jpnn.com, PALU - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) berencana menambah jumlah tenaga pendidik di Kota Palu, Sulteng. Sebab, tidak sedikit guru yang menjadi korban bencana.
Berdasar laporan sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sebanyak 22 guru meninggal saat terjadi gempa dan tsunami. Kemudian, 14 guru dinyatakan hilang dan satu orang dirawat di rumah sakit.
BACA JUGA: Areal Terdampak Likuifaksi Sepakat Ditutup
Selain itu, menurut Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud Hamid Muhammad, ada beberapa guru yang eksodus keluar Palu. Karena itu, kemendikbud kini mencari guru pengganti.
’’Mungkin diambil dari sarjana pendidikan yang baru lulus,’’ tuturnya. Menurut dia, penanganan pasca bencana di Sulteng bakal jauh lebih lama dibandingkan di Lombok.
BACA JUGA: Relawan Ubaya Bantu Proses Healing Anak Korban Gempa
Terkait kurikulum bencana, menurut dia, belum perlu dibuat secara khusus. Namun, jika ada yang mengusulkan program mitigasi bencana, bisa dilakukan pembahasan. Pelatihan mitigasi bencana bisa dilakukan saat jam ekstrakurikuler. Bukan menjadi bagian dari kurikulum. Muatan atau pengetahuan kebencanaan bisa tetap dimasukkan dalam materi pelajaran oleh para guru.
Sementara itu, anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menuturkan, Kemendikbud dan Kementerian Agama perlu mempertimbangkan kondisi siswa yang berada di pengungsian.
BACA JUGA: H+11 Gempa Sulteng: 2.010 Korban Meninggal
Siswa yang belajar di kelas darurat harus diberi perlakukan khusus. Waktu pembelajaran juga tidak bisa disamakan dengan sekolah normal. Sebab, di daerah bencana, pemakaian ruang kelas harus bergantian.
”Jumlah ruangan yang dibutuhkan dengan yang tersedia tidak imbang, terutama untuk SMA/sederajat. Di sekolah darurat, rata-rata jam belajar berkisar lima jam. Di sekolah biasa delapan jam,” jelas Retno.
Dia mengusulkan ada kurikulum khusus untuk siswa yang tinggal di pengungsian. Hal itu berbeda dengan wacana memasukan materi tanggap bencana dalam kurikulum atau pelajaran sekolah.
Kurikulum khusus itu diperlukan karena situasi belajar mengajar siswa tidak bisa disamakan dengan sekolah normal. Karena itu, perlu ada perlakuan khusus sesuai dengan kurikulum baru itu.
”Sistem penilaian dan ujian sekolah serta ujian nasional peserta didik di sekolah-sekolah darurat, baik di Lombok, Palu, Donggala, dan tempat lainnya juga harus disesuaikan dengan kurikulum sekolah darurat,” ujar dia.
Retno menyebutkan, dari hasil pemantauan langsung ke beberapa sekolah di Lombok pada akhir Oktober lalu, para siswa merasa tidak nyaman dengan sekolah darurat. Sejak pukul 09.00, sekolah darurat yang beratap terpal terasa panas.
Siswa pun duduk lesehan karena tidak ada kursi. Duduk berlama-lama dengan lesehan membuat siswa lelah. ”Bahkan, jika hujan deras, kelas-kelas akan bubar karena tenda tertiup angin dan banjir,” tambah Retno.
Dia menuturkan hasil peninjauan dan rekomendasi telah disusun dan akan disampaikan kepada Kemendikbud dan Kemenag. Dia berharap rekomendasi itu bisa ditindaklanjuti dengan segera untuk memberikan keadilan bagi para siswa. ”Nanti KPAI akan ke Mendikbud untuk advokasi kebijakan,” jelas dia.
Kepala BNPB Willem Rampangilei menyampaikan, kondisi Palu dan sekitarnya mulai membaik. Willem mengakui bahwa pada tiga hari pertama setelah bencana, masyarakat sulit mengakses listrik, BBM, dan komunikasi.
Dia memaparkan, ada laporan bahwa jumlah pengungsi mencapai 74 ribu jiwa. BNPB akan melakukan validasi atas laporan tersebut. Kemudian jumlah korban meninggal 1.763 orang, 265 orang hilangm dan 152 orang tertimbun tanah.
Sejumlah layanan pokok juga mulai beroperasi. Misalnya, layanan kesehatan, administrasi pemerintahan, dan pendidikan. ’’Sudah mulai apel hari ini (kemarin, Red),’’ tuturnya.
Kemudian layanan kependudukan dan catatan sipil seperti permintaan surat kematian juga sudah bisa dilayani. BNPB juga mencatat ada 12 rumah sakit yang beroperasi. (wan/jun/oni)
BACA ARTIKEL LAINNYA... HMI Dapat Kabar Ada Korban Gempa Meninggal Kelaparan
Redaktur & Reporter : Soetomo