Kebijakan Publik di Sektor Telekomunikasi Kurang Kondusif, Ini Buktinya

Sabtu, 19 Maret 2022 – 15:37 WIB
Kebijakan publik di sektor telekomunikasi kurang kondusif. Ilustrai Foto: dok Telkomsel

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Riant Nugroho menilai naik turunnya layanan internet bukan semata-mata karena kesalahan industri telekomunikasi. Namun, juga disebabkan kebijakan publik di sektor telekomunikasi yang kurang kondusif. 

“Ini sudah terjadi sejak lama, mestinya UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi disempurnakan,” kata Riant Nugroho dalam keterangannya, Sabtu (19/3). 

BACA JUGA: Peliputan Ajang MotoGP Dipungut Biaya? Dirjen Kominfo Bilang Begini

Mengenai revisi UU Telekomunikasi, menurut Riant sudah ada desakan masyarakat agar pemerintah memperbaiki regulasi tersebut.

RUU Telekomunikasi yang baru sebenarnya telah disiapkan pada periode 2012-2013. Pada RUU tersebut diusulkan untuk mendukung perbaikan pada tiga sektor, yakni industri telekomunikasi, pemerintah dan masyarakat sebagai konsumen. 

BACA JUGA: Cegah Stunting, Calon Pengantin Harus Siap Nikah dan Hamil

RUU ini kata Riant, untuk memperbaiki UU Telekomunikasi yang lama dan hanya fokus pada satu pilar, yakni pemerintah. Dua pilar penting lainnya malah miring. 

"Ini yang akan kami tegakkan agar ketiganya kuat,” ujar Riant yang juga ketua umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI). 

BACA JUGA: PT PP Garap Proyek Pengembangan Laboratorium Pusat Pengujian Perangkat TIK BBPPT

Sayangnya, tambah akademisi ini, RUU yang ada di Kominfo tersebut tiba-tiba lenyap dan diganti dengan naskah baru, yang berbeda sama sekali dengan naskah RUU yang telah mereka siapkan.

Dikatakannya, selama ini pemerintah sebagai regulator tidak mengarahkan operator agar komitmen memberikan pelayanan yang bermutu.

Peraturan yang ada justru menegaskan  bahwa jika ada pelayanan yang bermasalah maka operator wajib membayar denda kepada Kementerian Kominfo berupa pendapatan negara bukan pajak (PNBP).

“Kebijakan ini justru tidak tepat," cetusnya. 

Dia menilai kebijakan Kominfo cenderung memperbesar PNBP daripada meningkatkan kualitas pelayanan publik

Mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) ini juga memberikan gambaran terkait denda tersebut. 

Semisal, jika  upaya untuk meningkatkan pelayanan diperlukan anggaran sebesar Rp 100. Jika terjadi kesalahan dengan tidak memberikan pelayanan bermutu dikenakan denda cuma Rp 10. 

"Tentu saja operator akan lebih memilih membayar denda daripada memperbaiki layanan. Itu yang terjadi hingga saat ini,” ujarnya. 

Lebih lanjut dikatakan, ini menjadi pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan Menkominfo, termasuk menyiapkan kebijakan publik yang baru. 

Kebijakan itu harus bisa mengakomodasi berbagai persoalan di industri telekomunikasi saat ini maupun masa depan. Khususnya dari sisi pelayanan industri telekomunikasi bagi pelanggan atau masyarakat. 

"Ini agar potensi ekonomi digital yang digadang-gadang hingga naik delapan kali di tahun 2030, yaitu di angka Rp 4.531 triliun bisa tercapai," ujar alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Kebijakan tersebut, tambah Riant, juga harus bisa mengurangi beban-beban regulasi kepada pelaku industri telekomunikasi.

Terakhir, meniadakan berbagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kominfo yang berpotensi bersaing dengan pelaku industri telekomunikasi. 

Pada akhirnya, kata Riant, regulator telekomunikasi bukan hanya sekadar pelayanan karena regulasinya bersandar pada tiga dimensi.

Pertama, memastikan industri tumbuh dengan sehat. Kedua, mengurangi regulatory charge. Ketiga, memberikan fasilitas dan dukungan agar pelayanan telekomunikasi semakin bermutu tinggi. (esy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Puan Tolak Penundaan Pemilu, Pengamat: Mewakili Sebagian Besar Masyarakat


Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler