KENDATI sudah pada tahap penyidikan di Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta, tapi tersangka kasus penjualan aset PDAM Jaya senilai Rp 4,33 miliar belum juga ditetapkan. Akibatnya, masyarakat mempertanyakan komitmen kejaksaan dalam menuntaskan kasus tersebut.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I) Tom Pasaribu menegaskan, dalam proses tersebut seharusnya kejati sudah mengantongi nama tersangka. Secara logis, bila belum ada nama tersangka maka penyidikan sia-sia. ”Kejati jangan menganggap publik itu bodoh dan tidak mengerti hukum,” ujar dia.
Menurut dia juga, kejati harus membuktikan bahwa dalam kasus itu tidak ada pihak yang masuk angin alias main mata. Apabila terdapat oknum yang bermain mata, maka harus diambil tindakan tegas. ”Saat ini, saya duga kuat penyidikan hanya gertak sambal,” tegas Tom. Dia juga menegaskan, Dirut PDAM Jaya Sri Widayanto Kaderi seharusnya sudah bisa dimintai pertanggung jawabannya sebagai pimpinan di PDAM.
”Kasus ini juga bisa merongrong wibawa Gubernur Fauzi Bowo. Bisa-bisa dikenal sebagai gubernur yang tak bisa menyelesaikan persoalan air di Jakarta,” tuturnya. Kasus penjualan aset PDAM, sambung dia, pasti berimbas pada masalah pelayanan air bersih. ”Jangan memandang sepele kasus ini. Bagaimana mungkin DKI mampu memberikan pelayanan maksimal kalau asetnya dijualin,” cetus Tom.
Untuk diketahui, kasus bermula pada temuan hasil audit BPK terhadap PDAM terkait penjualan aset bergerak pada 2009. Saat itu, BPK menemukan sejumlah aset bergerak berupa mobil dan motor yang dijual oleh kedua mitra operatornya. Yakni PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Thames Pam Jaya (TPJ) sekarang menjadi PT Aetra Air Jakarta (Aetra).
Kedua operator menjual aset bergerak dimaksud lantaran sudah habis masa pakai.
Sedangkan BPK menilai kedua operator tak berhak menjual aset itu. Sebab bukan milik mereka. Aset yang sehari-hari digunakan kedua operator itu telah dibayarkan penyusutannya oleh tarif yang dibayar pelanggan. Sehingga aset itu merupakan milik PDAM atau negara. Nilai aset yang dijual Palyja selama 2003-2007 sebesar Rp 3,04 miliar.
Ketika BPK melaporkan soal penjualan aset itu, Palyja tetap menjualnya hingga 2010. Akibatnya, total nilai aset yang dijual menjadi Rp 4,33 miliar.
Penjualan aset itu dianggap salah karena telah menjual aset milik negara dan tanpa persetujuan pemilik aset. Aetra dan perusahaan pendahulunya, PT Thames PAM Jaya, melakukan hal yang sama.
Mereka juga menjual aset hingga Rp 3,21 miliar sampai akhir 2010. Namun, ketika BPK mengumumkan penemuan itu, Aetra memutuskan mengembalikan aset itu dengan cara mengurangi utang PAM Jaya kepada Aetra.
Sementara itu Head Communication Corporation Palyja Meyritha Maryanie menegaskan, perusahaannya tidak mengetahui kasus penjualan aset PDAM Jaya telah ditingkatkan ke tahap penyidikan oleh Kejati DKI. ”Sampai saat ini belum ada tuh panggilan dari kejati,” ujar Meyritha via blackberry messenger (BBM).
Hal senada juga diungkapkan Wakil Presiden Direktur Palyja Herawati Prasetyo. ”Penjualan aset itu sebenarnya bukanlah kasus. Apa yang kami lakukan sudah sesuai dengan apa yang tertuang dalam kontrak kerja sama. Semuanya sudah kami laporkan ke BPK, Bapepam, PAM Jaya, dan semua pihak terkait. Tidak ada masalah,” tambah dia.
Sebelumnya Anggota Komisi B DPRD DKI Andika mengatakan, temuan BPK soal penjualan asset bergerak itu harus ditindaklanjuti. ”Kalau memang ada indikasi korupsi, sebaiknya ditarik ke KPK saja. Saya melihat ini ada permainan pihak ketiga yang berkepentingan,” pungkasnya. (wok/rul)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 9.000 Hektare Pantura Tangerang Direklamasi
Redaktur : Tim Redaksi