Keistimewaan Ramadan

Minggu, 28 Mei 2017 – 07:00 WIB
Prof Dr Imam Taufiq M Ag. Foto Radar Semarang/JPNN.com

jpnn.com, SEMARANG - “HAI orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. al-Baqarah: 183)

Kedatangan bulan Ramadan, selayaknya disambut dengan suka cita, meskipun bisa jadi ada yang susah. Rasa gembira karena bulan agung yang dinanti telah hadir dengan banyak kelebihan dan keistemewaan.

BACA JUGA: Persempit Peluang Kejahatan Melalui Razia Ramadan

Mungkin gembira campur susah karena bulan beribadah ini hadir bersamaan dengan harga barang-barang pokok menaik, kriminalitas merebak, isu bom dan kompleksitas persoalan bangsa lainnya.

Ada juga yang sepenuhnya sedih karena tidak mampu mengisinya dengan amal ibadah yang positif karena kondisi dan problem yang menghimpitnya.

BACA JUGA: Memaknai Ramadan Sebagai Tamu Agung

Bahkan mungkin masih banyak respon lain yang menggambarkan hati dan sikap penerimaan sesuai dengan probelm dan kondisi masing-masing.

Kedatangan tamu memang harus disambut dengan hati yang lapang dan ikhlas. Karena itu, penyambutan ini sering menggunakan kata marhaban atau selamat datang. Istilah ini berasal dari kata rahb yang berarti luas atau lapang.

BACA JUGA: Potang Balimau, Tradisi Bersuci Menyambut Ramadan

Menyambut tamu harus dengan suasana hati yang gembira dengan penerimaan yang total, tidak merasa berat dan tidak susah.

Kegembiraan ini patut diberikan kepada tamu yang memang benar-benar layak untuk disambut karena kemuliaan dan keistimewaannya. Apalagi, kehadiran tamu itu akan memberikan ketentraman, kenyamanan dan keuntungan yang luar biasa bagi sang penyambut.

Ramadan, tamu super mulia, bulan yang sangat terhormat. Kemuliaan dan kehormatan ini bukan saja karena pada bulan ini sumber kebenaran dan bimbingan, yaitu kitab suci al-Quran diturunkan (Q.S al-Baqarah/2: 185), akan tetapi disebutkan bahwa di bulan ini pintu surga dibuka (HR Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah).

Karena inilah, umat Islam gegap gempita menyambutnya dengan penuh harap untuk mendapatkan keberkahannya. Keistimewaan bulan ini akan mempu mengantarkan kejernihan hati dan pensucian diri setelah sebelas bulan aktif bekerja memikirkan dunia yang kadang bergelimang noda dan dosa. Sudah saatnya umat Islam membersihkan diri untuk kembali kepada nilai-nilai yang selaras dengan ajaran Ilahi.

Selain itu, Ramadan adalah bulan puasa, sebuah sarana untuk mengevaluasi dan memperbaiki diri. Dengan mengelola hawa nafsu dengan profesional, seseorang akan mencapai status terbaik, dalam bahasa al-Qur’an disenut derajat muttaqin. Puasa adalah ibadah yang diwajibkan tidak saja bagi Kaum Muslimin saja, akan tetapi ditujukan juga kepada kaum terdahulu sebelum masa kenabian Muhammad.

Banyak orang melakukan puasa dengan cara, model dan keyakinan masing-masing. Namun, puasa yang produktif adalah puasa yang berdampak mencipatakan pribadi unggul yang mampu mengelola diri tetap konsisten dalam jalur kebenaran agama, berkomitmen menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Inilah sosok muttaqin, pribadi yang didamba oleh al-Qur’an.

Keberhasilan puasa ini bukanlah sesuatu yang gampang diraih. Tidak banyak orang mampu melaksanakannya dengan baik. Bahkan Nabi SAW pun mensinyalir “Banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak memperoleh apa-apa dari puasanya itu selain rasa lapar dan haus”.

Puasa, yang diisyaratkan dalam pernyataan Nabi tersebut, tentu tidak hanya sebatas puasa formalitas dengan tidak makan, tidak minum dan tidak berhubungan badan di siang hari atau meniru orang miskin lapar dan tidak tercukupi kebutuhannya.

Puasa produktif, yang mampu mengajarkan berprilaku positif, menahan nafsu menyakiti orang lain, menahan prilaku salah, dan selalu konsisten.

Puasa mengajarkan cara-cara hidup dasar manusia, seperti bertindak santun, kasih sayang kepada manusia dan juga kepada alam.

Nabi SAW pernah mengatakan: ”Sungguh, Tuhan mencintai kebaikan terhadap segala hal. Maka jika kamu menyembelih binatang, maka sembelihlah dengan cara yang baik”.

Berbuat baik atas dasar keyakinan akan adanya Sang Pengawas yang Maha Melihat inilah yang tampaknya telah menjadi problem utama kemanusiaan dewasa ini.

Jika seseorang meyakini dan mengimplementasikannya dalam kehidupan keseharian, pastilah akan damai kehidupan kemasyarakatan. Tidak ada kebohongan, keculasan, tipu daya, korupsi, konflik dan bentuk-pentuk penyelewengan dari kodrat kemanusiaan.

Bagi manusia yang mampu memahami kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya akan semakin menguatkan keyakinan bahwa segala sesuatu adalah pemberian Allah Yang Maha Kuasa.

Puasa akan mampu melatih seseorang mengasah potensi kebaikan untuk selalu berbuat terbaik untuk kedamian dan ketentraman masyarakat. Selamat datang bulan suci Ramadan, Marhaban ya Ramadan. (*/smu)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Imbauan Buat Warung Makan yang Tetap Buka di Siang Hari


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler