JAKARTA – Penyidikan kasus dugaan mark up pengadaan tanah pembangunan kantor di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat (Kalbar) yang menelan kerugian negara Rp14,4 miliar masih terus diproses Kejaksaan Agung (Kejagung) di Jakarta.
Tiga tersangka yang masih bebas berkeliaran kemungkinan besar bakal segera menyusul lima pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sekadau yang sudah meringkuk di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba cabang Kejagung.
Wakil Jaksa Agung Darmono, mengatakan, dalam rangka penyidikan dan pengembangan kasus, semua pihak terkait akan didengar keterangannya. Ia juga membenarkan tiga tersangka lain masih belum ditahan.
Namun demikian, Darmono mengaku belum mendapat laporan siapa saja ketiga tersangka yang belum ditahan itu. "Mengenai penahanan tentu sangat tergantung pertimbangan penyidikan, apakah sudah cukup alat bukti. Sekarang saya belum mendapat laporan siapa yang belum ditahan," kata Darmono, menjawab JPNN, Jumat (9/3) lewat télepon selulernya.
Ditanya apakah harus mendapat izin presiden untuk pemeriksaan atau penahanan di antara tiga tersangka itu, Darmono menjelaskan, kalau itu diperlukan tentu Kejagung akan melaksanakannya.
"Kalau misalnya menyangkut kepala daerah atau anggota dewan, itu tentu harus ada izin tertulis dari presiden. Kalau memang begitu, kita akan lakukan minta izin tertulis dari presiden," kata bekas Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kalbar, itu.
Lebih jauh dia menjelaskan, bahwa saat ini para tersangka masih dikenakan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU) Tipikor. Kendati demikian, Darmono menegaskan, Kejagung akan mengenakan UU Pencucian Uang dalam perkara ini. "Akan kita lengkapi dengan Undang-undang pencucian uang," tegasnya.
Terkait kasus ini diambil alih Kejagung yang memunculkan spekulasi Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalbar tak mampu menyelesaikannya, Darmono mengatakan, "Yang jelas ada laporan yang diterima Kejagung."
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Adi Toegarisman, menegaskan, bahwa memang benar tiga dari delapan tersangka belum ditahan Kejagung. "Belum ditahan," kata Adi, menjawab JPNN, Jumat (9/3) di Jakarta saat dihubungi telepon selulernya.
Ditanya apakah salah satu dari tiga tersangka itu harus membutuhkan izin presiden untuk dilakukan pemeriksaan atau penahanan, Adi memberikan jawaban tak jelas. Ditanya lagi apakah salah satu tersangka merupakan pejabat negara, atau oknum Anggota DPR, Adi menegaskan, "Saya tidak bisa menyatakan identitas," kata Adi.
Ia menjelaskan, ketiga tersangka itu ada yang berasal dari unsur pejabat Pemkab Sekadau, dan rekanan. "Iya, sebagai tersangka," ungkap dia. Adi tak menampik, bisa saja ada tersangka baru dalam perkara ini. Menurutnya, dalam proses penyidikan, tidak menutup kemungkinan dalam perkembangannya melibatkan orang lain. "Siapa saja yang terlibat," katanya.
Ia tidak ingin menyebutkan dari unsur mana saja yang bisa menyusul jadi tersangka. "Hukum jangan menimbulkan keresahan," tegasnya.
Seperti diketahui, Lima pejabat setingkat Kepala Dinas (Kadis) asal Sekadau, Kalbar sudah ditahan Kejagung, Rabu (7/3). Mereka diduga terlibat korupsi dalam proses pengadaan lahan perkantoran seluas 207 hektare.
Kelima tersangka, itu adalah Kadis Pertanian, Ir Slamet, Kadis Kehutanan Ir Abang Akhmad Yani, Kadis Kimpraswil Ir Suyitno, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sekadau, Ir Hery Prayitno (Kepala BPN Sekadau), dan pejabat Bupati Sekadau, Drs A Muis Haka. Penahanan dilakukan setelah sebelumnya kelima pejabat itu ditetapkan sebagai tersangka.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Dirdik JAM Pidsus) Arnold Angkouw mengatakan, modus korupsi yang dilakukan para tersangka dengan cara menggelembungkan harga (mark up) harga lahan jauh di atas Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Akibat tindakan para tersangka, lanjut Arnold, negara diperkirakan menderita kerugian mencapai Rp 14, 4 miliar.
Lahan seluas 207 ha tersebut saat ini berdiri bangunan Kantor Bupati Sekadau dan Gedung DPRD Sekadau. Lahan yang dibebaskan sejak 2005 silam merupakan milik warga di dua desa yakni masing-masing Desa Gonis Tekam dan Desa Tanjung, dengan besaran pembelian Rp. 500 per meter.
Adi menerangkan, belum bisa memastikan sampai kapan kelima tersangka itu ditahan. Ia menjelaskan, kalau sudah ditahan, tentu kaitannya penyelesaian perkara. Kemudian, segera dilimpahkan ke pengadilan.
Menurut dia, pihaknya melakukan proses sebagaimana mestinya. Mulai dari tahap penyidikan hingga tuntutan. "Kami tidak bisa menentukan berapa lama," katanya. Adi menyatakan, Kejagung tetap melakukan proses semaksimal mungkin.
Ia menjelaskan, jika penyidik menyatakan fakta hukum sudah memenuhi syarat, maka akan diserahkan ke pengadilan untuk proses penuntutan. Ditanya berapa sebenarnya harga pembelian oleh pemerintah yang menggunakan anggaran negara untuk permeter tanah, Adi tak menjelaskan.
Yang jelas, kata dia, dari proses penyidikan ada perhitungan kerugian negara dalam kasus itu. "Itu bisa dikatakan sebagai bukti perbuatan mereka menyalahgunakan keuangan negara," ungkap Adi.
Ia menjelaskan, nanti di persidangan akan terungkap semua secara detail, termasuk soal harga tanah tersebut. "Itu nanti di persidangan secara detail terungkap," katanya. Ditanya mengapa Kejagung yang mengambil alih kasus ini, apakah Kejati Kalbar tak mampu menyelesaikannya? Adi mengelak. "Itu bukan materi yang harus saya sampaikan," ungkapnya.
Kelima tersangka yang terhitung Rabu (7/3) ditahan selama 20 hari di Rutan Salemba cabang Kejagung. Kelima tersangka dijerat dengan tuduhan secara bersama-sama memperkaya diri, orang lain atau korporasi. Sangkaan lainnya, kelimanya menyalahgunakan wewenang sehingga memperkaya diri, orang lain atau korporasi sesuai Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pantauan JPNN, Jumat (9/3), di Rutan Salemba Cabang Kejagung, aktivitas berjalan normal. Pintu masuk Rutan tertutup rapat. Kaca hitam gelap ada di bagian depan. Di sebelah kiri Rutan terdapat sebuah masjid. Dan sebelah kanan ada bangunan untuk kantor Jaksa Tindak Pidana Umum (Jampidum).
Di bagian lain Wakil Jaksa Agung Darmono juga menyatakan, akan melihat dan mengecek mengenai informasi soal proyek pembangunan kantor Bupati Melawi. "Nanti akan dicek akan dan kita lihat semua," kata Darmono.
Informasi yang berhasil dihimpun JPNN, pembangunan Kantor Bupati Melawi juga bermasalah. Sudah kurang lebih Rp40 miliar dana untuk pembangunan kantor itu dianggarkan, namun sampai sekarang belum ditempati. Alasannya, dana masih kurang. Kejati Kalbar pernah menanganinya, tapi tak berlanjut. "Nanti akan kita cek," tegas Darmono. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Politisi DPR Dijatah Lima Persen Commitment Fee
Redaktur : Tim Redaksi