Kebijakan Pusat yang Tak Pernah Mendengar Suara Daerah

Satu Dekade Otonomi Daerah, Hubungan Pusat-Daerah yang Belum Seiring

Kamis, 01 September 2011 – 10:01 WIB

OTONOMI daerah sudah berjalan sepuluh tahunNamun, hubungan pusat dengan daerah masih tak seiring

BACA JUGA: Menkum HAM Kaji Penghapusan Remisi Koruptor

Studi The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) menemukan sejumlah hambatan
Kebijakan seperti apa yang dinilai bisa menghalangi kemajuan daerah? Berikut pemaparan WAWAN SOBARI, peneliti JPIP.

Salah satu masalah yang mencolok adalah keterbatasan anggaran daerah

BACA JUGA: KPK Janji Usut Keterlbatan Pihak Lain

Munculnya temuan itu cukup ironis di tengah semakin besarnya dana transfer pemerintah (pusat) ke daerah
Dalam RAPBN 2012, dana transfer tersebut dipatok Rp 464,4 triliun atau naik 8,88 persen daripada 2011 yang mencapai Rp 412,51 triliun

BACA JUGA: Nazaruddin Direstui Keluar Tahanan

Sementara itu, jika dibanding dana transfer 2006, angka pada 2012 sudah naik lebih dari dua kali lipat.

JPIP mewawancarai 20 kepala daerah, 6 wakil kepala daerah, 9 sekretaris daerah, dan 2 kepala bappeda untuk mengungkap hambatan otonomi daerah sejak digulirkan pada 2001Studi menemukan, problem keterbatasan anggaran muncul karena daerah memiliki keterbatasan dalam menggali pendapatan asli daerah (PAD)Daerah tidak bisa seenaknya menggali PAD karena terkena rambu-rambu UU (pajak dan retribusi daerah)Contohnya adalah beratnya sumbangan PADPada 2010, kontribusi PAD terhadap APBD kabupaten dan kota di Jawa Timur (minus Surabaya) hanya mencapai rata-rata 8,76 persen

Problem anggaran lainnya menyangkut sistem pembiayaan dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) yang menimbulkan ketergantungan pada pemerintahBelum lagi terjadinya disparitas alokasi DAU antarkabupaten dan kota.

Ironisnya, daerah juga masih harus dibebani keharusan mengalokasikan dana APBD untuk membiayai sharing DAK dari pemerintahPadahal, tidak seluruh kegiatan DAK sesuai dengan kebutuhan daerahKarena itu, porsi pembiayaan kegiatan-kegiatan pembangunan yang dibutuhkan masyarakat justru terkurangi karena tergerus kewajiban alokasi dana pendamping DAK.

Belum lagi besarnya alokasi belanja pegawai yang rata-rata mencapai 58,85 persenBila dibanding DAU, belanja pegawai kabupaten dan kota di Jawa Timur melebihi DAU yang diterima, yaitu mencapai 100,86 persen

Karena itu, munculnya kritik terhadap besarnya porsi dana transfer daerah dalam RAPBD 2012 tidak saja menjadi persoalan pemerintahSebab, faktanya, dana transfer yang diterima pun menjadi persoalan di daerahKondisi itu, antara lain, terjadi karena kebijakan penganggaran sepenuhnya berada di tangan pemerintah

Masalah lainnya berupa ketidaksesuaian kebijakan pemerintah dengan kondisi daerahSejumlah kebijakan pemerintah (UU, PP, atau permen) dinilai menyulitkan tatkala daerah menjalankan regulasi tersebutBahkan, kebijakan itu inkonsisten dengan pelaksanaan otonomi daerah yang berprinsip otonomi seluas-luasnyaCukup banyak informan yang menggunakan pemeo "kepala dilepas, ekor dipegang" atau dalam bahasa lokal Jawa Timur: "otonomi daerah masih digandoli pemerintah".

Salah satu penyebabnya, pemerintah tidak partisipatif dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan tersebutSaat menyusun peraturan pemerintah (PP) atau peraturan menteri (permen) sebagai peraturan pelaksana UU, pemerintah sangat jarang meminta pendapat daerahKarena itu, setelah selesai disusun dan diimplementasikan, banyak ketidaksesuaian dengan kondisi daerah.

Berikutnya, pemerintah masih inkonsisten dalam melaksanakan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan DaerahDaerah mempersoalkan urusan yang semestinya menjadi kewenangan daerah masih dipegang pemerintahMisalnya, penyelenggaraan urusan pertanahan.
Padahal, konflik pertanahan seluruhnya terjadi di daerahSangat disayangkan, pada saat yang sama, daerah tidak bisa berbuat banyak untuk menyelesaikan konflik tersebut.

Inkonsistensi lain, pengelolaan sekolah-sekolah pemerintah berbasis agama masih di bawah kendali pemerintahPadahal, dampak sekolah-sekolah itu setidaknya memengaruhi laju indeks pembangunan manusia (IPM) daerahIronisnya, daerah tidak bisa sepenuhnya mengambangkan lembaga tersebut karena pengelolaannya berada di bawah instansi vertikal.

Selain itu, pemerintah justru mengeluarkan regulasi keuangan yang membelenggu daerah dalam berotonomiDaerah menjadi takut berinovasiKepala daerah dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) ragu-ragu bahkan tidak berani melakukan terobosan untuk memajukan daerah karena terbentur regulasi keuangan yang membatasi item-item pengeluaran atau belanja.

Kebijakan otonomi daerah ternyata juga belum ditunjang sistem administrasi terdesentralisasiUntuk urusan-urusan administratif, pemerintah kabupaten dan kota masih harus langsung mengurusnya ke JakartaPadahal, di daerah ada provinsi sebagai kepanjangan tangan pemerintahDengan kata lain, provinsi belum difungsikan dengan baik sebagai wakil pemerintah di daerah.

Terakhir, adanya penguasaan lahan di daerah oleh instansi vertikalDaerah sulit mengembangkan wilayah karena sebagian wilayahnya berada di bawah penguasaan instansi vertikal atau BUMNContoh yang paling sering disebut adalah penguasaan lahan oleh Perhutani

Implikasinya, daerah tidak bisa mengembangkan kawasan-kawasan yang kaya potensi sumber daya alam dan memberikan dampak pada kemajuan perekonomian daerahKabupaten Malang, Jember, dan Banyuwangi merupakan contoh daerah yang menghadapi situasi ituSaat ingin mendorong kemajuan ekonomi di wilayahnya, daerah mengalami hambatan karena lokasi-lokasi investasi berada di wilayah PerhutaniSelain itu, daerah tidak bisa memaksimalkan potensi laut yang dimiliki karena berada di lokasi yang sama.

Kewenangan pemerintah atas sebagian wilayah di daerah juga terkait dengan pengelolaan jalan negaraDaerah merasakan dampak langsung dari kurang baiknya pengelolaan jalan negaraDampak sosial dan ekonomi muncul tatkala terjadi keterlambatan perbaikan jalanPada waktu yang sama, daerah tidak memiliki kewenangan dan anggaran untuk memperbaiki jalan tersebut(wawan sobari/JPIP/c5)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Patokan Dua Derajat Diragukan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler