Diungkapkan Tarmilah (63) beberapa waktu lalu suaminya meninggal dunia. Kesedihannya bertambah saat pihak keluarga sempat kesulitan mendapatkan air bersih untuk memandikan jenazah suaminya. Hingga harus membeli beberapa jerigen air di kampung sebelah.
"Tiga hari lalu, waktu mau memandikan jenazah suami, kami sulit sekali mendapatkan air. Akhirnya, mendadak beli ke kampung sebelah," kata Tarmilah saat ditemui Bandung Ekspres (Grup JPNN) di kediamannya, Jumat (7/9).
Kekurangan air bersih yang merupakan kebutuhan pokok ini sudah dirasakan warga sejak memasuki musim kemarau. Bahkan kini untuk kebutuhan rumah tangga saja, warga mengandalkan air sawah yang dialirkan dengan menggunakan selang kecil dan kemudian ditampung di sebuah bak. "Butuh waktu sehari penuh, biar bak itu penuh karena airnya dibagi-bagi sekampung. Makanya saya harus menghemat persediaan air ini," kata dia.
Ia menambahkan, untuk mengalirkan air dari sawah-sawah terdekat warga harus melakukannya secara swadaya. Bahkan, agar tiap rumah dapat kebagian air, warga diminta untuk merogoh kocek sebesar Rp200 ribu per kepala keluarga (KK).
Iin (30), salah seorang warga lainnya mengatakan, warga setempat sudah sejak empat bulan lalu mulai mengkonsumsi air sawah. Pasalnya, beberapa sumber mata air Tarengtong di daerah Cikamuning Tonggoh, sudah kering akibat musim kemarau yang panjang. Sedangkan, air sawah merupakan satu-satunya sumber air yang tersisa dan masih belum kering di kampung tersebut.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, warga memperolehnya dengan perjuangan keras. Biasanya warga kampung tersebut mengambil air dari mata air Cikaci yang berada sekitar dua kilometer dari kampung tersebut. Warga biasanya berbondong-bondong mendatangi mata air itu dengan membawa ember atau jerigen untuk menampung air dan membawanya pulang ke rumah. "Tapi sejak musim kemarau, sumber mata air itu sudah tak mengalir lagi. Warga sempat mengambil air ke sungai, tapi sungai pun mulai kering. Tempatnya juga jauh," kata Iin
Dijelaskannya, sejak puluhan tahun lalu warga yang berada di wilayah penambangan batu Padalarang selalu mengandalkan mata air Tarengtong sebagai sumber mata air utama warga Cikamuning. Mata air tersebut biasanya digunakan warga untuk berbagai kebutuhan mulai dari mencuci, mandi hingga memasak (MCK).
Namun sejak musim kemarau melanda sekitar empat bulan lalu, mata air Tarenggong tak mampu menyediakan air lagi. Warga pun, akhirnya mengandalkan air sungai Cimeta yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari kampung tersebut. "Tapi karena musim kemarau yang panjang seperti ini, sungai itu pun menjadi kering. Warga akhirnya mengandalkan air dari sawah," kata Omin (55), warga lainnya.
Omin menyatakan, warga setempat terpaksa memanfaatkan air sawah yang dialirkan melalui pipa berdiameter lima sentimeter pada sebuah bak berukuran 1x2 meter yang berfungsi sebagai tempat penampungan. Dari bak tersebut, air sawah itu kemudian didistribusikan kepada seluruh warga melalui sebuah selang mungil ke dapur.
Meski khawatir mempengaruhi kesehatan akibat mengonsumsi air sawah, ia mengaku tak pernah sakit perut atau mengalami diare. Bahkan, menurut dia dirinya belum mendengar ada warga Cikamuning yang sakit setelah mengonsumsi air sawah tersebut. "Mau gimana lagi, daripada tidak minum, kami terpaksa minum air sawah ini," keluhnya. (jnr)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Konstruksi Pelabuhan Bungkutoko Tak Layak
Redaktur : Tim Redaksi