Kejaksaan Dituding Langgar KUHAP

Jumat, 24 Februari 2012 – 16:02 WIB
JAKARTA - Kejaksaan dituding tak profesional dalam menangani perkara penambangan liar (ilegal mining) eksplorasi tambang batubara di kawasan hutan di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel). Ketidakprofesionalan kejaksaan, dibuktikan dengan memaksakan diri mengajukan kasasi dan memohonkan fatwa ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan bebas murni Pengadilan Negeri Banjarmasin. Perkara yang dipersoalkan tersebut atas nama Parlin Riduansyah, Direktur Utama PT Satui Bara Tama (SBT).

Bukan hanya tak profesional, dalam kasus yang tengah membelit dirinya itu, Parlin menuding ada keterlibatan mafia hukum. Alasannya, secara sadar dan terencana kejaksaan telah melanggar Pasal 224 KUHAP. Dimana putusan PN Banjarmasin tertanggal 19 April 2010 yang menjatuhkan vonis bebas murni atas dakwaan eksplorasi lahan di kawasan hutan, malah dilawan kejaksaan dengan mengajukan kasasi.

Padahal, lanjut Parlin, pasal 224 KUHAP dengan tegas melarang upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas murni. "Saya dinyatakan hakim tak bersalah dan dibebaskan dari semua dakwaan jaksa. Kedudukan, martabat dan nama baik saya harus dipulihkan," kata Parlin, Jumat (24/2).

Sebagai perusahaan yang sah, tambah dia, pekerjaan yang dilakukan SBT atas dasar izin Bupati Kota Baru Nomor 454/97.a/KP/D.PE tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksploitasi pada 23 Januari 2003. Keputusan ini kemudian diperkuat Keputusan Bupati Kota Baru Nomor 545/31.I/KP.D.PE tentang pemberian kuasa pertambangan eksploitasi tanggal 15April 2003 yang berada di areal budi daya tanaman tahunan dan perkebunan.

Parlin juga mempertanyakan ketidakkonsistenan kejaksaan sebab hasil paparan kasus (ekspose) yang dilakukan penyidik pada Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum (Pidum),  saat Direktur Pra Penuntutan dijabat, Poltak Manullang, perkara tersebut dinyatakan bukanlah perkara pidana.

Nyatanya, kejaksaan tetap memaksakan dengan mengajukan kasasi dan parahnya didukung MA dengan menjatuhkan pidana selama 3 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan pada 8 Oktober 2010. Tak puas, giliran Parlin melawannya dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) namun ditolak.

Yang jadi persoalan, amar putusan PK tak menyebut penghukuman yang harus dieksekusi. Tak kalah anehnya lagi, pada 25 Januari 2012, JAM Pidum memerintahkan Kejati Kalsel untuk mengeksekusi (menahan) Parlin. Namun karena isi putusan PK tak jelas, akhirnya Kajati Kalsel mengirim surat permintaan fatwa ke MA.

"Keadilannya dimana, jika sesuatu yang sudah berdasarkan prosedur dan hukum, tetap dipaksakan menjadi hal yang salah. Hukum di Indonesia makin tak jelas, dan hanya berpihak pada kepentingan penguasa," sindirnya. (pra/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... TKI di Malaysia Punya Pengacara Tetap

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler