Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di kalangan warga negara Indonesia yang tinggal di Australia meningkat belakangan ini, sehingga upaya untuk menghentikan praktek KDRT sangat penting dan relevan.

Demikian disebutkan oleh Dubes Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema dalam diskusi  "Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Hak Korban serta Hukum yang menyertai" yang diselenggarakan KBRI Canberra di Balai Kartini, Sabtu (1/8/2105).

BACA JUGA: Universitas Wollongong Australia Produksi Kondom dari Hydrogel

Dubes Nadjib mengharapkan pengurus dan anggota Dharma Wanita Persatuan (DWP) KBRI Canberra memainkan perannya membantu memberikan sosialisasi kepada WNI di Australia mengenai penanggulangan KDRT.

Sebelumnya, Ketua DWP KBRI Canberra, Nino Riphat Kesoema, yang juga seorang psikolog mengatakan intervensi, baik internal maupun eksternal, sangat dibutuhkan untuk mengakhiri siklus KDRT yang kerap dialami kaum wanita Indonesia, termasuk yang berada di Australia.

BACA JUGA: Larangan Miras Dorong ABG di Pedalaman Australia Jadi Prostitusi

KDRT tidak boleh dibiarkan terus terjadi dan dianggap remeh. Menjauhi pelaku KDRT, berkonsultasi dengan psikolog hingga melaporkan ke Crisis Center, juga akan efektif dalam menekan angka KDRT.


Nino Riphat Kesoema (kanan) menjadi salah seorang panel diskusi mengenai KDRT di Canberra.

BACA JUGA: Jenis Minuman Olahraga Buruk Bagi Kesehatan Mulut

 

Dalam rilis yang diterima oleh ABC Australia Plus Indonesia Nino Riphat Kesoema juga menambahkan perlunya kaum wanita menjaga komunikasi dan meningkatkan keharmonisan rumah tangga. Antara lain dengan membangun respect, baik terhadap diri sendiri maupun pasangan dan keluarga, guna mengurangi potensi intimidasi dan KDRT.

"Kaum wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing juga harus lebih percaya diri, mandiri serta meningkatkan pendidikan dan sadar hukum terhadap hak-hak dan posisi mereka, baik ditinjau dari hukum Indonesia maupun hukum yang berlaku di Australia," kata Nino Riphat Kesoema.

Selain Nino Riphat Kesoema, pembicara lain adalah Helen Corry dari Legal Aid, Canberra dan Nichole dari Domestic Violence Crisis Service dan Marluci dari Doris' Refuge Center serta Ernawati, Koordinator Fungsi Konsuler KBRI Canberra.

Ernawati, Koordinator Fungsi Konsuler KBRI Canberra menegaskan bahwa keberpihakan terhadap WNI yang menghadapi masalah hukum, terutama dengan memberikan bantuan kekonsuleran, menjadi tugas utama seluruh perwakilan RI di Australia.

Dikatakan, KBRI Canberra selalu bekerjasama dengan otoritas terkait di Australia seperti kepolisian, pengacara, dan pengadilan dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum WNI, serta melakukan pendekatan kemanusiaan, seperti memberikan bantuan dan pemulangan.

Bahkan KBRI Canberra juga akan menempuh langkah-langkah diplomasi, seperti melalui Forum Kekonsuleran Indonesia-Australia yang diselenggarakan setiap tahun, jika jalur hukum dan kemanusiaan belum membuahkan hasil yang diharapkan. KBRI Canberra juga membuka jalur komunikasi atau hot-line selama 24 jam bagi WNI di Australia.

Diskusi yang dihadiri lebih 100 undangan tersebut digelar untuk membantu meningkatkan kesadaran kaum wanita, khususnya WNI di Australia, agar mengetahui cara menghindari dan mengatasi KDRT.

Hal ini karena wanita WNI yang tinggal di luar negeri umumnya tidak berani atau enggan melaporkan KDRT yang mereka alami karena sejumlah alasan, mulai dari masalah imigrasi, bahasa hingga perbedaan budaya.

Dalam kesempatan tersebut juga dihadirkan WNI yang pernah mengalami KDRT di Australia untuk memberikan testimoni mengenai perlunya keberanian bersuara dan mengambil keputusan untuk menghentikan KDRT.

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemimpin Australia Tolak Usulan Agar Aborigin Satu Suara dalam Referendum

Berita Terkait