jpnn.com - JAKARTA - Korban kejahatan siber terkait keuangan seperti model klik aplikasi biasanya terjadi pada kaum "kepompong”.
Demikian dikatakan pakar keamanan siber dari Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) Wani Sabu dalam seminar daring di sela-sela kegiatan Jakreatifest 2024 di Jakarta pada Minggu (8/6).
BACA JUGA: Bareskrim Bekuk 2Â Pelaku Kejahatan Siber yang Rugikan Perusahaan Singapura Rp 32 Miliar
Dia menjelaskan, "kepompong" merupakan singkatan dari kepo (ingin tahu berlebihan) dan rempong (ribet atau repot).
"Jadi, kalau dapat aplikasi, misalnya, cek paket. Dia langsung 'rempong', siapa yang kirim. Atau dapat undangan, langsung 'siapa yang menikah aduh jangan mantan'. Dia klik," kata Wani Sabu, yang juga ketua Komite Keamanan Siber Perbanas.
BACA JUGA: Cakap Digital, Solusi Jitu Terhindar dari Kejahatan Siber
Hal ini berbeda dengan model penipuan masa lalu seperti "mama minta pulsa".
Model klik pun beragam, mulai dari klik aplikasi atau link (tautan) untuk memeriksa kiriman barang dan surat undangan.
BACA JUGA: Grant Thornton Ungkap Jenis Kejahatan Siber yang Marak Terjadi di Indonesia
Wani menjelaskan, sebenarnya uang tak serta merta hilang dari rekening hanya dengan satu kali klik.
Dia mengatakan saat seseorang melakukan klik pada satu link, biasanya sistem operasi di ponsel akan memberikan informasi bahwa link atau aplikasi yang akan diklik berbahaya.
Namun, karena rasa "kepo" kemudian membuat seseorang tetap melakukan klik terus-menerus dan berujung memberikan akses pada penjahat siber untuk mengakses rekening.
"Biasanya Android akan memberi tahu aplikasi ini berbahaya, tetapi karena kita kepo, diklik 'ok'. (Diberi peringatan) Jangan di-download karena aplikasi ini tidak resmi, tapi diklik 'yes'. Yes, ok," katanya.
"Jadi akhirnya kita memberikan akses untuk mengakses rekening kita," kata Executive Vice President PT BCA Tbk itu.
Wani mengatakan, saat ini juga pernah terjadi penipuan mengatasnamakan lembaga negara seperti BPJS Kesehatan.
Penipu biasanya mengawali percakapan yang menggiring calon korban agar meyakini dirinya mendapatkan panggilan telepon dari lembaga resmi BPJS Kesehatan.
"Hati-hati kalau, misalnya, ada telepon yang mengatakan bahwa BPJS untuk membeli narkoba. Jangan percaya. Biasanya mereka membuat kita takut. Pura-pura ada telepon, membuat percaya itu BPJS," kata dia.
Wani juga mengingatkan masyarakat agar benar-benar memahami hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan kala sudah masuk ke dunia transaksi digital.
"Ini mengingat adanya potensi orang-orang di luar sana yang menginginkan uang melalui cara ilegal," katanya. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu