aparat keamanan sebagai antisipasi untuk menjaga tidak meluasnya gejolak sosial saat itu.

BACA JUGA: Sidang Kasus BLBI: Ahli Sebut Penghapusbukuan Bukan Kerugian

“Perlu saya tekankan, rapat terbatas saat itu diagenda bukan atas usulan KKSK, tapi oleh aparat keamanan dan intelijen,” kata Bambang dalam kesaksiannya di sidang lanjutan SKL dengan terdakwa Ketua BPPN Syafrudin Arsyad Temenggung (SAT) di Pengadian Tipikor Jakarta, Kamis (16/8).

Bambang mengatakan, pada saat itu petani tambak sedang mengalami kesulitan berat karena devaluasi rupiah yang membuat hutang mereka membengkak dan ditambah suku bunga yang amat tinggi terus berjalan. Sehingga, mereka tidak mampu membayar kewajiban cicilan kredit mereka ke bank.

BACA JUGA: Ini Dasar BPPN Terbitkan SKL untuk Sjamsul Nursalim

Inilah yang membuat pertani resah hingga menimbulkan kerusuhan sosial ekonomi yang dikhawatirkan berpotensi menjadi semakin meluas di tengah krisis saat itu. Atas pertimbangan itulah, kemudian aparat keamanan meminta ada sidang kabinet untuk membahas masalah kredit petani tambak ini.

“Jadi rapat itu tidak ada kaitannya dengan peneyelesaian BLBI, tapi lebih pada kepentingan dan pertimbangan keamanan,” kata Bambang.

BACA JUGA: Tidak Ada Misrepresentasi, Kewajiban SN Sudah Dipenuhi

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam rapat itu dibahas jalan keluar untuk mengatasi masalah utang sekitar lebih dari 11.000 petani tambak ini.

Disadari, bahwa beban petani sudah sangat berat, maka untuk itu dicarikan jalan keluar untuk mengurangi bebannya. Caranya adalah dengan menghapus-bukukan sebagian kewajiban utang petani tersebut.

Pada saat itu diputuskan dari Rp 3,9 triliun menjadi Rp 1,1 triliun atau masing-masing menjadi Rp 100 juta per orang.

Menurut Bambang, sesuai dengan kewenangannya, BPPN sebagai badan khusus bisa langsung melakukan write off aset-aset atau kredit bank yang telah dilimpahkannya kepada lembaga itu yaitu bank beku operasi (BBO), bank take over (BTO) dan bank dalam likuidasi.

Namun dalam hal petani tambak ini, keputusan write off diambil dalam sidang kabinet, antara lain karena didasari kebutuhan menghindari gejolak sosial yang lebih luas.

Menjawab pertanyaan penasehat hukum terdakwa Yusri Ihza Mahendra tentang apakah Presiden Megawati pada saat itu menyetujui keputusan write off utang petani tambak ini, Bambang mengatakan, dalam pemahamannya presiden menyetujui.

“Pada saat itu, Presiden Megawati melontarkan kalimat 'silakan dilanjutkan' dan menurut saya itu adalah satu persetujuan,” kata Bambang.

Dalam penjelasannya Bambang juga menegaskan bahwa kehadiran BPPN, perjanjian MSAA dan berbagai tindakan yang diambil didasarkan kesadaran pemerintah saat itu bahwa berbagai instrumen keuangan yang telah digunakan tidak mampu mengatasi krisis keuangan 1997-1998.

Sehingga untuk itu diperlukan satu kebijakan yang pamungkas yaitu mengeluarkan kebijakan blanket guarantee terhadap semua dana masyarakat di perbankan, mendirikan badan khusus yaitu BPPN.

Selain itu dilakukan juga perjanjian penyelesaian kewajiban BLBI dengan pemilik bank dengan skema out of court settlement melalui perjanjian yang dikenal Master Setellement and Acquisition Agreement (MSSA).

Para pemilik bank yang menandatangani MSAA adalah Anthony Salim (Bank BCA), Sjamsul Nursalim (BDNI), Bob Hasan (BUN), Sudwikatmono (Bank Surya), Ibrahim Risjad (RSI).

“Disain kebijakannya memang begitu, karena inilah yang dinilai bisa menjadi senjata pamungkas dalam menangani krisis ekonomi saat itu agar tidak semakin dalam,” kata Bambang. (dil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kasus BLBI Tak Bisa Diselesaikan secara Pidana


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler