Kasus penularan COVID-19 meningkat di Jepang setelah penyelenggaraan Olimpiade, namun kepatuhan warga, penggunaan masker dan vaksinasi sekarang membuat kasus jauh menurun.
Hanya beberapa minggu lalu, jumlah kasus positif di Jepang masih tinggi dan membuat sistem layanan kesehatan mulai kewalahan.
BACA JUGA: Korea Selatan Coba Hidup Berdampingan dengan COVID-19, Begini Strateginya
Jumlah kasus harian mencapai puncaknya di akhir Agustus dengan kasus sekitar 26 ribu, menyusul berakhirnya Olimpiade Tokyo yang memaksa Pemerintah Jepang menerapkan pembatasan untuk mengurangi kasus.
Sekarang kasus harian di negara tersebut hanya sekitar 300 per hari.
BACA JUGA: Pemerintah Tetapkan Harga Baru Tes PCR, Begini Respons Intibios Lab
Tanggal 1 Oktober Pemerintah Jepang mencabut status darurat untuk pertama kalinya dalam enam bulan terakhir. Pihak berwenang juga melonggarkan sejumlah aturan, termasuk diperbolehkan lagi menjual alkohol di bar. Bagaimana awalnya kasus tidak terkendali?
Sama seperti juga di banyak negara lain, munculnya varian Delta menyebabkan meningkatnya penularan kasus di Jepang.
BACA JUGA: Penampakan Bungker Peninggalan Militer Jepang
Tapi saat menjadi tuan rumah Olimpiade, Jepang juga harus memastikan penyelenggaraannya berjalan dengan baik.
Padahal ketika itu banyak rumah sakit di Tokyo tidak memiliki cukup tempat tidur untuk menampung pasien yang semakin banyak.
Hiroshi Nishiura, seorang pakar penyakit menular yang juga penasehat pemerintah mengatakan kenaikan kasus COVID-19 terjadi karena meningkatnya pergerakan warga karena liburan musim panas.
"Selama musim liburan ini, kita bertemu dengan orang yang sebelumnya jarang kita temui, juga kemungkinan kita akan makan bersama orang lain secara tatap muka," kata Dr Nishiura dari Kyoto University kepada Reuters.
Seorang guru bahasa Inggris, Megumi Takahashi, yang tinggal di Fujisawa sekitar 47 kilometer dari ibu kota Tokyo mengatakan pembatasan yang diberlakukan di negaranya kadang membingungkan.
Jepang tidak mengeluarkan pembatasan secara nasional juga tidak menerapkan 'lockdown', karena kebebasan pribadi di Jepang sangatlah penting.
Pemerintah hanya mengeluarkan arahan seberapa banyak orang yang bisa makan di restoran, serta jam berapa restoran bisa buka dan tutup.
"Mereka seperti memohon kepada warga namun tidak ada hukuman bagi yang melakukan pelanggaran," kata Megumi. Strategi vaksin plus di Jepang
Sama seperti Australia, Jepang juga lebih lambat memulai proses vaksinasi karena harus terlebih dahulu melakukan uji keamanan vaksin buatan lokal.
Pejabat pemerintah juga mengatakan pada awalnya tidak cukup petugas yang tersedia untuk melakukan vaksinasi.
Tapi sekarang lebih dari 70 persen warga Jepang sudah mendapatkan vaksinasi penuh dua dosis.
Mike Toole, epidemiolog di Burnet Institute di Australia mengatakan tidak seorang pun bisa menjelaskan alasan utama mengapa kasus COVID-19 di Jepang bisa menurun.
"Penurunan kasus telah membuat para pakar Jepang kebingungan dengan apa yang terjadi," katanya.
Professor Toole mengatakan Jepang sudah menetapkan strategi "vaksin plus", yaitu kombinasi antara vaksinasi dengan tingkat pencegahan lainnya.
Menurutnya keberhasilan di Jepang kemungkinan disebabkan kombinasi beberapa faktor, seperti kepatuhan warga untuk menjaga jarak, penggunaan masker dan tingginya angka vaksinasi.
"Saya kira di mana-mana vaksinasi sudah menunjukkan alat yang paling efektif untuk menurunkan kasus, namun vaksinasi saja tidaklah cukup," kata Professor Toole.
"Itulah sebabnya beberapa negara seperti Denmark dan Portugal berhasil, tapi beberapa negara yang melonggarkan pembatasan terlalu cepat seperti Inggris dan Irlandia tidak begitu berhasil."
Professor Toole mengatakan udara yang lebih sejuk juga menyebabkan menurunnya kasus, karena banyak orang meninggalkan apartemen mereka yang ber-AC untuk melakukan kegiatan di luar ruangan, yang tentu saja risiko penularannya lebih rendah. Kehidupan sudah kembali normal
Warga Tokyo, Mayuko Konno, mengatakan kehidupan di ibu kota Jepang sudah kembali normal, setelah kasus harian pernah mencapai 5 ribu.
"Tahun ini saya bisa ke klub malam, cafe, bar dan gym, tahun lalu saya tidak bisa melakukannya," katanya.
"Keadaan sekarang hampir sama seperti sebelum adanya virus, kecuali hanya penggunaan masker."
"Tahun lalu kami berpikir terus menerus mengenai virus corona, namun sekarang tidak lagi."
Mayuko kembali dari Australia ke Jepang setelah pandemi dimulai tahun lalu dan sekarang bekerja di Tokyo.
Dia merasa yakin tidak akan terkena COVID-19 karena begitu banyak warga di Jepang yang menggunakan masker. Khawatir kasus akan meningkat lagi
Beberapa pakar di Jepang mengkhawatirkan pelonggaran pembatasan di tempat-tempat yang banyak dikunjungi orang akan menyebabkan kasus COVID meningkat kembali.
"Setelah sekian lama dalam keadaan darurat, mulai hari ini akan ada banyak orang yang ingin keluar, dan itu bisa mengakibatkan kenaikan kasus lagi," kata Koji Wada, professor bidang kesehatan publik di International University of Health and Welfare.
Pendapat sama dikatakan juga oleh Megumi yang mengatakan kepada ABC jika ia khawatir kasus akan meningkat setelah aturan konsumsi alkohol dilonggarkan.
Professor Toole mengatakan risiko penularan akan meningkat karena warga akan kembali mengunjungi restoran dan bar yang memiliki ventilasi buruk selama musim dingin.
"Warga akan lebih banyak duduk di dalam restoran yang hangat, bila mereka boleh minum, mereka cenderung akan membawa makanan dan minum di situ," katanya.
"Mereka tidak akan mengenakan masker saat makan dan minum dan ini akan meningkatkan risiko. Saya kira masih banyak orang yang khawatir.
"Ketika musim ingin tiba dan ada acara pesta akhir tahun, saya kira akan lebih banyak kasus lagi."
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News
Simak! Video Pilihan Redaksi:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Top, CDC AS Kategorikan Indonesia Sebagai Zona Hijau