Kebijakan Pembatasan BBM tak Masuk Akal

Sabtu, 07 Januari 2012 – 21:18 WIB

JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR Fraksi PDI Perjuangan, Dewi Aryani, menegaskan pembatasan BBM yang sekarang tengah digadang pemerintah sebagai solusi penghematan anggaran negara, sangat tidak masuk akal. Sebab, masih banyak sektor lain yang bisa dimaksimalkan untuk mendapatkan pendapatan negara guna menutupi subsidi BBM.

Dengan mewacanakan pembatasan BBM, menurut Dewi, hal itu membuktikan pemerintah panik karena tidak adanya pengelolaan sumber energi yang baik oleh Pemerintah. Kata dia, kebijakan pembatasan BBM itu justru akan mengorbankan kepentingan rakyat.

"Lagi lagi rakyat yang harus 'membayar' kegagalan pemerintah. Manajemen panik kian jadi andalan pemerintah dalam mengelola negara dengan sumber energi yang luar biasa dan sumber daya manusia yang memiliki beragam keahlian dan kepakaran disegala bidang," kata Dewi, Sabtu (7/1), kepada JPNN.

Kandidat Doktor Administrasi Kebijakan Publik dan Bisnis, Universitas Indonesia,
itu menyesalkan sektor lain yang juga amat penting untuk dikelola dengan serius dan sistematis malah terabaikan. Di antaranya, pajak,  baik itu di sektor penerimaan maupun pengelolaan, pengelompokan peruntukannya.

Khusus bidang energi, Dewi juga menyoroti dengan tidak adanya Kebijakan Energi Nasional (KEN) dalam jangka pendek, menengah dan panjang,  menyebabkan potensi penerimaan negara di sektor ini banyak yang hilang percuma, dan tersedot oleh negara lain yang tidak saja mengelola dan memanfaatkannya. Tapi, tambah Dewi,  berbagai kewajiban pembayaran royalty yang seharusnya tinggi dan sepadan, cost recovery yang menjadi kewajiban pengelola pertambangan dan migas, hingga masalah  prosentase fokus penggunaan untuk sektor domestik tidak pernah dikelola dengan baik.

"Belum lagi sektor-sektor yang lain," kata politisi kelahiran Magelang, 16 Januari 1973, itu.

Dijelaskan Dewi kembali, pembatasan yang digaungkan pemerintah tidak ada landasan kajian yang komprehensif. Semuanya serba tanggung. Pembatasan untuk mobil sedemikian rupa dipaksakan, namun pemerintah lupa bahwa penggunaan BBM untuk sepeda motor justru peningkatannya malah jauh lebih besar.

"Coba saja hitung berapa jumlah peningkatan sektor transportasi. Tapi, jangan lupa bahwa sektor transportasi juga menjadi indikator keberhasilan ekonomi," tambah Dewi.

Seharusnya, kata Dewi, pemerintah mengembangkan kebijakan yang menyatu dari hulu ke hilir. Semua sektor yang menjadi wilayah pemanfaatan energi harus dipetakan, sehingga dapat di mengeleluarkan kebijakan-kebijakan menyeluruh yang saling terintegrasi dan tidak malah menimbulan masalah baru.

"Peluang masalah terjadi karena satu sama lain diantara kementrian tidak saling kordinasi bahkan terkesan ada ego sektoral," kritik anak buah Megawati Soekarnoputri, itu.

Dewi menegaskan, Dewan Energi Nasional (DEN) yang di ketuai oleh Presiden, menjadi salah satu aktor paling bertanggung jawab terhadap kebijakan kebijakan energi nasional yang seharusnya bisa segera di mulai dengan segera dibuat dan disahkan KEN.

"Tapi tentunya KEN yang tidak asal dibuat, tapi mengacu kepada empat pilar kebangsaan, segi ekonomisnya hingga kepada leadership (pemimpin), yaitu berani mengambil keputusan cepat, tepat, akurat dengan penghitungan cermat yang berfokus kepada pengutamaan kepentingan dalam negeri, kepentingan rakyat," pungkas Dewi. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menkeu Kaji Insentif Mobnas


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler