Kaukus Kuningan Kritisi Empat Persoalan Mendasar di Era Jokowi-JK

Jumat, 07 Juli 2017 – 18:20 WIB
Aktivis dari lintas angkatan yang bergabung dalam Kaukus Kuningan di Jakarta, Jumat (7/7). Mereka adalah Juru Bicara Irwansyah Iing (kedua kiri), Rahmah Hasjim, Setya Dharma, Toha, Santosa AS, dan Meilda Pandingan. Foto: JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah aktivis dari lintas angkatan yang bergabung dalam Kaukus Kuningan mengkritisi kebijakan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Mereka antara lain Irwansyah Iing (Aktivis 1998), Japrak Haes (Aktivis 1980-an), Rahmah Hasjim (Aktivis 1998), Setya Dharma (Aktivis 1978), Toha (Aktivis 1998), Santosa AS (Aktivis 1980-an), dan Meilda Pandingan (Aktivis 1998).

Juru Bicara Kaukus Kuningan, Irwansyah Iing dalam pernyataan sikapnya, menyebutkan empat masalah fundamental yang dihadapi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Keempat persoalan itu adalah kemiskinan yang tinggi, ketimpangan kesejahteraan yang besar, dan utang pemerintah yang semakin besar. Terakhir, mereka menilai pemerintahan Jokowi tidak mampu mampu mengelola dan menata kehidupan politik.

BACA JUGA: Isi Pidato Adian Ini Menyindir Siapa Ya?

“Menjelang tiga tahun usia pemerintahan Presiden Jokowi Widodo-Wakil Presiden Jusuf, kondisi masyarakat utamanya kelompok masyarakat bawah/miskin semakin memprihatinkan,” ucap Irwansyah di kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat (7/7).

Di sisi Iain, kata dia, masyarakat juga kerap terbelah dalam menghadapi berbagai isu-isu sosial dan politik akibat kurang cakapnya pemerintah mengelola berbagai permasalahan sosial kemasyarakatan yang ada. Pemerintah yang sejatinya merupakan pelayan publik dan bekerja meringankan beban rakyat semakin tak terlihat perannya.

BACA JUGA: Aktivis 98 Kecam Penusukan Simpatisan Ahok

“Beban yang ditanggung rakyat dari hari ke hari bukannya berkurang, namun malah bertambah,” tegas Irwansyah.

Menurut Irwansyah, Kaukus Kuningan berpandangan bahwa Presiden Jokowi semakin jauh dari tugas dan tanggung jawabnya memimpin Republik ke arah yang lebih baik. Dia mencontohkan, angka kemiskinan yang tinggi. Kaukus menyetir data BPS per September 2016 mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia sekitar 10,7 persen. Dengan kondisi daya beli masyarakat yang sangat rendah saat ini, Kaukus memperkirakan jumlah penduduk miskin tahun ini lebih tinggi, terutama di daerah perdesaan.

“Kebijakan Pemerintahan Jokowi yang memutuskan untuk melakukan pencabutan subsidi listrik secara bertahap kepada 19,0 juta pelanggan rumah tangga berdaya 900 Volt Ampere (VA) sejak Januari 2017 lalu juga akan memicu bertambahnya penduduk miskin. Mengapa? Karena banyak pelanggan listrik 900 VA ada dalam kategori penduduk hampir miskin, dengan kebijakan berpotensi masuk ke kelompok miskin,” katanya.

Menurutnya, tingginya kemiskinan ini diperburuk dengan jumlah pengangguran terbuka yang tinggi. Data BPS pada Februari 2016 menyebutkan jumlah pengangguran mencapai 7,02 juta orang.
“Kami melihat pengangguran tahun ini akan lebih besar. Kita saksikan di desa-desa banyak sekali pemuda menganggur. Proyek Infrstruktur yang digembar-gemborkan pemerintah tak mampu menyerap para penganggur yang ada,” katanya.

Terkait ketimpangan kesejahteraan yang besar, Kaukus melihat terdapat jurang antara si kaya dan si miskin yang semakin lebar sehingga berpotensi menyebabkan permasalahan sosial.

Menurutnya,Bank Dunia mencatat tahun 2015 ketimpangan pendapatan di Indonesia dengan gini ratio mencapai O, 42. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam sejarah sejak Republik ini berdiri. Tahun 2017, potensi ketimpangan itu justru makin melebar.

Selain itu, penguasaan aset, baik berupa tanah dan properti juga sangat timpang. Gini ratio penguasaan tanah di lndonesia sekitar 0,58. “Artinya, hanya sekitar 1 persen penduduk yang menguasai 59 persen sumber daya agraria, tanah, dan ruang,” katanya.

Kaukus juga menyoroti persoalan utang pemerintah yang semakin besar. Kaukus menyebutkan berdasarkan data akhir Mei 2017, posisi utang pemerintah sudah mencapai Rp 3.672 triliun.

“Angka ini meionjak Rp 1.069 triliun dibandingkan dengan posisi utang pada akhir 2014 lalu, saat Jokowi-JK mulai berkuasa. Utang ini akan terus bertambah,” kata Irwansyah.

Ia juga mengatakan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2017, pemerintah mengusulkan penambahan utang melalui penerbitan surat berharga negara (SBN). Sebagai catatan pemerintah mematok defisit anggaran kita 2,67 persen pada RAPBN-P 2017 lebih tinggi dari angka 2,41 persen di APBN 2017.

Pada bagian lain, Kaukus menilai pemerintahan Jokowi tidak mampu mengelola dan menata kehidupan politik menjadi !ebih baik. Kegaduhan politik yang bahkan cenderung liar akhir-akhir ini menunjukkan pemerintahan ini tidak cakap dalam menata dan mengelola sistem ketatanegaraan.

Kaukus mencontohkan, RUU Pemilu yang belum kelar, dimana pemerintah tampak lemah dalam mengonsolidasi parlemen. Bahkan jika melihat secara Iebih luas, pemerintah belum mampu menata kehidupan politik menjadi Iebih sehat, bersih, dan efektif.

“Ini bertolak belakang dengan agenda Nawacita JokowiJK poin ke-2 yang menyatakan: Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan Iembaga perwakilan.”(fri/jpnn)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler