JAKARTA - Suburnya gerakan teroris di sejumlah negara antara lain dipicu oleh pandangan keliru terhadap agam Islam. Organisasi militan seperti Al-Qaeda dan kelompok Muslim ekstrimis yang meyakini adanya konspirasi kafir Yahudi-Kristen yang selalu memusuhi Islam dan umat Islam yang dibantu oleh penguasa Muslim kafir. Pandangan ini jelas sangat keliru dan tidak sejalan dengan realitas yang ada.
“Kesalahan dalam beragama, atau tepatnya pemahaman keagamaan, terjadi ketika ijtihad dalam memahami agama tidak didukung dengan perangkat keilmuan yang memadai,” kata Kepala Bidang Pengkajian Al-Quran-Balitbang Kementerian Agama, Muchlis M Hanafi, dalam rilisnya, Rabu, (27/3). Muchlis menjadi pembicara diskusi, diikuti 400 peserta antara lain dari The S Rajaratnam School of International Studies and the Religious Rehabilitation Group (RRG) dan organising an International Conference on Terrorist Rehabilitation and Community Resilience (ICRR) di Raffles City Convention Centre, Singapura, 26-27 Maret 2013.
Konferensi dibuka oleh PM Singapura, Lee Hsien Loong, bertujuan untuk menciptakan sebuah platform tentang isu-isu baru dan perkembangan yang berkaitan dengan rehabilitasi teroris, dan memperkuat ketahanan masyarakat global terhadap pengaruh ideologi teroris dan propaganda. Konferensi ini juga akan menyediakan jaringan penting bagi pemerintah dan lembaga-lembaga yang bekerja pada isu-isu tersebut.
Muchlis Hanafi yang selama 13 tahun mendalami tafsir Al-Quran di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir ini menjelaskan, kekeliruan keyakinan Al-Qaeda dan kelompok Islam ekstrim itu berpangkal pada pemahaman yang parsial terhadap teks-teks keagamaan dan fatwa ulama dan masa lalu diterapkan secara tidak tepat karena realitas masyarakat saat ini berbeda dengan yang dulu. "Padahal Al-Quran, dan hadis, saling menafsirkan antara satu dengan lainnya," tegasnya.
Dijelaskan, ulama Islam mengajarkan agar tidak cepat-cepat melabelkan kafir kepada Muslim lainnya. Dosa yang dilakukan seorang Muslim karena melanggar ketentuan Al-Quran dan hadis tidak menjadikannya kafir atau murtad. Kata dia, selama meyakini kebenaran ajaran tersebut dan keharusan mengikutinya. Mengkafirkan penguasa hanya karena tidak menerapkan sebagian hukum Allah tidak ada sandarannya dalam Al-Quran atau Sunnah.
“Prinsip hubungan Muslim dan non-Muslim adalah kedamaian dan keharmonisan. Al-Quran tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan kerjasama, lebih-lebih mengambil sikap tidak bersahabat,” kata dosen tafsir Quran di Institut Ilmu Al-Quran dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Karena itu, Sekjen Ikatan Alumi Al-zhar Internasional cabang Indonesia ini mengajak kaum Muslim untuk terus menjaga perdamaian dan menjalin persahabatan serta perdamaian dengan semua kalangan, termasuk kalangan non-Muslim. Pasalnya, Islam mengajarkan perdamaian dan bukan perpecahan apalagi kekerasan.
"Sepanjang kelompok non-Muslim tidak memusuhi dan merusak Islam, wajib bagi kaum Muslimin untuk terus menjalin kerjasama bagai kemajuan masyarakat," tegasnya. (fas/jpnn)
“Kesalahan dalam beragama, atau tepatnya pemahaman keagamaan, terjadi ketika ijtihad dalam memahami agama tidak didukung dengan perangkat keilmuan yang memadai,” kata Kepala Bidang Pengkajian Al-Quran-Balitbang Kementerian Agama, Muchlis M Hanafi, dalam rilisnya, Rabu, (27/3). Muchlis menjadi pembicara diskusi, diikuti 400 peserta antara lain dari The S Rajaratnam School of International Studies and the Religious Rehabilitation Group (RRG) dan organising an International Conference on Terrorist Rehabilitation and Community Resilience (ICRR) di Raffles City Convention Centre, Singapura, 26-27 Maret 2013.
Konferensi dibuka oleh PM Singapura, Lee Hsien Loong, bertujuan untuk menciptakan sebuah platform tentang isu-isu baru dan perkembangan yang berkaitan dengan rehabilitasi teroris, dan memperkuat ketahanan masyarakat global terhadap pengaruh ideologi teroris dan propaganda. Konferensi ini juga akan menyediakan jaringan penting bagi pemerintah dan lembaga-lembaga yang bekerja pada isu-isu tersebut.
Muchlis Hanafi yang selama 13 tahun mendalami tafsir Al-Quran di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir ini menjelaskan, kekeliruan keyakinan Al-Qaeda dan kelompok Islam ekstrim itu berpangkal pada pemahaman yang parsial terhadap teks-teks keagamaan dan fatwa ulama dan masa lalu diterapkan secara tidak tepat karena realitas masyarakat saat ini berbeda dengan yang dulu. "Padahal Al-Quran, dan hadis, saling menafsirkan antara satu dengan lainnya," tegasnya.
Dijelaskan, ulama Islam mengajarkan agar tidak cepat-cepat melabelkan kafir kepada Muslim lainnya. Dosa yang dilakukan seorang Muslim karena melanggar ketentuan Al-Quran dan hadis tidak menjadikannya kafir atau murtad. Kata dia, selama meyakini kebenaran ajaran tersebut dan keharusan mengikutinya. Mengkafirkan penguasa hanya karena tidak menerapkan sebagian hukum Allah tidak ada sandarannya dalam Al-Quran atau Sunnah.
“Prinsip hubungan Muslim dan non-Muslim adalah kedamaian dan keharmonisan. Al-Quran tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan kerjasama, lebih-lebih mengambil sikap tidak bersahabat,” kata dosen tafsir Quran di Institut Ilmu Al-Quran dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Karena itu, Sekjen Ikatan Alumi Al-zhar Internasional cabang Indonesia ini mengajak kaum Muslim untuk terus menjaga perdamaian dan menjalin persahabatan serta perdamaian dengan semua kalangan, termasuk kalangan non-Muslim. Pasalnya, Islam mengajarkan perdamaian dan bukan perpecahan apalagi kekerasan.
"Sepanjang kelompok non-Muslim tidak memusuhi dan merusak Islam, wajib bagi kaum Muslimin untuk terus menjalin kerjasama bagai kemajuan masyarakat," tegasnya. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jadi Kader PBB, Susno Duadji Curhat Lagi Soal Eksekusi
Redaktur : Tim Redaksi