jpnn.com - Banyak tawaran menjalani traveling tanpa harus mengantongi banyak uang. Misalnya, yang dilakukan Rizal Rakhmat. Sejak Februari 2014, dia menjadi hitchhiker. Sebuah cara traveling dengan memanfaatkan tumpangan gratis. Tekad itu telah membawa dia mengelilingi 11 negara dengan modal awal hanya Rp 10 juta.
Laporan Dinda Lisna Amilia, Surabaya
BACA JUGA: Transgender Asal Indonesia Ini Sukses di Hollywood
SELASA malam (31/3) di sebuah rumah makan di daerah Surabaya Selatan, beberapa orang berkumpul, bercanda, dan bercerita. Ada sekitar 15 orang yang duduk bersama. Ditemani penganan khas angkringan seperti susu jahe, nasi kucing, dan sate usus, obrolan terasa hangat.
Mereka adalah komunitas Backpacker Indonesia (BPI) cabang Surabaya. Para anggota BPI sedang menyambut salah seorang pendirinya, yaitu Rizal Rahmat Dwianto, yang baru pulang dari perjalanan panjang. Rizal baru menyelesaikan perjalanan perdananya sebagai full hitchhiker.
BACA JUGA: Emergency Magic, Trio Professional Magician Penghibur Pasien Anak
Simpelnya, hitchhiker adalah bepergian dengan bujet sehemat-hematnya. Cara yang sering digunakan adalah menumpang kendaraan. Apa pun itu. Mulai mobil pribadi, truk, sampai bus, bisa. Asalkan gratis.
Kali ini Rizal hanya 12 hari di Surabaya. Mulai 23 Maret hingga 1 April. Dia pulang untuk mengurus keperluan administrasi. Laki-laki 25 tahun tersebut tampak lebih hitam jika dibandingkan dengan sebelum memulai perjalanannya. Dengan tinggi 182 sentimeter, beratnya 50 kilogram.
BACA JUGA: Singgih Kartono Gerakkan Desa lewat Desain Sepeda Bambu
”Turun 10 kg dari biasanya. Nggak apa-apa. Yang penting, hati dan pikiran damai. Hidup kini sesuai dengan passion saya,’’ papar alumnus Sastra Indonesia Universitas Airlangga itu.
Rizal mengakui tidak mudah memutuskan menjadi hitchhiker. Tantangan terbesar datang dari kedua orang tua. Hampir satu tahun Rizal meyakinkan orang tua bahwa menjadi pengelana adalah jalan hidupnya.
Saat awal meminta izin, anak kedua pasangan Dwi Setio dan Wiwik Sugiarsih itu langsung mendapat tentangan keras dari sang bapak. ’’Katanya boleh pergi, asal ke Arab, biar bisa sekalian naik haji,’’ ucapnya menirukan perkataan bapaknya saat itu.
Namun, Rizal bersyukur. Restu orang tua turun juga. Tanpa pikir panjang, Rizal resign dari pekerjaannya sebagai jurnalis per 1 Februari 2014. Penerbangan pertamanya dimulai tiga hari kemudian. ”Beberapa minggu sebelumnya, ketika tanda-tanda diizinkan mulai terasa, saya hunting tiket pesawat terbang,” katanya.
Memulai perjalanan itu, Rizal hanya membawa satu backpack. Isinya? Tenda lipat, sleeping bag, matras, cooking set, dua T-shirt, dan celana kargo. Menjadi seorang hitchhiker harus ramping supaya nyaman berlari-lari ketika mengejar tumpangan.
Negara pertama yang dijujuk adalah Kuala Lumpur (KL). Sebenarnya, Rizal tidak punya alasan memilih Malaysia yang pertama dikunjungi.
Seperti juga nanti negara-negara yang lain, tidak ada alasan tertentu. Dia mengikuti kata hatinya secara spontan pergi ke mana pun. Semua bisa diwujudkan karena Rizal punya banyak teman dari berbagai negara. Teman-teman tersebut didapat lewat situs CouchSurfing, sebuah jejaring sosial yang banyak digunakan pelancong untuk mendapatkan arahan hingga tumpangan gratis ketika traveling.
Rizal saat di Surabaya juga sering nge-host (menjadi tuan rumah). Dia menyediakan rumahnya sebagai tempat tinggal gratis bagi para wisatawan asing yang ke Surabaya. Teman-teman itu juga menjadi tambahan jaringannya dalam traveling kali ini.
Hanya tiga hari di Kuala Lumpur, Rizal terbang ke Melbourne. Menggunakan jalur darat, dia menumpang mobil sedan menuju Adelaide. ’’Saya ke Adelaide karena ada teman yang bersedia menampung saya di sana,’’ papar pria kelahiran Surabaya, 26 April 1989, tersebut.
Di Adelaide Rizal bekerja sebagai pemetik buah. Jatah bekerja hanya 5–6 jam per hari karena dia datang dengan menggunakan visa working holiday. Setelah itu, Rizal kembali ke Melbourne untuk terbang lagi. Kali ini pilihannya kembali ke Kuala Lumpur. ’’Soalnya, harga tiket ke KL selalu murah,’’ ucap pencinta tahu tek tersebut.
Di KL, dia kemping dua minggu di Taman Negara, Pahang. Rizal sudah lama ingin menginap di salah satu hutan hujan tropis tertua di dunia tersebut. Tanpa sengaja, dia bertemu kelompok pekerja yang sedang membuka jalur baru. Rizal menawarkan diri membantu. Mereka mengiyakan. Sebagai kompensasi, Rizal mendapat makanan dan tumpangan gratis. Namanya juga kemping di tengah hutan, Rizal bisa melihat binatang liar yang lewat sekilas. ”Seperti macan, tapir,” katanya.
Setelah itu, Rizal berkemas dan merasa ingin melakukan perjalanan darat ke Thailand. Seorang sopir truk memberinya tumpangan. Sang sopir adalah ustad di Malaysia yang mempunyai pondok pesantren. Yang paling diingatnya, selama perjalanan sekitar enam jam, sang sopir berpesan supaya Rizal segera menyudahi perjalanan dan menjalani hidup normal.
Namun, Rizal tetap maju tak gentar. Dia turun dari truk tersebut di Kota Bibit Kayu Hitam, daerah Malaysia yang berbatasan dengan Hat Yai, Thailand Selatan. Rizal lalu melanjutkan perjalanan dengan menumpang dan menumpang.
Hingga dia tiba Bangkok. Rizal tinggal empat hari, lalu berlanjut ke Kamboja. Yang digunakan tetap jalur darat. Dari Bangkok, dia mendapat tumpangan ke Aranyaprathet, kota perbatasan antara Thailand dan Kamboja. Dia melanjutkan perjalanan dengan tumpangan ke Kota Siem Reap karena ingin ke Kuil Angkor Wat. Tidak lupa mampir ibu kota Kamboja, Pnom Penh.
Dia hanya tinggal di sana selama seminggu. ’’Harga makanan di Pnom Penh relatif mahal,’’ ujarnya.
Rizal lalu menuju ke Vietnam. Tepatnya ke Kota Ho Chi Minh. Sebelumnya saat kuliah, Rizal pernah ke Ho Chi Minh sebagai single backpacker. Dia merasa betah dan ingin mengulang.
Begitu tiba di Ho Chi Minh, Rizal yang kelelahan tertidur di taman kota dengan menggunakan sleeping bag. Dia didatangi polisi. Mungkin karena namanya masih mengandung unsur Islam, Rizal dicurigai.
Untungnya, dia punya teman CouchSurfing yang bersedia menjemput dan menjelaskan kepada polisi setempat. Di Vietnam Rizal bertahan dua minggu. ’’Harga makanan di Vietnam serbamurah. Orangnya lucu-lucu. Pemandangannya bagus. Banyak alasan untuk betah di sana,’’ ungkapnya.
Tidak hanya di Ho Chi Minh, Rizal juga pergi ke Nha Trang, Da Nang, dan Hanoi sembari mengurus visa untuk ke Tiongkok. Masih dengan menggunakan jalur darat, Rizal ke Kota Nanning, Kunming, dan Dali. Setelah itu, lanjut ke Laos. Rizal ingin merasakan sensasi kemping di tepi Sungai Mekong. Perjalanan berikutnya, dia menuju ke Myanmar. ”Dari Myanmnar, balik lagi Thailand. Lalu, saya pergi ke India,” ujarnya.
Sesampai di airport, Rizal mendapat masalah. Petugas bandara tidak tahu bahwa wisatawan dari Indonesia bisa mengurus visa di tempat (visa on arrival). Rizal harus menunggu berjam-jam ketika petugas bandara mencari informasi.
Kota pertama yang dikunjungi adalah Kolkata. Lalu Varanasi, Agra, Bodhgaya, New Delhi, Mumbai, Gorakhpur, Haridwar, dan Risikis. Di India, Rizal mengaku bisa melihat belasan pertengkaran di jalan. ”Di kereta hanya gara-gara nemu bolpen yang jatuh, dua orang bisa bertengkar untuk rebutan,” contohnya.
Rizal juga menjadi paham, mengapa fenomena pemerkosaan tinggi di India. Berdasar pengamatannya, jumlah perempuan yang mau keluar rumah tidak sebanyak laki-laki. Hal itu menjadikan laki-laki India mudah tergoda bila melihat perempuan di luar rumah. Apalagi jika sendirian. ”Kebanyakan perempuan India selalu ditemani suami atau keluarga laki-laki saat keluar rumah,” jelasnya.
Bahkan, salah seorang tuan rumahnya di Varanasa mengatakan pernah memerkosa seorang gadis. Meski begitu, India merupakan negara paling berkesan. Banyak pelajaran hidup yang dia dapat. ”Tuan rumah saya, meski berbeda agama, mau mengantarkan ke masjid yang jaraknya 30 km dari rumah agar saya bisa salat Jumat,” cerita Rizal.
Akhir dari India adalah saat Rizal ke New Delhi, naik kereta menuju Gorakhpur yang berbatasan dengan Nepal, tujuan selanjutnya. ’’Di Nepal cukup bawa visa dan katakan namaste. Maka, semuanya beres,’’ ucapnya.
Maksud pernyataan itu adalah warga Nepal sangat terbuka dengan wisatawan asing. Mengurus visa on arrival sangat mudah. Rizal menjelajahi Kathmandu, Lumbini, dan akhirnya pergi ke puncak Langtang.
Perlu 10 hari untuk tracking hingga ketinggian 5.200 mdpl. Cuacanya pernah mencapai minus 10 derajat. Rizal tidak sendiri. Di jalan dia bertemu dengan dua teman, yaitu Yau Kit Cheong dari Hongkong dan Ofer Carmon dari Israel. Mereka mendaki bersama. Memang tidak sampai puncak, tapi mereka bisa melihat Tibet dari jauh.
Walau melihatnya dari jauh, lega rasanya. Keinginan melihat Tibet adalah impian masa kecilnya. ’’Saya suka baca Tintin. Edisi Tibet adalah favorit saya,” jelasnya.
Selesai Langtang, Rizal dan dua temannya kembali ke Kathmandu. Setelah beristirahat sehari, mereka melanjutkan pendakian ke puncak Annapurna, Himalaya. Selama perjalanan di Annapurna, Rizal terkena mountain sickness.
Itu terjadi karena Rizal mendaki lebih tinggi daripada biasanya. Daya tahan tubuhnya tidak kuat. Dia merasa pusing dan sakit perut hingga pingsan. Akhirnya mereka memutuskan untuk beristirahat.
Selesai mendaki dan melunasi janji melihat Tibet, Rizal kembali ke Kathmandu untuk terbang ke Oman. Jalan-jalan di Oman sekitar tiga Minggu. Rizal menyadari bujetnya menipis. Saldo tabungannya hanya sekitar Rp 2 juta. Dia berpikir harus bekerja untuk membeli tiket.
Pada saat itu dia mendapat telepon dari temannya yang tinggal di Bangkok. Ada sekolah yang membutuhkan guru bahasa Indonesia. Rizal langsung mengiyakan. Dia terbang ke Bangkok dan menjadi guru hingga Februari 2015.
”Saya berangkat dengan modal Rp 10 juta. Itu digunakan untuk membeli tiket pesawat ke KL dan Australia. Juga, tiket pesawat untuk destinasi lain. Kalau untuk perjalanan darat, sampai saat ini saya masih mengeluarkan Rp 0,” ujarnya.
Meski sempat kembali ke Surabaya, Rizal sekarang sudah berangkat lagi menjadi hitchhiker. Seperti biasa, dia pergi dengan mengikuti kata hati secara tiba-tiba. Hanya, dia menandai target perjalanan kali ini sampai Rusia dan Turki.
Sampai kapan? Entahlah. Dengan berkelana, Rizal merasa menemukan dirinya yang sebenarnya. Dengan dirinya yang sekarang, Rizal sudah merasa normal. ”Saya jadi merasa hidup itu sebetulnya sangat sederhana. Bahagia itu ternyata cukup dengan mendapat tumpangan rumah yang hangat saat datang. Begitu saja,” katanya. (*/ayi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketika Thailand Merayakan Ulang Tahun Ke-60 Putri Mahkota Maha Chakri Sirindhorn
Redaktur : Tim Redaksi