Kepolisian Resor Kota Pontianak Kota (Polresta Pontianak), Kalimantan Barat, telah menetapkan 3 tersangka dalam kasus perundungan atau bullying terhadap seorang siswa SMP bernama Audrey. Di sisi lain, para pelaku perundungan yang masih berstatus anak ini juga dianggap korban.
Pelaku perundungan terhadap Audrey telah mengakui perbuatan mereka di hadapan polisi.
BACA JUGA: Banyak Penganiayaan Lansia, Panti Jompo Kini Dipasangi CCTV
External Link: Postingan Polres Pontianak
Dari bukti yang terkumpul, pada hari Rabu (10/4/2019), para penyidik dari Polresta Pontianak menentukan 3 tersangka dari belasan siswa yang tadinya diduga terlibat dalam aksi perundungan itu.
BACA JUGA: Mahasiswa Australia Merasa Politisi di Indonesia Lebih Muda dan Kreatif
"Mereka mengakui melakukan penganiayaan tetapi tidak secara bersama-sama mengeroyok, tetapi dalam waktu yang bersamaan."
"Kemudian mereka melakukan yang pertama dengan tersangka yang satunya, tidak lama lari lalu disambung yang kedua kemudian yang ketiga," kata Kapolresta Pontianak, Kombes Pol M Anwar, kepada awak media seperti diunggah akun Instagram resmi Polresta Pontianak.
BACA JUGA: Inilah Foto Pertama Lubang Hitam Raksasa di Luar Angkasa
Ketiga pelaku anak dikenakan pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak di mana ancaman pidananya adalah 3 tahun 6 bulan, dengan kategori penganiayaan ringan sesuai dengan hasil visum yang dikeluarkan pada hari Rabu (10/4/2019).
Kasus ini-pun juga menjadi viral di media sosial (medsos) dengan tanda pagar #justiceforaudrey dan mendapat perhatian publik internasional. Banyak postingan ramai-ramai mengutuk serta menghujat para pelaku dan meminta pihak berwenang menghukum mereka secara adil.
Usulan petisi daring untuk mengusut tuntas kasus ini bahkan telah ditandatangani oleh lebih dari 2 juta orang.
Meski demikian, korban dalam kasus ini disebut tak hanya Audrey, yang masih tergolek lemah di rumah sakit Pontianak.
Menurut psikolog anak dan keluarga, Sani Budiantini, para pelaku yang kini telah berstatus tersangka sebenarnya juga merupakan korban.
"Masyarakat harus tahu bahwa baik pelaku maupun korban anak-anak adalah sama-sama korban. Dua-duanya adalah korban dari suatu sistem yang keliru, sistem yang salah," tutur Sani kepada ABC.
"Siapa itu sistem? Sistem itu adalah lingkungan dan pengawasan orang tua, dari sekolah, mungkin bimbingan yang dia terima dari lingkungan," sambungnya. Photo: Psikolog anak dan keluarga, Sani Budiantini. (Instagram; @sanibudiantini)
Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani ini menyebut penggunaan medsos yang melampaui batas turut menjadi faktor di balik perilaku kekerasan tersebut.
"Tidak sepatutnya masyarakat menghakimi mereka juga, karena mereka adalah korban dari sistem. Itu dulu yang harus diwaspadai oleh lingkungan," ujarnya.
Viralnya kasus Audrey, kata Sani, bisa berdampak panjang, baik terhadap korban sendiri maupun pelaku anak.
"Bisa dibilang anak ini kan masih panjang perjalanan masa depannya. Kalau sekarang ini jadi anak yang gagal karena trauma atau suatu ekspos dari suatu peristiwa ya sebenarnya ini akan menjadi snow ball effect ke depannya. Akan lebih parah lagi ke depannya."
"Ini yang saya sesalkan atau ikut prihatin bahwa kasus seperti ini, apalagi yang melibatkan anak-anak, mestinya memang harus ada penanganan yang cukup spesial."
Pihak yang berwenang, menurut Sani, seharusnya bisa langsung merespon apabila penyebaran kasus ini akhirnya mengorbankan anak itu sendiri, baik korban maupun pelaku.
Psikolog anak ini berpendapat mayoritas masyarakat Indonesia memiliki pemikiran yang belum matang.
"Tingkat kedewasaannya masih belum matang. Dalam pola pikir mereka, tetap pelaku disalahkan, padahal kesalahan dari sistem," kata lulusan Universitas Indonesia ini. External Link: Tagar #justiceforaudrey
Pelaku juga bisa alami trauma
Di sisa lain, jika kasus Audrey ini dilihat dalam konteks kekerasan yang pelakunya masih anak-anak atau berusia di bawah 18 tahun, maka pelaku sebenarnya memang korban.
Psikolog dari Departemen Psikologi dan Kepribadian Sosial Universitas Airlangga Surabaya, Ike Herdiana, mengatakan dinamika perilaku kekerasan sangatlah kompleks.
"Faktor penyebabnyapun biasanya bukan penyebab tunggal, melainkan karena banyak faktor yang saling terkait."
"Oleh sebab itu terlalu dini menyimpulkan bahwa dalam kasus kekerasan yg dilakukan anak, 100 persen kesalahan ditimpakan pada anak tersebut," jelasnya.
Ike memaparkan, pelaku juga bisa mengalami trauma dalam bentuk yg berbeda dengan korban.
"Apalagi pemberitaan viral di medsos dan pelaku mendapatkan hujatan, teror dan perlakuan negatif lain di dunia maya, bukan tidak mungkin mereka dapatkan di kehidupan nyatanya."
Selain korban, menurut Ike, pelaku juga harus mendapatkan pendampingan dan dilindungi dari sanksi sosial yang timbul karena viralnya kasus ini di medsos.
"Penting bagi masyarakat untuk memiliki perspektif korban, namun juga penting melihatnya melalui perspektif pelaku yang masih anak-anak."
Ia sepakat jika pelaku tetap harus diproses secara hukum namun tidak melupakan upaya pemulihan mental mereka.
"Masyarakat harus memberi waktu dan kesempatan pada mereka untuk belajar memahami apa yang sudah terjadi agar ke depan lebih mawas diri," sebut Ike. External Link: #justiceforaudrey
Peran teman sebaya
Sani Budiantini berharap agar lembaga perlindungan anak seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) lebih proaktif menangani kasus ini.
Sementara itu, Wakil Ketua KPAI, Rita Pranawati, mengatakan lembaganya saat ini belum bisa mengintervensi, bahkan untuk menginisiasi proses mediasi, karena kasus Audrey sudah ditangani polisi.
"Kita hormati proses hukum yang berjalan, karena KPAI tidak bisa mengintervensi prosesnya."
"Kalau sudah masuk di Kepolisian, kan kita tidak bisa ngapa-ngapain. Kalau misalnya Kepolisian meminta KPAI untuk memediasi, itu bisa saja terjadi. Tapi kalau saat ini kita masih menunggu proses yang terjadi di Kepolisian."
Rita justru mengungkap pentingnya peer-counseling (konseling di antara sebaya) kepada anak karena di era kebebasan seperti sekarang ini, banyak anak tak lagi bertukar cerita dengan orang tuanya.
"Kenapa? karena sebenarnya kan mereka curhat. Peer-counseling ini tujuannya juga untuk tidak memanas-manasi temannya yang sedang panas, tapi meredam 'kalau ada kasus seperti begini, sebaiknya bagaimana?'," sebut Rita.
Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemilu di Australia Akan Diselenggarakan 18 Mei 2019