jpnn.com - Menikah dengan seorang gadis yang masih perawan (virgin) menjadi dambaan kebanyakan pria, yang baru pertama kali menikah.
Lalu bagaimana bila setelah menikah, si pria baru mengetahui bahwa kekasih yang baru dinikahinya sudah tidak virgin lagi?
BACA JUGA: Sophia Latjuba Belum Anggap Demas Narawangsa Sebagai Menantunya, Kenapa?
Bolehkah, dia membatalkan pernikahan dan menarik mahar yang telah diberikannya?
Jumhur ulama memang membolehkan pasangan yang menikah untuk melakukan fasakh (pembatalan) nikah akibat penyakit akut, seperti lepra, tunagrahita, impotensi, cacat kemaluan si istri karena tertutup daging atau tulang, dan sebagainya.
BACA JUGA: Dilarang Meniup Makanan dan Minuman yang Masih Panas! Simak Hukum dan Dampaknya
Namun, berbeda pendapat mengenai keperawanan seorang perempuan, baik karena perzinaan atau sebab lain, dianggap sebuah cacat atau bukan.
Imam al-Syafi‘i mengemukakan dalam al-Umm bahwa ketidakkeperawanan perempuan bukan satu cacat, yang membolehkah seorang suami menarik mahar atau membatalkan perkawinannya (khiyar fasakh).
BACA JUGA: Konsep Pernikahan Impian Terwujud, Eva Celia dan Demas Narawangsa Menangis
Hanya saja, secara tidak langsung, dia memberikan khiyar lain, di mana suami boleh memilih, antara melanjutkan pernikahan atau mengakhirinya dengan talak.
Artinya: jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang tidak diketahui bahwa perempuan itu sudah pernah berzina, tapi belakangan sebelum bergaul, sang suami tahu bahwa ia telah berzina sebelum atau setelah menikah, maka perempuan tersebut tidak haram baginya.
Selain itu suami juga tidak ada hak untuk mengambil mahar darinya, tidak pula ada hak fasakh baginya. Hanya saja, jika mau, suami boleh meneruskan pernikahan, atau mencerainya.
Sementara Ibnu Shalah, salah seorang ulama Syafi‘iyah, dalam Fatawa-nya menganggap hilangnya keperawanan sebelum akad dianggap sebuah cacat yang membolehkan suami membatalkan pernikahannya (fasakh).
Artinya: jika ada laki-laki menikahi seorang perempuan karena perempuan itu masih perawan, tapi ternyata sudah tidak, maka mengenai keabsahan pernikahannya ada dua pendapat.
Namun, menurut pendapat yang paling kuat, pernikahannya tetap sah. Hanya saja, si suami memiliki hak khiyar fasakh.
Pendapat Ibnu Shalah ini sejalan dengan pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal yang dikutip Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu.
Bahkan, tidak saja menetapkan hak fasakh, tetapi juga menetapkan ketiadaan mahar bagi si perempuan bilamana fasakh dilakukan sebelum bergaul.
Contohnya, laki-laki yang ingin menikah dengan perempuan cantik, tapi ternyata dia tidak cantik. Atau, orang yang ingin menikah dengan perempuan terpelajar, ternyata orang awam.
Atau, orang yang ingin menikah dengan perawan, ternyata ia seorang janda (tak perawan). Maka suami memiliki hak fasakh.
Selain itu, istri juga tidak memiliki hak mahar jika fasakh dilakukan sebelum bergaul suami-istri, atau setelah bergaul tapi penyebab penipuan datang dari si perempuan sendiri.
Sedangkan jika penipuan datang dari orang lain, maka suami boleh menarik apa yang diberikan kepada si perempuan melalui orang lain tersebut.
Kemudian jika dilakukan fasakh, maka fasakh-nya menurut pendapat yang paling sahih disyaratkan harus diajukan lebih dahulu kepada hakim (pengadilan), agar hakim mengambil keputusan setelah menimbang perkaranya.(jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada