Kecewa PKPU Ditolak, Kuasa Hukum PT CUAN: Hakim Tak Membaca Bukti-Bukti Secara Utuh

Kamis, 05 Desember 2024 – 15:06 WIB
Kuasa hukum PT Cuan Dr. Agus Nurudin buka suara terkait putusan Pengadilan Negeri Semarang yang memutuskan menolak perkara 30/PDT.SUS-PKPU/2024 PN Niaga Smg antara pemohon PT CUAN dengan termohon PT IES. Foto: source for jpnn

jpnn.com, SEMARANG - Kuasa hukum PT Cuan Dr. Agus Nurudin buka suara terkait putusan Pengadilan Negeri Semarang yang memutuskan menolak perkara 30/PDT.SUS-PKPU/2024 PN Niaga Smg antara pemohon PT CUAN dengan termohon PT IES.

Agus mengaku kecewa terhadap putusan majelis hakim tersebut karena alasan perkara tidak sederhana. Sebab, pernyataan hakim yang menyebut bahwa perkara ini terlalu prematur, lantaran perkara yang sama sedang diadili di Mahkamah Agung (MA).

BACA JUGA: Kurator dan Pengurus Rawan Jadi Objek Tindak Pidana dalam Kasus Kapailitan dan PKPU

"Ini merupakan pendapat yang menyesatkan," ujar Agus di PN Semarang, Rabu (4/12/2024). 

Agus menduga hakim tidak membaca bukti-bukti yang telah disampaikan oleh pemohon secara utuh. Padahal perkara yang di MA itu, terkait dengan keberatan atas cessie Invoice nomor 29, sedangkan yang dijadikan dasar untuk permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah invoice nomor 12 sampai 28.

BACA JUGA: J Trust Bank: PKPU Sementara PP Properti Merugikan Kreditur

"Jadi jual beli ini ada invoice nomor 12 sampe 29, sedangkan yang dijadikan alat bukti untuk permohonan PKPU itu nomor 12 sampai 28, sementara objek yang perkara perdata yang sekarang di kasasi invoice nomor 29," ungkapnya.

Selain itu, kata Agus, hakim yang mengadili perkara tersebut bukan orang yang tidak tahu tentang permasalahan PT Cuan dan PT IES. Sebab hakim yang menyidangkan perkara PKPU itu juga pernah memutus kasus pidana yang dilakukan oleh direktur PT IES.

BACA JUGA: Grup VIVA Rampungkan Restrukturisasi PKPU, Fokus Pengembangan Bisnis Digital dan Konten

"Hakim ini sangat mengetahui, karena hakim inilah yang memutus perkara pidana direktur IES yang dipidana, itu yang jadi hakim beliau jadi tau persis persoalannya," tegas Agus.

Dia pun melihat ada keanehan dalam perkara nomor 10 PKPU. Di mana hakim tidak membaca bukti lagi. Padahal PT Cuan itu mengajukan permohonan PKPU terhadap IES 2 kali, kemudian diputus oleh hakim yang sama.

Dalam perkara nomor 10 PKPU, hakim mengatakan ini adalah perjanjian kerjasama, seolah-olah antara Cuan, IES, ada perjanjian kerjasama, padahal tidak ada sama sekali dalam buktinya, sudah jelas itu jual beli antara Cuan dengan IES.

"Sementara IES mau di jual kemana aja itu urusan dia kita nggak ada urusannya. Kenapa hakim tiba-tiba memutuskan adanya kerjasama," ungkap Agus dengan kesal.

Seharusnya hakim dapat mempertimbangkan atas dasar bukti, bukan seenaknya sendiri. Padahal masyarakat datang ke pengadilan itu dalam rangka mencari keadlialn. Sementara, hakim merupakan wakil Tuhan di muka bumi.

"Jika hakim sudah duduk diatas mimbar maka dia sebagai seorang pengadil, framenya harus melindungi orang yang dirugikan. Dalam kaitan ini klien kami dirugikan karena jual beli tak dibayar, namun anehnya hakim tidak dapat memberikan rasa keadilan bagi pencari keadilan," ujarnya.

Akan Melaporkan Hakim ke Komisi Yudisial

Terkait dengan putusan PKPU yang kembali ditolak, Agus menilai hakim tidak profesional dalam mengambil satu putusan. Sebab tidak membaca bukti secara teliti, hakim hanya membaca pengantar bukti dari termohon.

Menurut dia, jika kliennya mengizinkan, pihaknya melaporkan hakim yang memutus perkara tersebut ke Komisi Yudisial (KY) maupun Hakim Pengawas. Dan tidak menutup kemungkinan akan melapirkan kasus ini juga ke Komisi III DPR RI.

"Sebab jika persoalan ini dibuarkan maka akan jadi preseden buruk bagi peradilan di Indonesia. Setidaknya lapiran kami dapat menjadi koreksi pagi para penegak hukum di negeri ini,"

Agus juga menyarankan kepada DPR agar mengkaji undang-undang atas putusan PKPU agar dapat kembali dilakukan upaya hukum lain. Sehingga dapat memberikan kesempatan bagi pencari keadilan untuk mendapatkan hak-haknya.

Perlu Diketahui, kasus ini berawal dari jual beli minyak yang melibatkan PT. Cemerlang Usaha Agri Nusantara (PT CUAN) dengan PT IES sebagai pembeli dengan total Rp 33 miliar.

Di tengah perjalanan PT IES hanya bisa membayar invoice sebesar Rp 11 miliar. Tak hanya itu, PT IES juga tidak bisa membayar invoice dari kreditur lain yakni Ariq Ro'is, PT Alami Vinteg dan PT Bengkulu Sawit Lestari.(ray/jpnn)


Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler