Sejak kudeta tahun lalu di Myanmar, Kedutaan Besar Australia telah menghabiskan lebih dari A$750.000 (Rp7,5 miliar) untuk sewa hotel yang terkait dengan junta militer di Yangon.

Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) merilis faktur belanja tersebut setelah diminta oleh kelompok aktivis Justice for Myanmar yang dilakukan berdasarkan UU Kebebasan Informasi.

BACA JUGA: Gugatan Izin Pemakaian Ganja Sebagai Obat Ditolak Namun Penggugat Tetap Akan Berjuang

Para aktivis mengatakan dolaran uang pajak Australia seharusnya tidak boleh dihabiskan di hotel yang dibangun di atas tanah yang dimiliki dan disewakan oleh militer negara itu.

Pada Februari 2021, militer Myanmar menggulingkan pemerintah yang terpilih secara demokratis, dengan alasan kecurangan pemilu, dan sejak itu menindas segala aksi protes terhadap rezim.

BACA JUGA: Begini Cara Mendapatkan Pembayaran COVID di Australia

Sebuah kelompok hak asasi manusia, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik menyebut lebih dari 2.000 orang dilaporkan telah tewas dan 14.000 lainnya ditangkap sejak kudeta.

Dokumen ini merinci pengeluaran Kedubes Australia di Hotel Lotte yang mewah sejak kudeta terjadi dan telah diberikan secara eksklusif kepada ABC News.

BACA JUGA: Program Ini Berupaya Menjembatani Pendatang yang Kesulitan Mencari Kerja di Australia

Perinciannya mencakup pembayaran kamar hotel dan layanan apartemen, di antaranya ada yang mencapai 60 ribu dolar untuk biaya sewa selama enam bulan.

Salah satu tanda terima memperlihatkan harga pembelian kue krim coklat seharga 46 dolar (Rp460 ribu). ABC mendapatkan informasi bahwa ini adalah pengeluaran pribadi yang tidak ditanggung oleh pemerintah.

Lotte Hotel ini berbintang lima dan dibangun di atas tanah milik Kantor Logistik dan Personal Angkatan Bersenjata di Yangon, yang telah dijatuhi sanksi oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada.

Dalam menjatuhkan sanksinya, Inggris mengatakan Kantor Logistik "memainkan peran penting dalam pengadaan peralatan untuk Angkatan Bersenjata Myanmar dan bertanggung jawab dalam kampanye kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di seluruh Myanmar."

Menurut catatan Komisi Investasi Myanmar, investor Lotte Hotel membayar sewa AS$1,87 juta setiap tahun, yang diberikan kepada Kementerian Pertahanan.

"Sangat tidak pantas Australia menghabiskan uang pembayar pajak di Hotel Lotte yang terkait dengan militer, mengabaikan rekomendasi Misi Pencari Fakta PBB untuk mengakhiri bisnis dengan militer Myanmar," kata juru bicara kelompok HAM Keadilan untuk Myanmar, Yadanar Maung.

"Lotte Hotel membiayai Angkatan Darat Myanmar, membayar sewa ke Kantor Logistik yang membeli amunisi dan bom yang digunakan dalam serangan terhadap rakyat Myanmar. Kedutaan Australia pasti mengetahui hal ini," kata Yadanar.

Seorang pakar HAM dan spesialis PBB, Chris Sidoti, yang merupakan bagian dari misi pencarian fakta ke Myanmar mengatakan pengeluaran Kedubes Australia bertentangan dengan seruan untuk mengisolasi junta militer secara finansial.

"Pada akhirnya, uang itu mengalir kembali ke militer. Rekomendasi kami sangat spesifik bahwa kita perlu memotong arus kas ke mereka," katanya.

"Kami secara khusus mengidentifikasi pengaturan tanah di mana pihak militer sedemikian rupa memperoleh tanah - seringkali dengan cara paksa - dan kemudian investor asing membangun hotel atau pusat perbelanjaan atau pelabuhan di atas tanah itu dan mereka memperoleh pendapatan melalui sewa," jelas Chris Sidoti. 

Senator Australia dari Partai Hijau, Janet Rice, menilai informasi yang terungkap ini sangat mengejutkan.

"Tidak hanya bahwa pemerintah sebelumnya tak memberlakukan sanksi, tapi sekarang kita mengetahui bahwa sebenarnya kita telah mendanai perang di Myanmar," ujarnya.

"Ini tak termaafkan. Pemerintah Australia yang baru sangat perlu memutuskan hubungan sepenuhnya dengan pengaturan bisnis apa pun yang menghasilkan uang bagi junta militer," kata Senator Rice. DFAT sebut staf butuh akomodasi aman

Dalam sebuah pernyataan, Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia mengatakan kepada ABC bahwa mereka menampung staf kedutaan di Yangon pada "sejumlah kecil kompleks apartemen dan rumah yang dinilai aman."

"Keselamatan dan keamanan staf kedutaan di Myanmar adalah prioritas utama kami," kata juru bicara DFAT.

"Saat ini pilihan akomodasi aman di luar fasilitas ini sangat terbatas. Pilihan akomodasi akan terus ditinjau," katanya.

"Operasi Pemerintah Australia di Myanmar tidak secara langsung mendanai militer Myanmar," tambahnya.

Chris Sidoti menjelaskan, kontrol militer terhadap ekonomi dulunya begitu luas sehingga sulit untuk menemukan bisnis yang tidak melibatkan tentara, tapi sekarang sudah tidak lagi seperti itu.

"Ekonomi telah banyak terdiversifikasi dalam 20 tahun terakhir. Tentu saja sekarang mungkin untuk tinggal di hotel yang tak memiliki hubungan dengan militer sama sekali," jelasnya.

Para aktivis telah lama menyerukan untuk memboikot Hotel Lotte dan bisnis lain yang menguntungkan tentara, yang biasa disebut Tatmadaw.

Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar (NUG) — pemerintah alternatif di pengasingan — baru-baru ini mengkritik Pemerintah Hong Kong karena merencanakan acara besar-besaran di hotel itu.

Perwakilan NUG di Australia Dr Tun Aung Shwe mengaku kaget karena sebelumnya Pemerintah Australia sendiri telah menurunkan hubungan diplomatiknya dengan Myanmar dengan cara tidak menunjuk seorang duta besar.

Dr Tun mengira, dengan tidak menunjuk seorang Dubes, tentunya pejabat kedutaan Australia akan berhati-hati mempertimbangkan langkah mereka di Myanmar, berusaha untuk tidak terlibat dalam bisnis yang terkait dengan militer.

"Kita semua tahu bahwa junta menggunakan pendapatan semacam ini untuk membunuh rakyatnya sendiri," katanya.

Ketika ditanya tentang seruan untuk memboikot hotelnya, juru bicara Lotte Hotels Group yang berbasis di Korea mengakui pihaknya menyadari adanya masalah HAM dan berharap situasi saat ini akan segera normal.

Juru bicara tersebut mengatakan bahwa sewa lahan hotel "masuk ke anggaran nasional Pemerintah Myanmar sesuai UU Keuangan Myanmar." Penerima manfaat dari alokasi anggaran nasional Myanmar itu berada di luar kewenangan perusahaan Lotte Hotel. Seruan baru pembebasan Sean Turnell

Australia tidak memberlakukan sanksi baru terhadap para jenderal militer Myanmar sejak terjadinya kudeta.

"Setelah 18 bulan kudeta militer, ekonomi negara benar-benar runtuh. Lebih dari satu juta orang mengungsi karena kekejaman junta militer," kata Dr Tun.

Bulan lalu, Menlu Penny Wong telah mengisyaratkan kemungkinan sanksi terhadap junta.

Chris Sidoti menyambut baik hal itu karena sejauh ini Australia hanya menangguhkan program kerja sama militer yang tidak signifikan.

Dia mengatakan sanksi perlu dimulai dengan jenderal paling senior Tatmadaw - mereka yang paling bertanggung jawab atas kudeta - dan diperluas ke pejabat-pejabat militer lainnya.

Menurut Sidoti, ekonom Australia yang ditahan Profesor Sean Turnell, penasihat Aung San Suu Kyi, tidak boleh dilupakan.

"Setelah 18 bulan, tidak ada kemajuan dalam kasus Sean Turnell. Kita melihat orang asing lainnya telah dibebaskan, termasuk seorang warga AS padahal AS menjatuhkan sanksi yang sangat berat," kata Sidoti.

"Saya melihat para jenderal Burma itu tidak tertarik untuk bekerja sama, bahwa mereka hanya menanggapi tekanan (dunia internasional)," katanya.

"Sean tidak bisa dilupakan. Sean harus menjadi prioritas utama Australia. Tapi kebijakan yang diadopsi oleh pemerintah sebelumnya adalah kegagalan paten. Kita perlu beralih ke sesuatu yang lebih efektif," tambahnya.

Senator Rice sependapat dengan perlunya sanksi.

"Ini seruan nyata dan mendesak kepada pemerintah baru untuk segera menjatuhkan sanksi kepada junta Myanmar, dan semua orang yang terlibat dalam kudeta," katanya.

Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Terungkap, Banyak Karya Seni Aborigin Palsu Dibuat di Indonesia

Berita Terkait