jpnn.com, JAKARTA - Survei yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap kearifan lokal sebagai daya tangkal radikalisme dan terorisme berada pada skor 63,60.
"Hasil survei tahun lalu menempatkan aspek kearifan lokal dan kesejahteraan adalah yang paling signifikan sebagai sarana pencegahan radikalisme. Tahun ini ingin lebih kami pertajam, apakah betul kearifan lokal masih signifikan, terutama di era yang serbadigital," kata Kepala BNPT Suhardi Alius, Kamis (29/11).
BACA JUGA: Pemda Sudah Punya Pemahaman Bagus Cegah Radikalisme
Survei yang dilakukan oleh BNPT menggunakan kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif di 32 provinsi dengan rentang antara April-September 2018.
Metode kualitatif dilaksanakan dalam bentuk diskusi yang menghadirkan perwakilan pemerintah daerah, tokoh adat, agama, pendidikan, dan elemen pemuda di setiap provinsi.
BACA JUGA: Pemerintah Minta Tokoh Agama Lawan Narasi Terorisme
“Untuk kuantitatif dilakukan dengan penyebaran kuesioner ke 450 responden di setiap provinsi. Total responden yang dipakai adalah 14.400 orang, terdiri dari mahasiswa PTKN dan PTUN, dosen, siswa SMA dan MAN," jelas Suhardi.
Suhardi menambahkan, kearifan lokal bukan seni dan budaya saja. Terdapat empat bentuk kearifan lokal, yaitu tutur lisan, tata ruang, norma sosial, dan seni kebudayaan.
BACA JUGA: Mahasiswa Harus Lakukan Kontra Narasi Lawan Radikalisme
"Kearifan lokal masih relevan untuk pencegahan. Namun, masalahnya di daerah tak ada lagi dokumen yang utuh tentang apa itu kearifan lokal. Akibatnya, 30,09 responden memiliki pengetahuan yang kurang tentang apa itu kearifan lokal," jelas Suhardi.
Kondisi tersebut, masih kata Suhardi, terjadi antara lain terjadi karena kurangnya sosialisasi kearifan lokal, khususnya di kalangan milenial. Sebanyak 28,33 persen responden mengakui hal tersebut.
"Ditambah lagi faktor menurunnya interaktif antarmasyarakat karena efek dari kemajuan teknologi, faktor penetrasi media sosial yang demikian kuat," tegas Suhardi.
Suhardi mengungkapkan, pihaknya mendorong pemerintah daerah untuk melakukan transformasi dekonstruktif terhadap kearifan lokal.
Ada empat langkah yang direkomendasikan, yaitu inventarisasi ulang kearifan lokal, pendefinisian ulang, reformulasi, dan transfer of knowledge tentang kearifan lokal.
"Semuanya dilakukan dengan pendekatan era milenial. Definisikan dan formulasikan ulang apa itu kearifan lokal dengan gerakan yang mudah diterima generasi milenial sehingga mereka lebih tertarik dan tak lagi lari kepada media sosial saja untuk aktivitas sehari-harinya," kata Suhardi. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kepala Daerah Punya Peran Penting Cegah Terorisme
Redaktur & Reporter : Ragil