jpnn.com - JAKARTA - Sejumlah investor besar di Asia tengah khawatir dengan ancaman kekeringan likuiditas. Situasi paling ditakuti di pasar keuangan tersebut bisa muncul jika terjadi realisasi atas kemungkinan tapering off quantitative easing (QE) atau pengurangan stimulus moneter berupa pembelian obligasi pemerintah oleh bank sentral AS.
Kepala Riset Fitch Ratings Asia Pasifik Matt Jamieson mengatakan, berdasarkan wawancara dengan lebih dari 20 investor besar yang berbasis di Singapura dan Hongkong, sebagian besar percaya bahwa pelaksanaan tapering off akan berdampak besar pada pasar keuangan global. "Akan ada kekeringan likuiditas yang signifikan," ujarnya dalam laporan terbaru Fitch Ratings, Senin (18/11).
BACA JUGA: Sido Muncul Incar Dana Rp 990 M
Sebagaimana diketahui, selama ini The Fed mengucurkan dana stimulus hingga USD 85 miliar per bulan untuk membeli surat utang pemerintahnya sendiri. Tujuannya, agar pemerintah memiliki dana untuk menggerakkan roda perekonomian AS. Namun, sinyal perbaikan ekonomi di AS membuat The Fed berencana mengurangi kucuran stimulusnya.
Menurut Jamieson, investor percaya bahwa The Fed yang sebelumnya menunda tapering off pada September lalu, akan benar-benar melakukan pengurangan stimulus pada periode triwulan I hingga triwulan III 2014 mendatang. Investor menilai sebenarnya dampak negatif tapering off pada pasar obligasi akan lebih bisa dimitigasi jika dilakukan pada September lalu. "Sebab, pasar sudah siap mengantisipasinya," katanya.
BACA JUGA: DPLK Bumiputera Targetkan Pemasukan Rp1 Triliun
Bagaimana alur dampak tapering off pada pasar modal di Asia? Jamieson menyebut, pengurangan stimulus bakal membuat yield imbal hasil obligasi pemerintah AS naik di atas 3 persen. Sehingga selisih dengan yield obligasi perusahaan-perusahaan Asia akan makin lebar.
Dana-dana pun diproyeksi kembali mengalir ke AS. "Ini membuat kondisi peminjaman (di luar AS, red) makin ketat," ucapnya.
BACA JUGA: Mobil Murah Bentuk Segmen Baru
Menurut dia, kondisi ketatnya likuiditas akan berlangsung setidaknya selama 6 bulan sejak dilakukannya tapering off. Sebab para investor akan menunggu dan melihat kondisi pasar keuangan dunia agar lebih stabil. "Karena itu, investasi akan dilakukan lebih selektif dan permintaan imbal hasil akan makin tinggi," jelasnya.
Karena itu, kata Jamieson, perusahaan-perusahaan yang ingin menerbitkan obligasi akan kesulitan untuk mendapatkan investor yang mau membeli surat utang mereka. Jika pun ada investor yang mau membeli, pasti akan meminta bunga yang lebih tinggi. "Perusahaan yang baru pertama kali mengeluarkan obligasi akan kesulitan, kecuali jika perusahaan itu sudah terkenal atau badan usaha milik negara (BUMN) yang kuat," ujarnya.
Selain dampak pada korporasi, tapering off juga akan berdampak pada perekonomian negara emerging market, termasuk Indonesia. Sebagai gambaran, ketika The Fed pada pertangahan tahun ini mengumumkan untuk melakukan tapering off pada September, pasar keuangan Indonesia sudah goyah. Meskipun akhirnya tapering off batal dilakukan pada September lalu, banyak investor yang sudah terlanjur menarik dananya keluar dari pasar modal Indonesia. Akibatnya, rupiah pun terdepresiasi tajam.
Menteri Keuangan Chatib Basri mengakui, rencana tapering off The Fed tahun depan memang menjadi faktor eksternal yang paling diwaspadai pemerintah. Kaburnya dana dari pasar keuangan bisa memukul neraca modal Indonesia yang ujungnya berdampak pada neraca pembayaran Indonesia.
"Karena itu, dalam beberapa pekan ke depan, pemerintah akan kembali merilis paket insentif untuk mendorong ekspor dan menekan impor," katanya. (owi/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tahap Ke II, KCJ Datangkan 20 Unit KRL
Redaktur : Tim Redaksi