jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan saat ini dunia sedang dihadapkan pada tantangan untuk mengendalikan pertumbuhan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Targetnya pada 2030, 45% emisi GRK di level 2010 bisa terpangkas, setelah itu turun menjadi Net-Zero di 2050/2060.
BACA JUGA: Raffi Ahmad Bongkar Penghasilan Endorse Rayyanza, Wow!
"Perusahaan-perusahaan minyak pun sudah beberapa punya target net zero emissions atau karbon netral di 2050," kata Fabby.
Menurut dia, salah satu emisi yang tinggi di industri migas adalah gas metana.
BACA JUGA: Kepedulian Pertamina untuk Korban Erupsi Semeru, Patut Dicontoh BUMN Lainnya
SKK Migas dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dituntut untuk bisa menekankan upaya penurunan gas metana ini.
“Metana punya Global Warming Potential sebesar 20x dari CO2. Jadi mengurangi gas metana, dari sudut pandang pengendalian emisi GRK sebenarnya lebih cost effective,” ungkap Fabby.
BACA JUGA: Avian Brands Resmi Tercatat di Bursa Efek Indonesia
Fabby menjelaskan, Carbon Capture Utilization, Storage (CCUS) dikombinasi dengan EOR bisa dipakai untuk meningkatkan produksi migas.
Hanya saja investasi CCUS itu cukup mahal, setara dengan US$100-120/ton CO2.
“Jadi kalau mau diberikan insentif bisa saja,” ujar Fabby.
Vorwata Enhanced Gas Recovery (EGR) CCUS di Papua ini akan menjadi proyek pertama di Indonesia. Melalui proyek ini, gas CO2 yang diproduksi akan dinjeksikan kembali ke dalam reservoir Vorwata untuk membantu meningkatkan produksi gas.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto di sela The 2nd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2021 (IOG 2021), di Bali mengungkapkan pihaknya menyusun roadmap untuk pengelolaan lingkungan industri hulu migas di masa depan.
SKK Migas melakukan bench marking dan berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya guna melihat potensi strategi untuk mencapai target-target tersebut.
“Kami melakukan kajian melalui bench marking potensi kegiatan dan strategi yang akan dilakukan. Hasil bench marking akan digunakan untuk menyusun roadmap, sehingga dapat diketahui prioritas utama strategi untuk penurunan emisi karbon dalam rangka peningkatan produksi migas,” kata Dwi.
Dia menargetkan dalam kurun waktu paling tidak empat bulan ke depan, roadmap bisa rampung sehingga berbagai perencanaan bisa diimplementasikan.
Penghijauan jadi salah satu andalan perusahaan mana pun untuk menekan emisi karbon, serta sebagai kewajiban yang sudah tertuang dalam regulasi saat pemanfaatan lahan untuk berbagai kegiatan produksi dan pengolahan sumber daya alam.
Berdasarkan data SKK Migas untuk tahun ini saja program penghijauan yang wajib dilakukan oleh KKKS dan sudah disepakati bersama dalam Work Plan and Budget (WPN&B) mencapai 6,9 juta pohon dengan total lahan seluas 14,1 ribu haktar (ha). Jumlah tersebut diproyeksi bisa menyerap CO2 mencapai 87,1 ribu ton per tahun.
Salah satu program, yaitu program penghijauan, telah masuk ke dalam Key Performance Indicator (KPI) SKK Migas.
“Sejak 2021, kami sudah memasukkan program penghijauan ke dalam KPI SKK Migas, untuk memastikan realisasi proyek di lapangan,” kata Dwi.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy