jpnn.com, NAIROBI - Pembatasan COVID-19 terhadap mobilitas dan interaksi masyarakat kemungkinan berkaitan dengan penurunan tajam kasus DBD pada 2020, memberikan pandangan baru tentang bagaimana penyakit tersebut dapat dikendalikan, demikian menurut sebuah riset, Kamis.
Riset dalam jurnal Lancet Infectious Diseases menemukan hampir 750.000 lebih sedikit kasus DBD dari yang diprediksikan secara global untuk 2020, ketika virus corona mulai mewabah.
BACA JUGA: 211 Kasus DBD di Kendari, 4 Pasien Meninggal Dunia
Hasil riset itu mengejutkan, kata penulis senior Oliver Brady, sebab memperlihatkan penurunan signifikan kasus DBD ketika orang-orang tidak bisa secara bebas pergi ke luar rumah untuk mengunjungi tempat lain seperti sekolah.
DBD tidak bisa ditularkan antarmanusia, namun hanya melalui gigitan nyamuk Aedes pada siang hari.
BACA JUGA: Innalillahi, 2 Warga Cianjur Meninggal karena DBD
Akan tetapi, para ilmuwan sebelumnya berpikir bahwa sebagian besar penularan terjadi di rumah dan sekitarnya, dibanding di tempat-tempat lain.
"Ini adalah sebuah trend aneh yang tidak kami sangka-sangka - sebuah hasil yang mengejutkan, yang membuka jalan untuk berpikir tentang melakukan uji coba intervensi yang lebih rinci," kata profesor Brady dari London School of Hygiene and Tropical Medicine.
BACA JUGA: Waspada! Kasus DBD di Depok Melonjak Drastis
Pendekatan baru untuk mengendalikan penyakit DBD, termasuk penyemprotan insektisida di ruang kelas dan pelacakan kontak untuk mengetahui tempat yang baru saja dikunjungi oleh orang-orang yang terinfeksi, kini dapat diuji, kata Brady.
Dengue adalah infeksi virus yang dapat menyebabkan demam dan gejala seperti flu, meski pada kasus parah kemungkinan mengalami pendarahan internal dan mengancam nyawa.
Riset itu memeriksa data dari 23 negara di Amerika Latin dan Asia Tenggara tempat endemi dengue.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan insiden global dengue berkembang secara dramatis dan diperkirakan sekitar separuh populasi dunia berisiko terinfeksi dengue.
Sementara sekitar 100-400 juta infeksi diperkirakan terjadi setiap tahunnya, dengan lebih dari 80 persen bergejala ringan dan tanpa gejala.
Profesor Philip McCall dari Liverpool School of Tropical Medicine yang tidak terlibat dalam riset tersebut mengatakan bahwa temuan-temuan itu penting dan membutuhkan investigasi lanjutan, "karena dengue merupakan penyakit abad ke-21" lantaran menyebar lebih jauh ke utara sebagai akibat dari perubahan iklim."
Penulis riset mengakui sejumlah keterbatasan penelitian, seperti bahwa pandemi mungkin telah mengganggu pelaporan kasus dengue. Mereka juga mencatat bahwa kasus DBD memang meningkat di beberapa lokasi. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil