Kasus Korupsi Tanah Lapas Pontianak Dinilai Janggal

Senin, 10 Desember 2012 – 10:47 WIB
PONTIANAK -  Alfiansyah, tersangka dugaan korupsi ganti rugi tanah Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Pontianak tidak terima dengan keputusan jaksa di persidangan. Melalui kuasa hukumnya, Bambang Tulus, dia menyatakan ada kejanggalan yang dilakukan jaksa selama proses penyidikan kasus tersebut. Bahkan, terkesan terlalu dipaksakan oleh pihak bersangkutan hingga masuk Pengadilan Tipikor. Padahal kejaksaan tidak dapat membuktikan adanya indikasi kerugian negara.

"Harus ada pembuktian BPK, bahwa kasus ini telah menyebabkan kerugian negara. Kasus korupsi harus ada audit dulu dong. Ada apa dengan jaksa?, kenapa tebang pilih karena Sekjen dan Dirjen Depkumham yang mengeluarkan dana tidak ditahan," ungkap Bambang Tulus, Minggu (9/12).

Menurut dia, Alfiansyah terindikasi menerima sejumlah uang dikarenakan awalnya ada perjanjian dengan pemilik lahan. Jauh sebelum adanya pencairan dana, Nursiah selaku pemilik tanah memiliki hutang piutang dengan tersangka. Awalnya Nursiah pinjam uang Rp300 juta untuk biaya berobat. Selang waktu beberapa lama, pinjam lagi Rp 50 Juta.

"Hingga kurun waktu lebih setahun, dia berulang kali pinjam uang hingga jumlah hutang mencapai sekitar Rp 800 Juta yang dikuasakan ke Yusuf," ungkapnya.   

Karena belum mampu bayar, lanjut dia, maka Sertifikat tanah dipegang Alfiansyah sebagai jaminan. Hal ini dilakukan secara langsung oleh Nursiah. Bahkan dibuatkan perjanjian, jika tanah miliknya laku terjual maka 40 persen dibayarkan untuk menutup hutang dan 60 persen menjadi miliknya. "Sebagai orang dagang tentu mau. Dan, sertifikat tersebut sebagai kontrol, kalau ada uang masuk maka bisa dimonitor," katanya.

Ia menjelaskan, tanah akhirnya terjual untuk pembangunan Lapas Klas II A Pontianak. Hal ini berdasarkan persetujuan menteri melalui Depkumham RI, bahkan sebelum dibayar ada Sekjen untuk klarifikasi hal itu, suruh bayar. Maka sejumlah uang masuk ke Alfiansyah dari Depkumham karena dia pemegang sertifikat tanah.

"Sebab disampaikan data rekening Nursiah/Alfiansyah untuk proses pencairan dana yang sudah dibenarkan oleh pihak bank," ucapnya.

Ia menilai, pidana Pasal 2 dan 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, junto Pasal 55 ayat (1) KUHP yang ditudingkan pada semua tersangka tidak mendasar. Karena sama sekali tidak ada bukti kerugian negara, melalui audit BPK. Bahkan jika ada pelanggaran hukum dalam proses ganti rugi tanah itu, kenapa yang punya tanah hanya menjadi saksi.

"Alfiansyah dikatakan turut serta sesuai Pasal 55 yang ditudingkan, sedangkan dia baru bertemu dan kenal dengan tersangka lainnya setelah masuk Rutan, inikan aneh," tuturnya.

Sementara itu, Erfan Efendi melalui kuasa hukum Cecep Priyatna mengatakan, mediasi dilakukan sebagai proses alternatif penyelesaian masalah dengan bantuan pihak ke tiga (mediator). Ketentuan ini mengacu pada keputusan Kepala BPN RI. Karena sebelumnya, uang dibayarkan hanya untuk ganti rugi tanaman karet dan sagu yang tumbuh di lahan tersebut.  

"Pihak Lapas bayar ke Nursiah Rp 804.410 pada Tahun 1965, hanya untuk ganti rugi tanaman yang ada di lokasi tanah tersebut," katanya.

Menurut dia, bukti surat ganti rugi tanaman ini yang digunakan kejaksaan sebagai dasar bahwa lahan telah dibeli Lapas. Padahal, surat ganti rugi tanaman itu tidak bisa membuktikan kepemilikan lahan Lapas. Kesimpulannya, surat ganti rugi awal tidak sah. Karena hanya ganti rugi tanaman sehingga kembali diwajibkan ganti rugi tanah.

Akibatnya, lanjut dia, saat sertifikat didaftarkan tidak bisa diproses. Kemudian pihak BPN melakukan penelitian pada 1993 hingga keluar surat keputusan Tahun 1995. Di mana, mediasi dilakukan sifatnya hanya mempertemukan pihak yang bersengketa.
"Tanah benar dibayar pihak Lapas, ini melalui tim pusat yang turun langsung," katanya.
 
Ia menambahkan, ada kejanggalan yang dilakukan jaksa selama proses penyidikan kasus ini. Karena pejabat BPN Kalbar itu awalnya diperiksa sebagai saksi untuk tersangka siapa. Tiba-tiba usai pemeriksaan langsung ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan saksi ahli yang hendak dihadirkan di pengadilan, awalnya Siswo Widodo sebagai Kabid Sengketa BPN Kalbar, namun tapi tidak dipakai. Karena Kejaksaan lebih memilih menggunakan BPN pusat.

"Kanapa begitu, ini bukan masalah politik, seharusnya berdasarkan hukum dong," sesalnya.

Hal senada dialami Sudaryono, pejabat Kemenhum dan HAM Kalbar. Melalui kuasa hukum Cecep Priyatna menyatakan penyidikan kasus ini terkesan tidak mendasar. Karena semua pembayaran dilakukan melalui Inspektorat Jenderal Kemenkumham. Bahkan BPKP sudah klarifikasi sebelum dilakukan pembayaran dan menyatakan bahwa tidak ada masalah.

"Kajati beranggapan pembayaran tanah lapas tidak sah. Ya jangan berdasarkan anggapan, harus berdasarkan audit dan pendalaman kasus dong," ujarnya.

Menurut dia, tidak adanya audit BPK dan BPKP berarti menyatakan tidak ada masalah. Sehingga uang yang diterima pihak pemilik tanah sah. Lalu kenapa Kejaksaan mengatakan Kemenkumham menyalahgunakan anggaran. Karena uang ganti rugi tanam tumbuh ada buktinya. Bahkan dalam persidangan, hakim juga mempertanyakan kenapa uang disita padahal milik pemilik tanah.
"Uang diterima secara sah, maka jika pemilik tanah mau bagikan dengan siapa saja boleh. Bahkan jika mau dibakarnya sekalipun siapa yang berhak melarang," kesalnya.

Ia mengatakan, intinya semua pejabat BPN dan Kemenkumham yang menjadi tersangka dalam kasus ini tidak pernah merugikan keuangan negara. Terbukti, ada salah satu pegawai BPN berinisial Nrj menerima Rp 20 Juta, disita Kejaksaan malah oleh hakim diperintahkan agar dikembalikan. Bahkan dia tidak ditahan padahal terima uang juga. Termasuk tiga tersangka lain dalam kasus ini.

"Mediasi bukan syarat pencairan dana, tapi dilakukan tim khusus dari kementerian hukum dan HAM RI. Kejaksaan seharusnya membuktikan dulu adanya penyelewengan atau penyalahgunaan anggaran kasus ini," ungkapnya.

Awalnya, kata dia, pejabat Kemenhum dan HAM Kalbar itu diperiksa sebagai saksi. Tidak jelas untuk tersangka siapa, bahkan usai pemeriksaan langsung ditetapkan sebagai tersangka. Sehingga menilai sudah ditahan sekitar 5 bulan tanpa ada bukti korupsi. "Jadi tidak jelas apa maksud kejaksaan ini," tuntasnya. (rmn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sudah Saatnya KPK Bongkar Korupsi BBM Subsidi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler