Sidang Kasus BLBI: Ahli Sebut Penghapusbukuan Bukan Kerugian

Selasa, 14 Agustus 2018 – 07:22 WIB
Mantan Kepala BPPN Syafruddin A Temenggung dan penasihat hukumnya, Yusril Ihza Mahendra. Foto: Fedrik Tarigan/Jawa Pos

jpnn.com, JAKARTA - Bankir senior yang juga mantan Ketua Perbanas Sigit Pramono menjelaskan bahwa dalam praktek perbankan penghapusbukuan tidak bisa langsung dianggap sebagai bentuk kerugian, karena penghapusbukuan sama sekali tidak menghapuskan hak tagih. Kerugian baru terjadi jika hak tagihnya yang dihapus.

“Penghapusbukuan hanya menghapus kredit dari catatan akutansi, karena itu dampaknya baru sebatas potensial lost, belum realized cost atau kerugian yang direalisasi,” kata Sigit sebagai saksi ahli dalam sidang terdakwa mantan Ketua BPPN Syafrudin Arsyad Temenggung (SAT), di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (13/8).

BACA JUGA: Ini Dasar BPPN Terbitkan SKL untuk Sjamsul Nursalim

Sigit menegaskan hal itu menjawab pertanyaan pengacara SAT, Yusril Ihza Mahendara mengenai apakah perbedaan antara penghapusan bukuan dengan penghapusan hak tagih.

Pertanyaan ini sendiri terkait dengan dakwaan jaksa bahwa terdakwa sebagai Ketua BPPN SAT telah merugikan negara sebesar Rp 4,8 triliun dengan mengusulkan kepada KKSK untuk menghapus bukukan kredit petani tambak di bank beku operasi (BBO) Bank BDNI. Keputusan penghapusan bukuan hutang petambak tersebut diputuskan oleh Rapat KKSK pada 13 Feb 2004.

Menurut Sigit, konsekuensi penghapusbukuan hanya tidak ditampilkannya kredit laporan keuangan, dan sifatnya masih potential loss karena hak tagih BPPN terhadap kredit tersebut masih ada.

BACA JUGA: Tidak Ada Misrepresentasi, Kewajiban SN Sudah Dipenuhi

Hak tagih inilah yang pada saat penutupan BPPN pada 2004, dialihkan ke PT (Persero) Perusahaan Pengelola Aset (PAA) yang menampung semua aset BPPN.

Dalam kesaksiannya, Sigit juga mengatakan, apa yang dilakukan SAT adalah langkah penyelesaian restrukturisasi perbankan yang menjadi tanggung jawab BPPN, dan belum terselesaikan oleh Ketua BPPN sebelumnya.

BACA JUGA: Kasus BLBI Tak Bisa Diselesaikan secara Pidana

“Seingat saya, proses restrukturisasi perbankan semasa SAT berjalan sesuai prosedur dan lancar, dibandingkan periode sebelumnya. Dengan tuntasnya restrukturisasi itulah, Indonesia kini mempunyai sektor perbankan yang kuat. Sehingga seharusnya SAT perlu diganjar dengan penghargaan,” kata Sigit.

Dihadapan majelis hakim Sigit juga menerangkan, bahwa BPPN bukan lembaga mengejar untung atau rugi atas dana BLBI yang sudah disalurkan sebagai bantuan dana likuidtas pada krisis dahsyat beberapa waktu lalu.

"Jadi bagi BPPN, ukuran kinerja yang terpenting adalah bagaimana dia bisa sehatkan perbankan. Kedua, adalah recovery rate, mereka tidak diukur untung rugi di situ karena ini bukan lembaga yang mencari untung dan tidak bisa rugi," ujarnya.

Sigit juga menceritakan bahwa kondisi NPL saat itu juga sangat berbahaya karena sudah mencapai 30 persen. "NPL juga sangat tinggi secara nasional lebih 30%. Maksimum (NPL) 5% untuk bank sehat. Ini dua indikator saja semua bank di Indonesia tidak ada yang sehat, itulah situasi perbankan pada saat itu," ujarnya.

Karena tingginya kurs dolar yakni dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.000 lebih, maka tidak mungkin nasabah atau siapapun mampu membayar utang yang langsung menggelembung. "Pasti tidak bisa ditagih karena dolar naik, maka itu yakin tidak bisa ditagih," katanya.

Seperti diketahui, SAT disidangkan dengan dakwaan telah menyebabkan kerugian kepada negara sebesar Rp 4,58 ketika dia sebagai Ketua BPPN. Kerugian ini disebabkan SAT telah mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) pada 2004 kepada Sjamsul Nursalim, mantan pemegang saham pengendali Bank BDNI.

Padahal, menurut KPK, SN belum berhak menerima SKL karena persoalan kredit bank kepada 11.000 petambak udang yang menjadi plasma perusahaan PT Dipasena Citra Darmaja belum diselesaikan. Pemberian SKL ini telah membuat pemerintah kehilangan hak tagih.

Kredit tersebut disalurkan pada saat sebelum krisis ekonomi 1997-1998 dalam bentuk valas senilai US$ 390 juta atau setara Rp 1,3 triliun pada kurs saat itu.

Ketika kurs rupiah anjlok pada saat krisis, nilai utang petambak tersebut membengkak menjadi Rp 4,8 triliun sehingga mereka kesulitan untuk membayar sehingga kredit menjadi macet.

Senada, Yusril Ihza Mahendra, salah satu kuasa hukum terdakwa SAT menegaskan bahwa sesuai keterangan saksi ahli, bahwa belum terjadi kerugian negara.
"Ketika diserahkan utang itu dalam bentuk hak tagih, itu yang ada baru potensial loss. Jadi potensi rugi negara, belum terjadi kerugian," ujarnya.

Sedangkan kapan kerugian itu terjadi, lanjut Yusril, sesuai keterangan ahli, bahwa saat aset itu dijual oleh PT PPA kepada pihak lain dari semula hak tagihnya Rp 4,8 trilyun, dijual hanya sebesar Rp 220 milyar.

"Dalam hal ini hak tagihnya Rp 4,8 trilyun dijual Rp 220 milyar maka kerugian negaranya menjadi Rp 4,58 trilyun. Jadi, dari pertanggungjawaban perbankan itu tanggung jawab siapa, itu tanggung jawab yang menjual. Jadi sebenarnya tidak ada kesalahan yang harus dibebankan kepada Syafruddin," ujarnya.

Sesuai keterangan saksi ahli juga, lanjut Yusril, bahwa orang seperti SAT seharusnya mendapat apresiasi karena berhasil menyehatkan perbankan nasional dan bisa merampungkan kekisruhan. BPPN di era dialah yang menyelesaikan tugasnya dan bukan seharusnya malah mendapat hukuman.

"Jadi meskinya orang-orang seperti Syafruddin ini diberikan penghargaan karena setelah terjadi krisis ini beliau tangani perbankan itu pulih dan perbankan kita sehat kembali. Ekonomi kita ya alhamdulillah baik lagi walaupun beberapa bulan terakhir susah lagi. Bukannya dihukum orang seperti Syafruddin ini," ujarnya.

"Krisis dari negara lain, kemudian kebetulan mental ekonomi kita lemah sehingga rupiah terpuruk sampai paling tinggi Rp 16.000 per 1 USD, karena rupiah jatuh maka hampir semua bank bermasalah," katanya. (dil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sidang Kasus BLBI: Yusril Permasalahkan Saksi dari BPK


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler