Keliling Eropa Tiga Bulan hanya Rp 26 Juta? Ini Kiatnya

Selasa, 30 Oktober 2018 – 07:23 WIB
Jonathan Chanutomo. FOTO : Jonathan for Jawa Pos

jpnn.com, SURABAYA - Jika bisa jalan-jalan ke luar negeri dengan murah meriah, mengapa mesti pilih yang mahal? Setidaknya begitulah yang ada di benak Jonathan Chanutomo. Berangkat dari pengalaman ke Eropa pada 2016 untuk mengikuti World Youth Day, Jojo -sapaannya- yakin betul bahwa pergi ke benua tersebut tidak harus mengeluarkan banyak biaya. Saat itu, dia total mengeluarkan uang Rp 25 juta untuk satu bulan. Negara yang didatanginya, antara lain, Polandia, Austria, Republik Ceko, dan Italia. 

"Dari situ saya mikir sebenernya ke Eropa nggak semahal itu. Pasti bisa lebih murah. Karena banyak juga tempat yang bisa kita datangi gratis," ujarnya saat ditemui di rumahnya di kawasan Darmo Harapan Indah pada Senin pekan lalu (22/10). Keyakinan itu membuatnya membulatkan tekad untuk kembali mengunjungi Eropa Tentu saja, bujetnya jauh lebih terjangkau dan waktunya lebih panjang. Dia pun mengatur trik sekaligus strategi. Salah satu formula yang dipilihnya adalah memanfaatkan Couchsurfing. Itu merupakan aplikasi yang bisa diunduh siapa pun. Aplikasi tersebut berisi orang-orang dari segala penjuru dunia yang doyan solo traveling maupun backpacker. Nah, aplikasi itu menjadi wadah mereka untuk berkomunikasi satu sama lain. Di situ jugalah para visitor atau orang yang akan jalan-jalan ke suatu tempat mencari host alias tuan rumah yang bisa menampung mereka tanpa bayar sepeser pun. 

Dua minggu sebelum berangkat, Jojo mulai menyebar permintaan sebagai visitor kepada sejumlah host di beberapa kota di Eropa. Dia menjelaskan, meski menemukan banyak calon host, dirinya tetap harus jeli dan hati-hati. Tujuannya tidak sampai tinggal bersama orang yang salah. Salah satu yang menjadi patokan atau pertimbangannya dalam memilih adalah dengan membaca riwayat pada profil host. Di situ kerap ada semacam testimoni sekaligus jumlah visitor yang pernah tinggal bersama hosttersebut. 

Jojo pun menyiapkan tiket pesawat sejak enam bulan sebelumnya. Dia banyak mencari tahu mengenai website penjualan tiket pesawat yang murah. Akhirnya, dia tersenyum bahagia saat mendapatkan tiket pesawat PP Kuala Lumpur-Roma dan Paris-Kuala Lumpur dengan total harga hanya Rp 7,5 juta. Dia memulai perjalanan itu pada 9 Januari hingga 4 April dengan hanya bermodal Rp 26 juta. 

Menurut Jojo, melakukan solo traveling dan tinggal di rumah host membuatnya bisa merasakan kehidupan masyarakat lokal. Dia juga lebih nyaman dan leluasa. "Apalagi saya ini berkecimpung di bidang art. Bisa sebelas jam sendiri kalau ke museum. Misalnya, yang ada di Paris. Tiap objek bisa saya foto satu per satu buat inspirasi," ungkap lulusan DKV Universitas Ciputra itu. 

Dia menuturkan, salah satu yang membuat liburannya murah adalah tidak gampang jajan dan rajin jalan kaki. Dia biasa pergi ke supermarket untuk membeli roti atau 1 kilogram apel yang bisa menjadi menu makan sehari. Jojo juga tak segan jalan kaki dari Notre-Dame menuju Menara Eiffel yang berjarak sekitar 7 kilometer. Dalam sehari, dia rata-rata berjalan sejauh 10 kilometer. Beberapa host juga meninggalkan jejak kenangan baginya. Misalnya, Anna Maria, host yang memberinya tempat tinggal saat berada di Wroclaw, Polandia. 

Anna bahkan mengajak Jojo ke tempat kelahirannya di Boszkowo. Sebuah desa kecil yang dikelilingi keelokan danau, tetapi masih jarang diketahui turis. Host lain yang berada di Roma, Munich, dan Florence pun tak kalah baik. Tidak hanya dijemput saat sudah sampai di stasiun, Jojo bahkan dianggap seperti saudara sendiri. 

Namun, bukan berarti tidak ada rintangan yang dihadapi selama tiga bulan berkeliling di Eropa. Mulai koper yang sempat tertinggal di Roma hingga kecopetan dompet saat hendak kembali ke Indonesia. Baginya, kesialan apa pun yang terjadi tidak boleh menimbulkan bad mood. Menurut dia, saat traveling, sebagus apa pun objek yang ada tidak akan bisa dinikmati saat perasaan hati berubah keruh. 

Sekembalinya ke tanah air, dia mendapatkan banyak pelajaran hidup. Misalnya, menjadi pribadi yang lebih tangguh, mandiri, dan berpikir positif. Selain itu, lebih cerdas memanfaatkan akses dan kemudahan yang ada saat mengalami cobaan di perantauan. "Aku pikir sepulang dari sana, banyak yang bisa dilakukan lebih baik lagi. Kalau buat Indonesia, bisa belajar merekonstruksi tempat bersejarah. Seperti Kota Dresden di Jerman yang bisa dibangun lagi dari reruntuhan bangunannya," kata pria 29 tahun itu. (NurulKomariyah/c6/ano) 

BACA JUGA: Kisah Sukses Kris Bangun Brand Uttara

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Toleransi, Pastor dan Para Ibu Muslimah Nobar Pesparani


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler