Kelapa Sawit untuk Pembangunan Berkelanjutan

Oleh: Endang Suryastuti, S.H., M.H - Kepala Biro Hukum dan Pengaduan Masyarakat Setjen DPR RI dan Peserta PKN I/60 LAN RI

Selasa, 19 November 2024 – 10:33 WIB
Petani kelapa sawit. Foto Ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Pada periode April-Oktober 2024, Lembaga Administrasi Negara menyelenggarkan Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat I (PKN I) Angkatan ke-60 (LX) dalam rangka mengembangkan kompetensi guna memenuhi standar kompetensi manajerial Jabatan Pimpinan Tinggi Madya.

Kompetensi yang dikembangkan berfokus pada kompetensi kepemimpinan kolaboratif, kemampuan berpikir holistik, dan kemampuan memimpin pencapaian arah kebijakan lintas instansi/sektor.

BACA JUGA: Harga TBS Kelapa Sawit Mitra Swadaya di Riau Naik Lagi

Salah satu produk yang dihasilkan oleh peserta PKN I Angkatan LX adalah Policy Brief dengan topik Transformasi Tata Kelola Kebijakan Investasi Kelapa Sawit untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan.

Topik ini mengangkat urgensi isu tata kelola kelapa sawit yang membutuhkan perhatian pengambil kebijakan mengingat posisi kelapa sawit yang penting dalam perekonomian Indonesia dan sekaligus menjawab tuntutan untuk menyelaraskan tata kelola kebijakan investasi kelapa sawit dengan misi pembangunan berkelanjutan.

BACA JUGA: Pemerintah Terus Dorong Integrasi Kebijakan Tata Kelola Kelapa Sawit yang Berkelanjutan

 

Gambar 1. Kontribusi Kelapa Sawit dalam Perekonomian Indonesia

BACA JUGA: Polda Kalteng Tegas Tangani Kasus Pencurian Buah Kelapa Sawit

Bagi Indonesia, pengusahaan kelapa sawit yang berkelanjutan merupakan satu keharusan dan relevan karena Indonesia merupakan produsen dan konsumen minyak sawit terbesar di dunia.

Kontribusi Indonesia dalam produksi minyak sawit dunia mencapai 59 persen, sementara konsumsi minyak sawit oleh Indonesia mencapai setara 24 persen konsumi minyak sawit global.

Indonesia bersama Malaysia menguasai pasokan sawit global dengan pangsa pasar 85 persen.

Komoditas kelapa sawit dan turunannya telah memberikan kontribusi yang signifikan dengan sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 3,5 persen serta menyerap tenaga kerja lebih dari 16 juta orang baik secara langsung maupun tidak langsung.

Ekspor crude palm oil (CPO) senilai US$25,07 miliar juga menjadikannya penyumbang ekspor non migas terbesar pada tahun 2023.

Pengolahan kelapa sawit menjadi bahan bakar nabati untuk program Biodiesel 35 juga berkontribusi pada penghematan devisa negara sebesar Rp 161 triliun.

Tantangannya yang dihadapi kelapa sawit Indonesia adalah persaingan dengan minyak nabati lain (biji bunga matahari, dan lain-lain) yang menjadi lebih murah setelah disepakatinya the Black Sea Grain Initiative pada tahun 2022.

Kondisi ini menyebabkan harga CPO dunia turun 30,5 persen pada periode 2022-2023. Nilai ekspor CPO Indonesia pun tergerus pada tahun 2023 turun sebesar 18,98 persen (year on year/yoy) dan pada semester I tahun 2024 turun sebesar 5,92 persen (yoy).

Penurunan permintaan di pasar utama CPO juga terjadi sebagai akibat tuntutan yang semakin tinggi terhadap tata kelola pengusahaan kelapa sawit dalam merespon the Triple Planetary Crisis yang semakin intensif yaitu perubahan iklim, kerusakan lingkungan dan polusi.

Partisipasi Indonesia dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan penerapan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dirasakan belum cukup, terutama di negara-negara Eropa yang berencana memberlakukan EU Deforestation Regulation (EUDR) mulai 1 Januari 2025 yang menuntut persyaratan uji tuntas ketelusuran produk kelapa sawit bebas deforestasi.

Gambar 2. Tantangan Penerapan EU Deforestation Regulation

Penanganan tantangan dalam tata kelola kelapa sawit perlu dilakukan melalui refleksi atas praktik yang saat ini ada.

Berbagai isu masih ditemukan dan sebagian besar berkaitan dengan rendahnya kepatuhan terhadap regulasi, dan penciptaan manfaat investasi kelapa sawit yang belum optimal.

Isu konflik agraria dan deforestasi timbul karena regulasi perizinan yang lemah dan tidak harmonis.

Dualisme regulasi pemberian izin pendirian pabrik pengolahan kelapa sawit oleh UMKM juga menyebabkan ketidakpastian usaha.

Isu ketenagakerjaan juga timbul karena kurangnya pemenuhan hak-hak pekerja terutama terkait ketentuan perjanjian kerja waktu tertentu, upah, dan standar kesehatan dan keselamatan kerja.

Di sisi lain, melimpahnya pasokan pekerja kebun sawit berketerampilan rendah menyebabkan tidak ada jaminan kerja bagi pekerja harian. Investasi kelapa sawit juga belum sepenuhnya inklusif.

Masih ada 187 perusahaan perkebunan yang belum memenuhi kewajiban pembangunan kebun masyarakat, pabrik pengolahan, dan kebun inti dalam skema kemitraan dengan masyarakat sekitar.

Partisipasi UMKM, koperasi dan BUMDes dalam hilirisasi kelapa sawit juga menghadapi kendala rendahnya kapasitas sumber daya manusia, teknologi, infrastruktur dan akses ke pendanaan. 

Gambar 3. Tantangan Bagi Investasi Kelapa Sawit yang Berkelanjutan

Beberapa langkah perbaikan telah dilaksanakan antara lain melalui moratorium perluasan kebun sawit, pembentukan Satgas Sawit untuk menengani kasus-kasus perizinan atas penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit serta pemenuhan kewajiban kemitraan perusahaan dan masyarakat, perbaikan tata kelola ketenagakerjaan sesuai amanat Undang-undang Cipta Kerja, rencana pemutakhiran ISPO serta perluasan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada petani kelapa sawit.

Namun, pelaksanaannya menghadapi tantangan ketidaklengkapan data dan aturan teknis, rendahnya kepatuhan dan komitmen perusahaan serta keterbatasan pengawasan.

Ke depan, transformasi tata kelola investasi kelapa sawit perlu diarahkan untuk menjadikan misi investasi kelapa sawit selaras dan sebangun dengan misi pembangunan keberlanjutan.

Apa yang sudah diperbaiki perlu diperkuat melalui pelaksanaan langkah-langkah strategis. Pertama, peningkatan efektivitas penegakan, audit dan penyelarasan regulasi terutama terkait perizinan, kewajiban kemitraan, penggunaan lahan/ruang, dan perizinan pendirian pabrik, yang didukung integrasi kebijakan satu data dan satu peta kelapa sawit.

Kedua, Indonesia perlu meratifikasi konvensi International Labour Organization (ILO) 110 tentang kondisi kerja buruh perkebunan, ratifikasi konvensi ILO 184 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja/K3 serta ratifikasi konvensi ILO 129 tentang pengawasan ketenagakerjan di sektor pertanian, dan melengkapinya dengan aturan-aturan turunannya.

Ketiga, perlu dibentuk badan khusus pengatur tata kelola sawit yang memiliki kewenangan terintegrasi dari hulu sampai hilir, yang didukung penguatan fungsi dan kewenangan Satgas Sawit dalam masa transisi.

Keempat, pengawasan perlu ditingkatkan melalui kolaborasi instansi pusat dan daerah, serta masyarakat, terkait perizinan, kesesuaian penggunaan lahan dan tata ruang, ketenagakerjaan, kemitraan, dan pengutamaan pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.

Kelima, hilirisasi kelapa sawit yang terintegrasi hulu hilir perlu dipercepat dengan dukungan SDM berkualitas, teknologi dan inovasi yang mapan, infrastruktur yang handal serta partisipasi yang luas dari UMKM, koperasi, dan BUMDes dalam hilirisasi kelapa sawit.

Policy Brief telah disampaikan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Dr. (HC) Airlangga Hartarto, pada tanggal 2 Oktober 2024.

Kelima rekomendasi langkah transformasi tata kelola investasi kelapa sawit yang diusulkan Peserta PKN I Angkatan LX merupakan sumbangsih pemikiran dalam memperkuat posisi kelapa sawit sebagai salah satu penggerak utama dalam percepatan transformasi ekonomi Indonesia menuju Indonesia Emas 2045.(***)

Catatan:

Penulis, Endang Suryastuti, S.H, M.Si saat ini menjabat Kepala Biro Hukum dan Pengaduan Masyarakat Setjen DPR RI

Tulisan merupakan sumbang saran Peserta Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat I (PKN I) Angkatan ke-60 Tahun 2024 - Lembaga Administrasi Negara


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler