jpnn.com, JAKARTA - Alumni dan anggota Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) yang tergabung dalam Kelompok Studi Aquinas mengharapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perppu KPK atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang KPK hasil revisi.
Harapan tersebut disampaikan Ketua dan Sekretaris Kelompok Studi Aquinas (KSA), Anton Doni Dihen dan Tomson Silalahi dalam keterangan persnya, Minggu (3/11/2019).
BACA JUGA: Ogah Terbitkan Perppu KPK, Pak Jokowi Sepertinya Sudah Tak Takut Demo Mahasiswa
“Bagi kami, sebagai bagian dari warga masyarakat yang mengharapkan diterbitkannya Perppu oleh Presiden, Perppu KPK adalah jalan keluar bangsa dari kejahatan luar biasa berbentuk korupsi. Bukan persoalan sederhana bahwa kami telanjur punya harapan dan karena itu harapan kami harus dipenuhi,” ujar Anton.
Bagi Kelompok Studi Aquinas (KSA), pernyataan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa adalah pernyataan serius. Yang mempunyai implikasi. Yang harus menjadi asumsi kebijakan. Yang harus membentuk isi kebijakan. Bukan pernyataan basa-basi.
“Dan pernyataan pengakuan ini pun kita temui dalam penjelasan UU 19/2019 yang merupakan undang-undang hasil revisi. Dua alinea pertama penjelasan UU 19/2019 memuat pernyataan tersebut,” demikian catatan KSA.
Namun demikian, KSA menegaskan pernyataan yang termuat dalam penjelasan UU 19/2019 tersebut lebih merupakan, meminjam istilah WS Rendra, renda-renda kebijakan, dan bukan basis asumsi utama yang membentuk isi kebijakan.
“Pencermatan kami terhadap isi UU 19/2019, sebagaimana sudah kami sampaikan pada paper dan artikel kami sebelumnya berjudul Konstruksi Kebutuhan Hukum Perppu KPK, menunjukkan bahwa UU 19/2019 merupakan UU yang tidak konsisten dengan misi pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa,” kata Anton Doni.
Pertama, ada inkonsistensi internal karena apa yang dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa tidak dijadikan rujukan dalam pembentukan isi undang-undang. Dan ada inkonsistensi eksternal karena apa yang diwacanakan sebagai persoalan yang memicu revisi tidak dijadikan rujukan dalam perumusan klausul-klausul yang memberi jawaban terhadap persoalan-persoalan tersebut.
Yang paling terang-benderang fatal dari Undang-Undang hasil revisi tersebut adalah klausul-klausul pelemahan KPK yang jelas ditemukan pada pasal tentang kedudukan KPK, kedudukan Dewan Pengawas dan hubungan kerja KPK dan Dewan Pengawas, dan perijinan dalam proses penyadapan.
“Kami sungguh tidak mengerti, mengapa kita masih juga tidak melihat fakta hubungan aneh ini sebagai persoalan serius,” demikian siaran pers KSA.
Lebih lanjut, KSA dalam rilisnya menyebutkan bahwa di satu sisi kita mengakui korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang masih mengancam eksistensi bangsa, tetapi di sisi lain kita berusaha untuk melemahkan KPK yang merupakan lembaga terdepan yang diandalkan untuk mengatasi kejahatan luar biasa tersebut.
Kondisi ini yang menjadi alasan KSA untuk mengajuka sejumlah pertanyaan. Apakah karena kejaksaan dan kepolisian sudah dapat diandalkan untuk mengatasi persoalan korupsi sebagai kejahatan luar biasa? Jika demikian, pertanyaan kami adalah dimanakah data yang menunjukkan perkembangan integritas kedua lembaga tersebut? Berapa jumlah kasus yang dilaporkan ke kedua lembaga tersebut melalui berbagai kantornya di daerah?
Berapa persen kasus-kasus tersebut tertangani? Dan terutama, tertangani dengan memenuhi rasa keadilan masyarakat? Apakah data dan studi yang kredibel dijadikan dasar bagi suatu naskah akademik yang menjadi rujukan pembentukan UU 19/2019 hasil revisi? Bukankah survei dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa kedua lembaga penegak hukum masih menempati posisi teratas dalam soal lemahnya integritas? Dan pengalaman awam banyak orang pun mengkonfirmasi hal tersebut?
Lalu, apakah kita sudah harus mengandalkan kejaksaan dan kepolisian hanya karena iktikad Presiden untuk membenahi kedua lembaga tersebut?
“Menurut kami, kita harus lebih waras untuk menggunakan pijakan yang benar. Bahwa asumsi kebijakan haruslah fakta bahwa kedua lembaga (kejaksaan dan kepolisian) sudah mempunyai integritas yang baik dan cukup untuk diandalkan. Dan bukan harapan dan janji bahwa kedua lembaga tersebut dapat disehatkan,” kata Anton Doni.
Pada akhirnya, kata dia, kita memahami bahwa kepelikan politik merupakan soal yang mengganggu proses pengambilan kebijakan yang benar dan tepat oleh Presiden.
Namun, KSA tetap berharap bahwa sebagai negarawan, Presiden Jokowi senantiasa boleh percaya bahwa hikmat/kebijaksanaan yang bersumber dari dialog yang sungguh dengan persoalan bangsa akan menemukan jalan pembelaannya jika kita ikhlas memperjuangkannya.
KSA menilai audiensi para tokoh bangsa, dan tegak konsistennya mereka hingga hari ini untuk mengawal janji Perppu KPK oleh Presiden merupakan kekuatan pengawalan yang sudah mumpuni. Semoga ditambah dengan kepercayaan pada Tuhan yang Kuasa, Presiden Jokowi dapat berani menerbitkan Perppu KPK.
KSA mencatat, di balik pernyataan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa terkandung pengakuan adanya kegentingan. "Tumpul dan hilangnya senjata kita yang utama, KPK, dalam menghadapi musuh luar biasa, menambah bobot kegentingan tersebut. Dan hilangnya komitmen elite dalam upaya pemberantasan korupsi melalui pelemahan KPK merupakan kegentingan moral yang menambah bobot pada kegentingan yang sudah ada," katanya.
Padahal komitmen Presiden adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia. Itu tidak mungkin dilakukan dalam ekosistem politik dan birokrasi yang korup. Juga komitmen untuk mobilisasi investasi untuk perkembangan ekonomi dan pengentasan pengangguran, di tengah ekonomi dunia yang tidak kondusif.
“Itu juga tentu tidak bisa dilakukan di tengah ekosistem politik dan birokrasi yang korup. Karena integritas kelembagaan negara adalah faktor daya saing investasi yang penting,” katanya.
Kegentingan sebagai prasyarat Perppu, sebagaimana diargumentasikan beberapa pakar, termasuk Mahfud MD, adalah hal yang subjektif. Subjektivitas itu bisa bersumber dari tafsir sosiologis dan tafsir teleologis, sebagaimana sudah kami sampaikan di atas.
Dan kegentingan pun tidak harus berbentuk kegentingan manifested. Tetapi juga kegentingan laten. Yang tidak kelihatan, berbentuk kegentingan moral, yang mengancam eksistensi bangsa secara jangka panjang.
“Maka pijakan Perppu sesunguhnya sudah kuat, dan kita tinggal menunggu pemenuhan janji seorang presiden, yang senantiasa kita idealkan untuk berkualifikasi sebagai seorang negarawan. Pemenuhan atau tidaknya janji tersebut akan berbicara tentang integritas seorang negarawan kepala negara,” demikian siaran perds KSA.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich