Kebijakan pembatasan sosial berupa 'lockdown' berulang kali terjadi di sejumlah kota Australia sejak Maret 2020. Kesabaran warga masyarakat kini dikhawatirkan semakin menipis.

Saat ini sekitar 12 juta warga Australia harus tinggal di rumah sehingga tidak dapat mengunjungi kerabat atau keluar makan malam, atau bepergian lebih jauh dari radius lima kilometer dari rumah mereka.

BACA JUGA: Guru Besar UI Bicara Soal Vaksin COVID-19 Dosis Ketiga, Begini

Ketika Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengumumkan empat langkah untuk keluar dari pandemi pada 2 Juli lalu, dia menyebut 'lockdown' merupakan "jalan terakhir".

Menteri Utama negara bagian New South Wales (NSW) Gladys Berejiklian juga menyatakan pihaknya ingin "lockdown kali ini sebagai yang terakhir sampai mayoritas penduduk divaksinasi".

BACA JUGA: Jelang Olimpiade Tokyo 2020, 6 Atlet Inggris Raya Lakukan Isolasi

Tapi tidak sampai tiga minggu kemudian, di saat negara bagian Queensland dan Kawasan Australia Utara telah dibuka kembali, 'lockdown' di NSW terus mengalami perpanjangan.

Begitu pula dengan negara bagian Victoria, yang bersama NSW menerapkan 'lockdown' yang ketat.

BACA JUGA: Niat dan Tata Cara Salat IdulAdha di Rumah

Apakah ini merupakan 'lockdown' terakhir di Australia?

Tiga pakar epidemiologi terkemuka Australia sependapat bahwa 'lockdown' di Sydney memang diperlukan, dan tanpa vaksinasi massal, merupakan satu-satunya cara menghentikan wabah.

Namun, para epidemiolog ini tidak dapat memastikan apakah 'lockdown' di NSW dan Victoria saat ini akan menjadi yang terakhir di Australia.

Profesor Peter Collignon, pakar penyakit menular dari Australian National University (ANU), memperingatkan negara ini sedang memasuki "keadaan yang sangat berbahaya" untuk COVID-19.

Australia berada dalam situasi berbeda dengan negara seperti Inggris dan Amerika Serikat, yang telah membangun tingkat kekebalan alami dari ratusan ribu warganya yang tertular dan telah sembuh.

"COVID-19 lebih sulit dikendalikan pada musim dingin," kata Profesor Collignon.

"Jika hal itu (lockdown) merupakan harga yang harus kita bayar agar bisa bebas, dan bukan 20.000 atau 50.000 kematian, maka kita harus bersedia membayarnya," tambahnya.

Epidemiolog lainnya sependapat bahwa tanpa vaksinasi massal, 'lockdown' menjadi satu-satunya cara untuk menekan wabah.

Profesor Marylouise McLaws dari University of NSW menggambarkan 'lockdown' sebagai "senjata penting dalam mencegah orang meninggal".

"Kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa 'lockdown' membawa hasil. Tapi hal itu tidak berfungsi ketika pihak berwenang terlalu lama [mengambil keputusan]," tegasnya.

Ekonom dari University of NSW Profesor Gigi Foster mengatakan Australia seharusnya tidak lagi menggunakan pendekatan yang keras dalam memberantas virus ini.

"Kita seharusnya tidak melanjutkan langkah yang telah kita jalankan selama satu tahun untuk memberantas virus. 'Lockdown' ini sangat mahal dampaknya pada manusia," ujarnya.

Profesor Foster mengatakan pemerintah harus beralih ke strategi "pragmatis dan praktis", yaitu penggunaan vaksin, perawatan, dan perlindungan khusus untuk kelompok rentan, tanpa membatasi populasi yang lebih luas.

Intervensi lain, seperti wajib mengenakan masker dan menjaga jarak fisik juga dapat mengurangi kemungkinan wabah yang cukup serius untuk mencegah 'lockdown', tetapi hanya jika orang bermain sesuai aturan. Angka ajaib?

Namun Profesor Raina MacIntyre, kepala Program Biosekuriti pada Kirby Institute, mengatakan dalam situasi penyebaran virus yang tak terkendali dan populasi yang belum divaksinasi, 'lockdown' adalah satu-satunya langkah yang akan berhasil.

Perkiraan Australia akan mencapai kekebalan kelompok bervariasi, tapi sebagian besar menyebut bila 70 hingga 80 persen populasi orang dewasa telah divaksinasi sepenuhnya.

Profesor MacIntyre mengatakan angka ini dihitung sekitar 66 persen untuk situasi tahun lalu, namun varian virus Delta telah mendorong ambang batas lebih tinggi lagi.

Persentase tersebut, kemungkinan dapat dicapai pada bulan Oktober atau November tahun ini, bila Australia bisa melakukan suntikan vaksin satu juta atau lebih dalam seminggu.

"Kuncinya adalah vaksin, vaksin, dan vaksin," kata Profesor Collignon dari ANU.

Namun Prof. MacIntyre lebih berhati-hati dalam memperkirakan kapan kekebalan kelompok di Australia bisa tercapai.

"Kita mungkin mendapatkan pasokan vaksinasi yang memadai pada bulan September atau Oktober, tapi mungkin juga tidak sama sekali," ujarnya.

"Kita melihat kemajuan dengan kecepatan yang sangat lambat tahun ini," kata Prof. MacIntyre.

Sekitar satu dari tiga orang Australia berusia di atas 16 tahun – atau sekitar 35 persen – sejauh ini telah menerima setidaknya satu dosis vaksin COVID-19.

Dari jumlah tersebut, sekitar 13 persen telah menerima dua dosis yang diperlukan.

Menurut Profesor MacIntyre, pemerintah seharusnya fokus membangun infrastruktur yang mendukung percepatan vaksinasi.

Pemerintah sendiri belum mengumumkan berapa persentase vaksinasi untuk seluruh populasi yang diharapkan, sambil menunggu hasil proses pemodelan.

"Ini merupakan angka ilmiah. Bukan angka politik, bukan angka sembarangan," ujar PM Scott Morrison awal bulan ini.

Namun bahkan ketika mayoritas populasi orang dewasa telah divaksinasi penuh, bukan berarti semuanya akan tiba-tiba kembali normal. Kembali ke kehidupan sebelum pandemi

Dalam upaya kembali ke kehidupan pra-pandemi, Prof. Collignon menegaskan, langkah pertama yang harus diterapkan yaitu dengan lockdown.

Langkah-langkah lainnya, seperti aturan menjaga jarak "empat meter persegi" dan membatasi kerumunan, harus tetap berlaku. Mentalitas orang yang tetap nekat pergi kerja di saat sakit harus dihilangkan.

Profesor Collignon meminta pemerintah Australia melihat ke negara di belahan bumi utara dan bagaimana musim dingin mempengaruhi penyebaran virus pada populasi yang sebagian besar telah divaksinasi.

"Kita bisa lihat apa efeknya bukan hanya pada penyebaran, karena penyebaran tetap terjadi. Tapi efeknya pada pada kematian dan penyakit pareah," katanya.

"Menurut saya, ini akan menjadi seperti influenza dan virus flu biasa. Kita akan melihat sejumlah orang yang sakit parah dengan itu, tapi sebagian besar orang akan mengalami sakit ringan," jelas Profesor Collignon.

Dalam empat langkah strategis yang diumumkan PM Morrison, ada fase konsolidasi yang diharapkan terjadi setelah vaksinasi massal.

Pada fase tersebut, COVID-19 akan dikelola dengan cara yang sama seperti penyakit menular lainnya, dengan tingkat rawat inap yang sejalan dengan flu.

"Jadi, kalau seperti flu, kita harus memperlakukannya seperti flu, dan itu berarti tidak ada 'lockdown'," kata PM Morrison.

Profesor McLaws menyarankan begitu kekebalan kelompok telah tercapai, perlu dirancang adanya sistem peringatan nasional untuk memberitahu publik ketika wabah telah terdeteksi dan masker harus dipakai.

"Sehingga kalau ada virus yang beredar seperti Delta dan mudah terhirup, tidak akan banyak kasusnya," ujarnya.

Dia juga menyarankan karantina di rumah bagi pendatang internasional dengan teknologi geo-lokasi untuk memastikan kepatuhan mereka.

Namun, Profesor McLaws tidak sependapat bila yang disebut normal baru berarti "hidup dengan virus".

"Orang tidak hidup dengan virus ini. Mereka mati dengan virus ini. Mereka menderita," tegasnya.

"Apakah kita hidup difteri? Apakah kita hidup dengan batuk? Apakah kita hidup dengan TBC? Tidak. Jangan biarkan orang hidup dengan penyakit mematikan," tutur Profesor McLaws.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pesan Pemain PSS untuk Masyarakat Indonesia Agar Aman dari Covid-19

Berita Terkait