JAKARTA - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menyerahkan sepenuhnya proses hukum kasus LP Cebongan, Sleman, kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI). Semua berkas hasil investigas akan diserahkan untuk membantu proses itu.
Kapolri, Jenderal Timur Pradopo, mengatakan proses investigasi yang dijalankan tim dari Polri terkait kasus itu tidak akan dilanjutkan. Penyidikan akan diserahkan sepenuhnya kepada Polisi Militer TNI. "Tidak akan dilanjutkan (investigasi oleh Polri). Akan kami serahkan semua ke TNI," Ujarnya usai menghadiri pelantikan M Akil Mochtar sebagai ketua MK di gedung MK, kemarin.
Tim investigasi yang dibentuk Polri akan dibubarkan dan seluruh hasilnya akan diserahkan kepada TNI. Termasuk semua barang bukti yang telah dikumpulkan Polri.
"Barang bukti yang ada pada kami nanti akan kami serahkan untuk proses lebih lanjut. Kami akan serahkan barang bukti kaitan dengan hasil laboratorium forensik ke penyidik militer. Semua kaitan dengan saksi-saksi akan kami limpahkan semua," ungkapnya.
Polri, kata Timur, setelah ini tidak akan terlibat terlalu jauh lagi karena kewenangan sudah ada di tangan TNI.
Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso, meyakini Peradilan Militer akan menjalankan tugasnya dengan baik. Dia juga mengapresiasi pengakuan anggota Kopassus atas tindakannya di LP Cebongan itu sebagai hal yang perlu dipertimbangkan.
Berbicara sebagai wakil ketua DPR terkait urusan politik dan keamanan, ungkapan paling pertama disampaikan Priyo adalah apresiasi tinggi untuk pengakuan para pelaku.
"Satu hal perlu saya ungkapkan ialah dengan rasa bangga harus saya sampaikan penghormatan saya terhadap ikhtiar yang dilakukan oleh TNI. Termasuk pengakuan secara jujur oleh para prajurit muda Kopassus," ujarnya di gedung MK, kemarin.
Pengakuan terhadap kesalahan dari para pelaku dan menyatakan siap bertanggungjawab atas itu semua, menurutnya, harus diapresiasi. "Tidak mudah bagi kita bisa melihat bagaimana para prajurit muda tersebut bisa secepat itu mengakui kesalahan. Meskipun kita tahu mereka melakukan itu adalah dalam rangka esprit de corp tapi salah karena hukum rimba tidak boleh dilakukan oleh siapaun juga," tegasnya.
Meskipun yang ditindak adalah para tahanan yang menurut pelaporan adalah preman dan sering berbuat masalah di Yogyakarta. "Tapi hukum rimba tidak boleh. Saya tetap menganjurkan agar tidak boleh lagi eksekusi hukum rimba semacam ini. Atas nama demokrasi negara manapun tidak dihalalkan, tidak boleh dilakukan. Semoga jadi kejadian terakhir dalam sejarah republik kita," harapnya,
Atas dasar itu Priyo berharap TNI segera berbenah sebab mungkin saja ada prajurit yang under control meskipun atas nama kehormatan korps.
"Karena bahaya sekali ini karena di negeri ini hanya presiden dan wakil presiden yang dikawal oleh pasukan bersenjata. Sementara para pemimpin lainnya termasuk kami di DPR tidak ada pengawalan seperti itu. Sehingga kalau terjadi hukum rimba semacam itu mati lah kita. Bukan hanya untuk kita, untuk masyarakat umum juga," ulasnya.
Terkait dengan langkah hukum untuk para pelaku, Priyo meyakini Peradilan Militer sanggup menjalankan dengan baik. Peradilan Militer saat ini menurut peraturan masih berlaku sehingga memungkinkan untuk menyelesaikan masalahnya di internal TNI.
"Masih berlaku Peradilan Militer dan itu belum kita ubah. Ya lakukan lah dengan jujur, transparan, adil, terbuka di depan masyarakat," pintanya.
Dari kejadian ini, DPR bisa saja mendapat inspirasi untuk mengoreksi peraturan terkait kewenangan Peradilan Militer. Sebab saat ini parlemen sedang dalam proses Rancangan Undang Undang (RUU) KUHP dan KUHAP sehingga bisa saja mengoreksi dan merevisi UU yang berkaitan dengan Peradilan Militer.
"RUU KUHP dan KUHAP ini dalam waktu tidak terlalu lama lagi bisa kami selesaikan. Butir "-butir (terkait Peradilan Militer) itu bisa saja dimasukkan dalam sebuah substansi pasal di sana. Atau kita ubah atau sempurnakan tata aturan perundangan yang bersifat Peradilan Militer itu sendiri," ulasnya.
Priyo tidak meragukan Peradilan Militer terkait kasus penyerangan LP Cebongan itu dan berharap semua masyarakat sependapat. Sebab sistem pemerintahan saat ini telah mengembalikan TNI dan militer kembali ke barak, tidak lagi ikut hiruk pikuk politik dan sosial dengan memberikan beberapa kewenangan kepada Polri dan lembaga berwenang lainnya.
"Makanya saya meminta jangan lah kita jadikan militer basis sumpah serapah kesalahan kepada mereka. Bahwa serangan di lapas Cebongan itu salah, iya. Bahwa hukum rimba tidak boleh, itu iya. Bahwa tahanan siapapun dia; pencoleng, preman atau tahanan perang harus dilindungi, iya. Tapi perlu juga kita apresiasi para prajurit muda tersebut telah lapang dada akui kesalahannya," pikirnya.
Di tempat yang sama, Mantan Wakil Komandan Jenderal (Wadanjen) Kopassus Letjen (Purn) TNI Sutiyoso, mengatakan tindakan para pelaku wujud dari esprit de corps yang salah kaprah. Maka perlu meningkatkan pengawasan dari para perwira TNI terhadap pasukannya. "Perwira harus mengawasi kejadian seperti itu dan bagaimana bisa mencegahnya," ucapnya.
Meski begitu, Sutiyoso menegaskan, kasus tersebut tidak bisa dilemparkan kesalahannya kepada korp Kopassus secara institusi karena murni personal anggota saja. Para pelaku bertindak atas inisiatif sendiri tanpa ada instruksi dari pimpinan.
"Pelaku di Cebongan itu oknum yang setia kawan dan rasa solidaritasnya tinggi dengan menjunjung tinggi esprit de corps yang diterapkan keliru dan berlebihan," terangnya.(gen)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rentetan Kekerasan Imbas Krisis Otoritas di Pusat Kekuasaan
Redaktur : Tim Redaksi