jpnn.com - JAKARTA - Pascamunculnya ancaman bom yang menarget Istana Negara, kemarin tidak terlihat ada upacara pergantian personel Paspampres yang menjaga istana. Paspampres. Upacara yang biasa dilakukan pukul 08.00 itu ditiadakan kemarin.
Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Mayor Jenderal TNI (Mar) Bambang Suswantono menuturkan tidak adanya upacara pergantian pasukan jaga istana sangat bergantung kepada kegiatan Paspampres dan pengisi acara.
BACA JUGA: Istana Negara Dibidik Teroris, Begini Reaksi Presiden Jokowi
Seperti tim marching band dari siswa sekolah yang perlu persiapan lebih lama. Ada pula penampilan musik orkestra dan tarian.
”Hari ini tidak ada pergantian Jaga Istana. Memang tidak dijadwalkan dan bukan karena disebabkan faktor lain,” ucap Bambang.
BACA JUGA: Perempuan yang Siap Ledakkan Bom di Istana itu Termakan Doktrin Mengerikan
Dia menegaskan bukan kemarin saja pergantian itu tidak dilakukan pada pekan kedua. Pada Agustus lalu prosesi tersebut digelar pada pekan keempat.
Lantaran, pada pertengahan bulan ada rangkaian peringatan HUT RI. Pada September juga dilakukan pada pekan keempat, Oktober pada pekan ketiga, dan November pada pekan ketiga.
BACA JUGA: TNI Kirim 300 Prajurit Zeni ke Aceh
”Tentunya akan terus dilaksanakan, mengingat prosesi jaga istana ini merupakan arahan langsung Presiden, sebagai upaya mendekatkan istana dengan masyarakat. Dan prosesi ini sangat dinantikan masyarakat,” ucap Bambang.
Pagi kemarin, memang ada banyak orang yang menunggu prosesi tersebut. misalnya keluarga Nugroho yang jauh-jauh dari Serpong, Tanggerang Selatan.
Dia datang bersama istri dan putranya untuk mengabadikan prosesi tersebut. ”Yang kami tahu pekan kedua tiap bulan. Tapi kok ini tidak ada. Ya sedikit kecewa sih,” ucap dia.
Sebagai gantinya, dia mengajak putranya untuk berfoto-foto di seberang jalan Istana Merdeka. Mereka pun sempat melihat ada pergantian penjaga pos sekitar pukul 08.15 dan mengabadikannya.
Nugroho tidak yakin kalau tidak adanya upacara itu karena ada rencana serangan teror bom.
”Kita tidak boleh takut dengan teror. Kalau takut berarti kita kalah. Tapi ya harus waspada,” ujar pekerja swasta di bidang perbankan itu.
Terpisah, Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid menuturkan, aksi radikalisme di Indonesia berawal dari pemahaman yang keliru terhadap makna berjihad.
Orang-orang yang berpotensi menjadi radikal atau teroris, memaknai kegiatan berjihad itu ikut berjihad bersama mujahidin di Suriah. Kalau tidak bisa ke Suriah, berjihad di negeri sendiri.
’’Ini menjadi masalah bersama,’’ katanya di kantor LIPI akhir pekan lalu. Secara khusus Yenny bahkan menyebutkan daerah dengan intoleransi tinggi adalah Bekasi dan Bogor.
Hasil survei Wahid Institute menyebutkan, sebanyak 72 persen orang muslim Indonesia menolak berbuat radikal.
Ketua Setara Institute Hendardi mengapresiasi langkah cepat dalam menanggulangi terorisme. Menurut dia, penangkapan sejumlah orang yang berencana melakukan tindakan teror di Bekasi merupakan bentuk implementasi doktrin preventive justice yang efektif.
“Polri berhasi meyakinkan publik bahwa aparat mampu mencegah terjadinya tindakan teror dan menciptakan rasa aman bagi warga,” tuturnya.
Atas keberhasilan itu, polri patut diapresiasi. Namun, terjadinya rencana teror itu membuktikan bahwa ancaman radikalisme dan terorisme masih terus terjadi dengan eskalasi yang meningkat. Polri harus bekerja ekstra untuk menangani setiap aksi intoleransi. Sebab terorisme adalah puncak dari intoleransi.
Menurut dia, pencegahan dan penanganan terorisme harus dimulai dengan tidak memberikan kompromi terhadap aksi-aksi intoleransi. Ia menyatakan, intoleransi merupakan bibit dari terorisme. (wan/lum/jun)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Panglima Tentara Udara Malaysia Terima Bintang Kehormatan TNI AU
Redaktur : Tim Redaksi