Hal itu disampaikan Eddy saat menjadi ahli pada persidangan dugaan korupsi pesawat dengan terdakwa Hotasi Nababan dan Tony Sudjiarto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (12/11). Menurut Eddy, jika benar Hotasi selaku Dirut MNA tidak berhati-hati dalam memutuskan penyewaan pesawat dan pembayaran security deposite, maka hal itu tidak serta merta dapat dikatakan perbuatan melawan hukum. "Selama tidak ada niat jahat, maka tidak bisa dipidana," ucap Eddy.
Di depan majelis hakim yang diketuai Pangeran Napitupulu itu Eddy juga mencermati dakwaan penyalahgunaan jabatan yang dilakukan Hotasi selaku direksi sehingga memperkaya pihak lain. Menurut Eddy, penyalahgunaan kewenangan bisa disebabkan dua kemungkinan, yakni melakukan sesuatu di luar kewenangan, atau melaksanakan kewenangan tapi disalahgunakan.
Menurutnya, Pembuat UU Tindak Pidana Korupsi bermaksud bahwa bentuk kesalahan di dalam Pasal 2 adalah kesengajaan yang berarti pelaku kejahatan harus mengetahui dan menghendaki. Namun Eddy melihat dalam kasus Merpati itu tidak ada perbuatan direksi yang disengaja sehingga merugikan keuangan negara dan memperkaya pihak lain.
"Tidak ada akibat yang dikehendaki terdakwa. Tidak ada hubungan antara keinginan terdakwa dengan akibat (kerugian negara)," bebernya.
Ditegaskannya pula, perbuatan yang menimbulkan kerugian negara tidak bisa serta-merta dianggap korupsi. Terlebih lagi, sebutnya, Hotasi saat memimpin MNA juga sudah mengupayakan pengembalian security deposit USD 1 juta yang dibayarkan ke Hume Associates sebagai pihak pemegang deposit bagi Thirdtone Aircraft Leasing Group (TALG) selaku penyedia pesawat.
Bagaimana dengan keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Bareskrim Polri yang menyimpulkan kasus sewa pesawat MNA bukan perkara korupsi? "Kalau KPK menyebut ini sudah memenuhi unsur kehati-hatian dan tidak ada indikasi pidana, ditambah Mabes Polri mengatakan tidak (bukan korupsi), dan ada satu unsur kejaksan (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara) menyatakan tidak ada (unsur korupi), maka tidak perlu lagi kasus ini dilanjutkan," tegasnya.
Bahkan, lanjutnya, sudah ada putusan pengadilan di Amerika Serikat yang memenangkan gugatan Merpati. Menurutnya, putusan dari pengadilan di AS itu merupakan “Probatio Plena” atau bukti yang sempurna dan tidak terbantahkan sehingga harus dijadikan bukti hukum bagi hakim di Indonesia yang sedang mengadili perkara ini.
Majelis juga menanyakan tentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 yang membatasi sifat melawan hukum pidana korupsi sebagai sifat melawan hukum formal. Menurut Eddy, putusan itu harus diikuti hakim. "Kalau tidak menghargai putusan MK lalu siapa yang menghargai itu?" kata guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada itu.
Diberitakan sebelumnya, JPU Kejagung mendakwa Hotasi dan Tony telah korupsi USD 1 juta terkait penyewaan dua unit pesawat dari TALG yang berbasis di Washington DC pada 2006. Saat perjanjian dengan TALG diteken, Hotasi adalah Dirut, sementara Tony adalah manajer pengadaan pesawat.
Keduanya diperkarakan karena Merpati telah mengeluarkan dana USD 1 juta namun TALG gagal mengirimkan pesawat sesuai pesanan. Direksi MNA telah berupaya menggugat TALG dan dimenangkan oleh Pengadilan District of Columbia di Washington.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Soal Grasi Ola, Akil Bela Mahfud
Redaktur : Tim Redaksi