JAKARTA- Keberhasilan seseorang di Kota Pematang Siantar, kini dinilai lebih berdasarkan berapa banyak materi yang ia peroleh. Bukan lagi berdasarkan integritas maupun pendidikan yang mampu dicapai orang tersebut.
Padahal menurut penggagas berdirinya Paguyuban Siantarman di Jakarta, Sarasi Timur Tampubolon kepada JPNN, Siantar dulunya dikenal sebagai kota pendidikan. Sehingga seseorang akan sangat bangga jika disebut anak Siantar. Apalagi seorang guru menurutnya, juga selalu ditempatkan secara khusus.
“Dulu, memang pergaulan yang ada itu semi preman. Tapi pendidikan, penghormatan terhadap orangtua tetap terjaga. Dan lagi kelebihannya, dulu Siantar dikenal karena solidaritasnya yang tinggi tanpa melihat agama.”
Namun sekarang ditambahkan Timur kemudian, sebuah keberhasilan di Siantar justru lebih dinilai karena materi. Demikian juga ketokohan seseorang hadir, lebih karena ia memiliki uang dan harta yang berlimpah. Akibatnya menurut mantan siswa SMP Kristen I Pematang Siantar angkatan sekitar tahun 1970 ini, tidak heran jika kini penghargaan dan penghormatan terhadap orang yang lebih tua, terus semakin terkikis dari kota Siantar.
Belum lagi aksi-aksi kekerasan dan premanisme justru ditunjukkan oleh para tokoh masyarakat yang seharusnya memberi contoh keteladanan. Sehingga citra sebagai kota pelajar yang menjunjung tinggi tatakrama, nyaris tidak lagi terdengar.
Oleh sebab itu, salah seorang pejabat di lingkungan Dinas Pendapatan DKI Jakarta ini, mengajak semua elemen masyarakat yang ada di Siantar, kembali melihat jatidiri kota Siantar yang sekian lama begitu harum terdengar. “Mari kita saling berbuat lewat apa yang kita mampu. Kita jangan letih dan bosan tapi kita harus menjaga agar kebersamaan itu tidak memudar. Kalau tidak kita mulai dari diri sendiri, saya pikir tidak akan bisa,” ungkap personil group vocal Amores King yang sebentar lagi mengeluarkan album, “Satu untuk Semua, Semua Untuk Satu.”
Dengan dasar pemikiran ini pulalah ungkap Timur kemudian, bersama sejumlah teman-teman lainnya, mereka menggagas berdirinya Paguyuban Siantar Man di Jakarta pada tahun 2005 lalu.
“Dalam paguyuban ini setidaknya beranggotakan orang-orang Siantar yang telah merantau ke Jakarta. Dimana setidaknya ada 12 etnis. Jadi tidak hanya orang-orang batak, karena Siantar kan banyak etnis,” ungkapnya yang memastikan paguyuban ini sendiri sifatnya tidak permanen.
Namun meski demikian, lewat paguyuban mereka ingin berbuat. “Apalagi di Jakarta ini kan sangat heterogen dengan pola kehidupan yang macam-macam. Jadi kita saling mengingatkan agar jangan terbawa arus yang tidak baik. Jadi ada yang harus berubah. Tapi ada juga yang kita jaga agar jangan berubah. Makanya kita harus tetap open minded, dan harus terus berusaha meninggalkan primordial,”ungkapnya. (gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pendemo Anti BBM Iris Tangan
Redaktur : Tim Redaksi