Dengan alasan hanya berkunjung, Suli Asifatami Razak terbang ke Amerika Serikat. Tapi kini ia juga sudah memperoleh dua dosis vaksin Pfizer yang diperolehnya di sana.

"Anak saya kuliah di sini. Kami memang sudah berencana mengunjungi mereka, dan di AS juga ada vaksin gratis," katanya.

BACA JUGA: Akankah Australia Terbebas dari Lockdown?

"Jadi saya pikir, 'Kenapa enggak sekalian saja?"

Suli adalah satu dari sekian banyak warga Indonesia yang divaksinasi sambil liburan. Salah satu perusahaan tur menyebutnya "AirV&V". 

BACA JUGA: Tim Basket Putra AS Raih Hasil Positif Jelang Turun di Olimpiade Tokyo 2020

"Enggak ada yang salah kalau mau divaksinasi di luar negeri. Semuanya kembali ke pilihan masing-masing, menurut saya," katanya mengomentari anggapan vaksinasi di luar negeri adalah hak istimewa orang kaya.

"Bukan berarti kita tidak mau divaksinasi di Indonesia. Saya cuma mau yang terbaik untuk keluarga."

BACA JUGA: Indonesia Menjadi Episentrum Baru COVID-19, Angka Kematian Dokter Meningkat Tajam

Ketergantungan Indonesia pada Sinovac 

Sementara itu, kondisi sistem kesehatan Indonesia yang rapuh terus memburuk akibat varian Delta.

Kemarin (18/07), Indonesia melaporkan 44.721 kasus baru dan 1.093 kematian akibat COVID-19.

Jumlah kematian sudah meningkat 10 kali sejak awal Juni, namun data nasional melaporkan jumlah yang jauh di bawah sebenarnya karena rendahnya tes dan lemahnya sistem pelacakan kontak.

Dari awal vaksinasi di Indonesia dimulai, pemerintah sangat bergantung pada vaksin Sinovac yang dibuat di Tiongkok.

Vaksin tersebut diberikan untuk tenaga kesehatan, yang semakin banyak di antaranya terinfeksi COVID-19 kembali lalu meninggal dunia.

Penggunaan Sinovac telah disetujui oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mengatakan bahwa vaksin mencegah timbulnya gejala pada 51 persen orang yang divaksinasi.

"Pilihan saya Pfizer, tapi kita tidak tahu kapan bisa dapat vaksin ini di Indonesia dan pas juga ada kesempatan ke Amerika," kata Suli kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.

Pilihan vaksin yang beragam juga menjadi alasan Hartati Freeman, warga Indonesia asal Medan untuk juga terbang ke Amerika Juni lalu.

Bersama suami dan anaknya, ia menerima vaksin Pfizer yang dosis pertama dan keduanya berjarak 21 hari.

"Karena di Indonesia tidak bisa memilih. Kalau di Amerika kan kita bisa milih, ada Pfizer, Johnson & Johnson, Moderna," katanya kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

Hartati yang juga sempat mengelilingi beberapa negara bagian di Amerika Serikat mengatakan mereka tidak perlu melakukan booking untuk bisa divaksinasi di sana.

"Tinggal datang saja di sana. Ke supermarket, Walmart, Walgreens, GVS, tidak ada antrean," katanya.

Untuk tinggal di Amerika selama tiga bulan bersama suami dan anaknya, ia mengeluarkan biaya sekitar $20,000 atau sekitar hampir Rp300 juta.

Setelah divaksinasi, kini Suli dan keluarganya berencana untuk kembali ke Indonesia dua minggu lagi.

Ia khawatir melihat situasi Indonesia yang kondisinya lebih parah dari India, dan telah menjadi episentrum virus corona di Asia.

"Pada akhirnya, Indonesia adalah negeri saya. Saya harus pulang dan menghadapi kenyataan," katanya.

"Vaksin hanyalah bentuk perlindungan lain. Yang paling penting adalah untuk terus menaati protokol kesehatan."

Hartati, sementara itu, sedang menjalani karantina di Jakarta.

Meski khawatir, ia tidak punya pilihan lain selain untuk kembali ke Indonesia.

"Tadinya banyak yang sarankan enggak balik, tapi kami kan punya anak yang saya tinggal," katanya.

"Tidak apa-apa sih, saya akan social distancing, tidak kemana-mana untuk sementara." Amerika siap menyuntik pemegang visa turis

Sekitar 5,8 persen, atau hampir 15 juta warga Indonesia telah divaksinasi.

Pemerintah gagal mencapai target menyuntik 181,5 juta warga hingga Maret tahun depan.

Sejak Mei, agen perjalanan ATS Vacations telah menjual "tur vaksinasi" ke Amerika.

"Antusiasmenya tinggi sekali. Banyak yang nanya karena mereka ingin divaksinasi dengan vaksin yang tidak ada di Indonesia, seperti Pfizer atau Moderna," ujar Josephine Nathania Lienardi, staff pemasaran ATS.

Josephine mengatakan agen tersebut menawarkan paket perjalanan sebesar Rp13,99 juta untuk tinggal di AS selama tiga minggu.

"Paket ini termasuk tiket penerbangan dan transportasi. Kami jugamengurus jadwal vaksinasi dan tes PCR," kata Josephine.

"Tapi cuma untuk Johnson & Johnson, yang butuh satu dosis."

Mereka yang ingin divaksinasi dengan Pfizer harus membayar lebih.

Dengan harga sekitar Rp26 juta, mereka bisa menghabiskan 24 malam di Los Angeles, demi dua dosis vaksin Pfizer.

"Kami bukannya mau jualan vaksin. Kami menawarkan tur ke Amerika, yang kebetulan menawarkan vaksin gratis, bahkan untuk turis," kata Josephine.

"Mereka bebas mau divaksinasi atau tidak, terserah mereka."

Tur ini akan berlangsung dari bulan Juni sampai November.

Pandu Riono, epidemiolog Universitas Indonesia, mengatakan upaya ke luar negeri untuk vaksinasi "sudah sering terjadi dan tidak dilarang" bagi mereka yang punya uang.

"Mencari perawatan rumah sakit di Amerika Serikat adalah salah satu tujuan perjalanan yang diperbolehkan bagi mereka yang memegang visa," ujar juru bicara Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia. Punya uang? Silakan pilih vaksin

Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di Guam.

Pulau kecil dengan luas 550 kilometer persegi tersebut masuk dalam wilayah Amerika Serikat namun tidak terhubung secara langsung.

Guam terletak di sebelah timur Filipina dan sebelah tenggara Tiongkok, semenanjung Korea dan Jepang.

September lalu, Guam sempat menjadi titik penularan virus corona di Amerika.

Namun akhir Juni lalu, wilayah tersebut meluncurkan program pariwisata vaksin "AirV&V" untuk mendorong warga setempat dan warga Amerika yang tinggal di Asia Timur untuk divaksinasi.

Menurut Pusat Pengunjung Guam, pelaku perjalanan yang memiliki izin diperbolehkan menerima suntikan vaksin sehari setelah kedatangan dan bebas berwisata di dalam negeri setelahnya.

Pelaku perjalanan harus membayar biaya karantina di hotel selama kurang lebih seminggu.

Mereka boleh memilih antara Pfizer, Moderna, atau vaksin Johnson & Johnson dan bisa menetap di pulau itu minimal tiga hari, atau sampai sebulan.

Kelompok pertama berisi tiga orang yang tiba di negara tersebut dengan pesawat charter adalah dari Taiwan pada tanggal 23 Juni.

Sejak itu, ratusan warga Taiwan ikut berlibur sekaligus divaksinasi di Guam.

Lion Travel, salah satu agen perjalanan terbesar di Taiwan mengatakan sudah menjual 439 kursi dari empat paket perjalanan ke Guam tanggal 6 Juli.

Paket tersebut termasuk penerbangan dan hotel, dengan harga paling murah sebesar A$2,040 atau sekitar Rp22 juta, tidak termasuk tes COVID. Selebriti Thailand juga ikut tur vaksin di luar negeri

Hal serupa juga terjadi di Thailand yang sedang menangani gelombang ketiga COVID, dengan munculnya 3.000 kasus baru setiap harinya.

Orang kaya di sana, termasuk para selebriti, pergi ke luar negeri untuk divaksinasi COVID.

Beberapa warga Thailand tidak mau menunggu giliran divaksinasi di pusat vaksinasi yang ada di stasiun kereta, pusat perbelanjaan, stadium olahraga dan bandara, yang menurut mereka membingungkan dan rumit.

Beberapa lainnya tidak percaya pada vaksin yang digunakan.

Maret lalu, Thailand mulai melakukan vaksinasi dengan Sinovac untuk petugas kesehatan dan warga rentan.

Vaksin tersebut terus digunakan sampai awal Juni, hingga akhirnya beralih ke AstraZeneca yang diproduksi oleh perusahaan milik Raja Thailand.

Sejauh ini, sekitar delapan juta warga Thailand telah divaksinasi dengan dosis pertama, kurang lebih 10 persen dari total populasinya.

Hampir lima persen dari total warga sudah menerima dosis kedua.

Paket tur vaksin dijual dengan harga hingga A$8,300 (Rp89 juta), meliputi kunjungan ke tempat wisata juga farmasi yang menawarkan vaksinasi.

Sebagian dari artikel ini diproduksi dari artikel ABC News dalam Bahasa Inggris yang bisa dibaca di sini.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pakar di Inggris Khawatir Varian Delta Menyebar Lebih Cepat karena Pelonggaran Aturan

Berita Terkait