Kejahatan Seksual Anak Marak, Revisi UU Perlindungan Anak Mendesak

Sabtu, 24 Mei 2014 – 03:37 WIB
Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri saat berada di Tarakan, Jumat (23/5). Foto: Purwanto/Radar Tarakan/JPNN

jpnn.com - TARAKAN -  Tindak kekerasan pada anak menjadi tantangan tersendiri bagi Program Keluarga Harapan (PKH) dari Kementerian Sosial. Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri mengatakan, dua kelompok yang rentan terhadap tindak kekerasan sudah pasti anak dan perempuan.

"Kekerasan terhadap anak dan perempuan yang masif terjadi terbagi menjadi 3 jenis yaitu kekerasan fisik, seksual, emosional serta kumpulan dari ketiganya," katanya saat berada di Kota Tarakan, Jumat (23/5).

BACA JUGA: Tangerang Selatan Kebagian Kuota Mudik Gratis

Pada 2009, Kemensos, Unicef dan Puska UI melakukan survei kepada rumah tangga atas kekerasan remaja usia 10-18 tahun, sekitar 40 persen di  Aceh, 60 persen di Papua dan Jawa Tengah, 80 persen di NTT dengan perbandingan 1 dari 4 remaja pernah mengalami satu atau lebih kekerasan seksual.

Dua tahun kemudian, pemda Papua Barat, Papua, BPS, Unicef, Multi Indicator Cluster Survey/MICS di 6 kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat mendapatkan data, bahwa 4 dari 5 anak umur 2-14 tahun mengalami hukuman fisik dan emosional dengan pelaku orang  tua atau pengasuh.

BACA JUGA: Keppres Pemakzulan Bupati Karo Belum Diteken

Dalam PKH, penerima manfaat diberikan penguatan kapasitas keluarga dalam bentuk sesi pengembangan keluarga, meliputi empat aspek, yaitu pendidikan, ekonomi, kesehatan dan perlindungan anak.

"Mudah-mudahan apa yang kita dengar dari anak-anak yang merupakan kejahatan kemanusiaan ini tidak terjadi lagi. Ini perlu kerja keras oleh semua pihak. Mulai dari gerakan nasional untuk menghadapi kejahatan pada anak secara seksual dan kepada perempuan juga.  Bukan hanya anak-anak saja," ungkapnya.

BACA JUGA: Pemkot Belum Usulkan Formasi CPNS 2014

Namun, Lanjutnya, tanpa gerakan seluruh komponen bangsa, pemerintah daerah, orang tua, lembaga swadaya masyarakat dan seluruh masyarakat Indonesia sulit mengahadapi kejahatan-kejahatan tersebut. Akan tetapi, dengan gerakan itu akan terjadi akselerasi percepatan yang luar biasa dalam menghadapi problema yang dihadapi oleh anak Indonesia.

Mensos diberikan tugas sesuai Instruksi Presiden (Inpres) untuk meningkatkan kapasitas Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan seksual terhadap anak melalui penguatan peran keluarga, mengoptimalkan pendampingan pekerja sosial profesional dalam upaya pemulihan anak korban kejahatan seksual melalui rehabilitasi, reintegrasi dan reunifikasi sosial, serta memberikan bantuan sosial kepada anak korban kejahatan seksual dari keluarga yang tidak mampu.

"Telah diluncurkan Inpres tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak (GN-AKSA) yang melibatkan semua unsur terkait, termasuk Kemensos," bebernya.
 
Bersama KPPPA dan lembaga terkait, Kemensos mengajukan revisi UU Perlindungan Anak kepada DPR RI, khususnya dalam upaya memperberat sanksi bagi pelaku kekerasan terhadap anak.

"Kalau revisi Undang-Undang No 23 tahun 2002 itu harus dilakukan. Karena hukum yang ada hanya maksimal 15 tahun, jadi kalau dikenakan hukum bisa 3 hingga 4 tahun saja. Tapi yang kita inginkan 15 tahun itu minimal dan maksimal itu 40 tahun atau seumur hidup bahkan beberapa negara sudah melakukan itu," akunya.

Disebutkan, negara-negara model Rusia, Polandia, Korea Selatan telah menerapkan hal tersebut. Pasalnya, masyarakat di belahan bumi ini tidak cepat lupa. Ketika dikenakan sanksi hukum 5-15 tahun, ketika keluar mereka berbuat lagi.

Sebab, list atau daftar kejahatan tersebut tidak terdata, sehingga mereka bisa bekerja bahkan bisa menjadi guru dalam melakukan hal-hal tersebut. Jika diberikan hukuman seumur hidup bahkan mungkin juga hukuman mati maka kejahatan akan selesai.

"Siapa pun yang akan melakukan lagi akan berpikir seribu kali karena hukuman sangat-sangat berat," tegasnya.

Ditambahkan, meskipun banyak pihak yang mengatakan ini melanggar hak asasi manusia apalagi dihukum mati namun banyak diantara mereka melakukan perbuatan asusila dan mutilasi pada anak-anak. Apakah perbuatan itu tidak melanggar hak asasi manusia.

"Kenapa ketika dilakukan sanksi baru membicarakan hak asasi manusia namun perbuatan mereka itu bagaimana. Bukan hanya perbuatan asusila dan kejahatan kemanusiaan tapi juga mutilasi (pembunuhan)," ungkapnya.

Mengenai revisi UU tersebut menurutnya akan dikembalikan ke DPR RI karena mereka yang akan membahas disisa waktu 4 bulan masa jabatan. DPR RI Komisi VIII pun, sudah berkomitmen untuk melakukan revisi.

Sesuai tugas pokok dan fungsinya, Kemensos menggerakan semua unsur untuk merespon kasus-kasus kekerasan terhadap anak, seperti Tim Reaksi Cepat (TRC), Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos), Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), Telepon Sahabat Anak (TeSA), serta memaksimalkan LKSA.

"Ke depan, LKSA sebagai garda terdepan melakukan Family development Session dan Child Development Session  untuk pencegahan kekerasan dan perlindungan terhadap anak," ungkapnya.(*/aan/ica)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menparekraf: Saatnya Melirik Banyuwangi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler