Kematian Brigadir J Sudah 25 Hari, Al Araf Singgung soal Senjata Api

Selasa, 02 Agustus 2022 – 20:47 WIB
Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo saat tiba di lokasi baku tembak yang menewaskan Brigadir Nofryansah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di Komplek Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Senin (1/8). Foto: Fransiskus Adryanto Pratama/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (Unibraw) Al Araf menyoroti kematian Brigadir Yosua alias Brigadir J setelah 25 hari berlalu, tetapi pengusutannya belum juga tuntas.

Menurut Al Araf, sejumlah langkah sudah ditempuh Polri dalam mengusut baku tembak di rumah Kadiv Propam nonaktif Polri Irjen Ferdy Sambo yang menewaskan Brigadir J, Jumat (8/7) lalu.

BACA JUGA: Ternyata Pria Ini juga Tahu Istri Ferdy Sambo Begitu

Langkah tersebut dari membentuk tim khusus hingga pencopotan jabatan sejumlah perwira tinggi dan menengah Polri guna mengevaluasi penanganan kasus itu.

"Pengungkapan kasus kematian Brigadir J ini hanya bisa dilakukan jika proses investigasinya dilakukan secara transparan, akuntabel, dan berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum," ucap Al Araf dalam keterangan di Jakarta, Selasa (2/8).

BACA JUGA: Komnas HAM Melihat Bukti Penting Ini, Ada Ferdy Sambo & Brigadir Yosua, Jelas Sudah

Dia menerangkan salah satu prinsip utama dalam negara hukum adalah pengakuan atas prinsip persamaan di hadapan hukum sesuai amanat Pasal 27 Ayat (1) UUD.

"Prinsip itu menyiratkan makna bahwa seluruh warga negara harus diperlakukan sama di muka hukum," tegas pria yang juga pegiat di Koalisi Reformasi Sektor Keamanan.

BACA JUGA: Ini Harga Mobil Mewah Komjen Agus yang Mendatangi Rumah Ferdy Sambo, Ya Ampun!

Menurut Al Araf dalam konstruksi negara hukum itu, maka proses pengungkapan kasus kematian Brigadir J harus menghormati due process of law.

Berdasarkan prinsip ini, setiap pihak yang terlibat harus dihormati hak-haknya baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka.

"Tidak boleh ada tekanan ataupun paksaan bagi siapa pun dalam memberikan keterangan maupun informasi seputar kasus ini," ujarnya.

Proses hukum dalam mengungkap kematian Brigadir J menurutnya mutlak bersifat independen, tak memihak, dan tidak dipengaruhi suatu kekuasaan atau kekuatan apa pun.

Oleh karena itu, Al Araf menyarankan timsus yang dibentuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo fokus pada pengungkapan fakta kejadian, salah satunya dengan menggunakan metode investigasi kejahatan (penyidikan) berbasis ilmiah (scientific crime investigation).

"Artinya, setiap keterangan saksi harus dikroscek/ diuji secara ilmiah. Beragam keganjilan di publik dan keluarga korban terkait dengan kasus ini perlu dijawab secara transparan dan akuntabel oleh tim yang telah dibentuk oleh Polri," tuturnya.

BACA JUGA: Glock 17, Senjata Andal Karya Perekayasa Tak Paham Pistol

Dia mengingatkan bahwa kerja tim dalam menyelesaikan kasus kematian Brigadir J akan menjadi perhatian serius oleh masyarakat, sehingga pengawasan publik menjadi bagian elemen penting dalam menuntaskan perkara itu.

Penggunaan Kekuatan Senjata Api

Al Araf juga menyinggung soal penggunaan kekuatan senjata api (senpi) oleh kepolisian yang memang menjadi masalah serius dan perlu dibenahi dalam institusi korps Bhayangkara.

BACA JUGA: Pistol Glock 17, Sejarah, Spesifikasi, dan Harganya

Dia menyebut aparat kepolisian perlu memperhatikan Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 mengenai prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum.

Hal itu menurutnya telah dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement dan UN Basic Principle on the Use of Force and Fireams by Law Enforcement Officials mengenai penggunaan kekerasan dan penggunaan senjata api.

"Terdapat tiga asas esensial dalam penggunaan senjata kekerasan dan senjata api yang penting untuk diperhatikan polisi, yaitu asas legalitas (legality), kepentingan (necessity) dan proporsional (proportionality)," terangnya.

Menurut dia, sungguhpun penggunaan kekerasan dan senjata api tidak dapat dihindarkan, aparat penegak hukum harus mengendalikan sekaligus mencegah dengan bertindak secara proporsional berdasarkan situasi dan kondisi lapangan.

Hal itu karena penyalahgunaan kekerasan dan senjata api dapat mengakibatkan petugas mendapatkan masalah, apalagi yang mengakibatkan kematian.

"Penyalahgunaan kewenangan ini mengakibatkan pelanggaran pidana sekaligus pelanggaran atas harkat dan martabat manusia," ucap Al Araf.

Diketahui, dalam insiden di rumah dinas Ferdy Sambo, dua polisi yang terlibat baku tembak, yakni Brigadir J dan Bharada E menggunakan senjata api berkelas.

Brigadir J yang tewas dalam insiden itu memakai senpi HS 9, sedangkan Bharada E pakai pistol Glock 17.(fat/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler