JAKARTA – Kepolisian dituding tidak berempati terhadap keluarga korban penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Bahkan hingga kini, pihak keluarga korban insiden LP Cebongan sama sekali tidak mendapat ucapan bela sungkawa dari kepolisian.
Victor Mambait, kakak kandung almarhum Johannes Juan Mambait, mengatakan, harusnya Polri bertanggung jawab betul terhadap keselamatan tahanan kepolisian. “Sampai saat ini kami belum mendapat salam dari pihak kepolisian, demikian juga ucapan duka cita,” ujar Victor di Jakarta, Jumat (12/4).
Juan merupakan satu dari empat korban yang tewas dalam penyerangan ke LP Cebongan yang dilakukan 11 oknum Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat, Sabtu (23/3) dini hari lalu. Ia bersama tiga rekannya masing-masing Hendrik Benyamin Sahetapy Engel alias Deki, Adrianus Chandra Galaja alias Dedi, dan Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi, tewas diberondong timah panas.
Victor menambahkan, keluarga korban sebenarnya tidak memersalahkan ada atau tidaknya ucapan duka dari kepolisian. Sebab, ucapan bela sungkawa tidak dapat mengubah fakta yang ada.
Meski demikian ia berharap kepolisian dapat bertindak lebih adil, karena saat ini warga Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berada di Yogyakarta masih dicekam kekhawatiran. “Secara fisik memang tidak ada ancaman pada pihak keluarga. Tapi secara labelisasi, kita benar-benar merasa terancam. Opini yang terbentuk seolah-olah tindakan pembantaian itu benar, ini membuat kami tidak nyaman,” katanya.
Tekanan lainnya, lanjut Victor, saat ini juga muncul opini yang meluas di tengah masyarakat bahwa seolah-olah semua warga asal NTT adalah preman. “Seolah-olah saya yang hitam dan berambut keriting ini preman. Jadi ada pandangan-pandangan yang menggiring publik menerima opini ini. Padahal mereka (keempat korban,red) belum menjalani proses pengadilan dan belum dibuktikan apakah benar mereka preman. Harusnya proses hukum itu ada terlebih dahulu,” katanya.
Akibat adanya tekanan mental ini, Victor menegaskan rata-rata warga NTT di DIY belum dapat beraktifitas normal sebagaimana yang telah berlangsung puluhan tahun. “Ini karena secara psikologi, mereka masih agak terganggu dengan opini yang terbentuk tersebut,” katanya.
Sebagaimana diberitakan, hasil investigasi TNI AD, menyimpulkan penyerangan Lapas Cebongan, dilakukan 11 oknum Kopassus, Grup II, Kandang Menjangan, Kartasura. Disebutkan, aksi penyerangan dilakukan secara spontan pascatewasnya tewasnya Serka Heru Santoso, seorang anggota Kopassus di Hugo"s Cafe, beberapa hari sebelumnya. Keempat korban yang tewas di Lapas Cebongan merupakan tersangka dalam pembunuhan terhadap Serka Heru.(gir/jpnn)
Victor Mambait, kakak kandung almarhum Johannes Juan Mambait, mengatakan, harusnya Polri bertanggung jawab betul terhadap keselamatan tahanan kepolisian. “Sampai saat ini kami belum mendapat salam dari pihak kepolisian, demikian juga ucapan duka cita,” ujar Victor di Jakarta, Jumat (12/4).
Juan merupakan satu dari empat korban yang tewas dalam penyerangan ke LP Cebongan yang dilakukan 11 oknum Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat, Sabtu (23/3) dini hari lalu. Ia bersama tiga rekannya masing-masing Hendrik Benyamin Sahetapy Engel alias Deki, Adrianus Chandra Galaja alias Dedi, dan Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi, tewas diberondong timah panas.
Victor menambahkan, keluarga korban sebenarnya tidak memersalahkan ada atau tidaknya ucapan duka dari kepolisian. Sebab, ucapan bela sungkawa tidak dapat mengubah fakta yang ada.
Meski demikian ia berharap kepolisian dapat bertindak lebih adil, karena saat ini warga Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berada di Yogyakarta masih dicekam kekhawatiran. “Secara fisik memang tidak ada ancaman pada pihak keluarga. Tapi secara labelisasi, kita benar-benar merasa terancam. Opini yang terbentuk seolah-olah tindakan pembantaian itu benar, ini membuat kami tidak nyaman,” katanya.
Tekanan lainnya, lanjut Victor, saat ini juga muncul opini yang meluas di tengah masyarakat bahwa seolah-olah semua warga asal NTT adalah preman. “Seolah-olah saya yang hitam dan berambut keriting ini preman. Jadi ada pandangan-pandangan yang menggiring publik menerima opini ini. Padahal mereka (keempat korban,red) belum menjalani proses pengadilan dan belum dibuktikan apakah benar mereka preman. Harusnya proses hukum itu ada terlebih dahulu,” katanya.
Akibat adanya tekanan mental ini, Victor menegaskan rata-rata warga NTT di DIY belum dapat beraktifitas normal sebagaimana yang telah berlangsung puluhan tahun. “Ini karena secara psikologi, mereka masih agak terganggu dengan opini yang terbentuk tersebut,” katanya.
Sebagaimana diberitakan, hasil investigasi TNI AD, menyimpulkan penyerangan Lapas Cebongan, dilakukan 11 oknum Kopassus, Grup II, Kandang Menjangan, Kartasura. Disebutkan, aksi penyerangan dilakukan secara spontan pascatewasnya tewasnya Serka Heru Santoso, seorang anggota Kopassus di Hugo"s Cafe, beberapa hari sebelumnya. Keempat korban yang tewas di Lapas Cebongan merupakan tersangka dalam pembunuhan terhadap Serka Heru.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ditentang, Komnas HAM Tetap Lanjutkan Penyelidikan Kasus Cebongan
Redaktur : Tim Redaksi