jpnn.com - Tanggal 24 November 1991 menjadi momen duka bagi para penggemar musik rock, terutama para fan grup Queen.
Itulah tanggal kematian vokalis Queen Freddie Mercury.
BACA JUGA: Freddie Mercury, Majusi dan Asma Allah di Jagat Rock
Pemilik nama asli Farrokh Bulsara yang lahir pada 5 September 1946 itu meninggal dunia akibat bronkopneumonia dan acquired immune deficiency syndrome (AIDS). Komplikasi penyakit itulah yang tertera dalam sertifikat kematian Freddie.
Gaya hidup Freddie telah menuntunnya menuju AIDS. Pesohor kelahiran Zanzibar itu demen dengan alkohol, kokain, dan seks bebas.
BACA JUGA: Bohemian Rhapsody jadi Tembang Terfavorit saat Bersedih
Freddie dikenal sebagai biseksual. Penulis Lesley-Ann Jones dalam buku Mercury; An Intimate Biography of Freddie Mercury mendedahkan petualangan seksual pria berdarah Persia itu.
Lesley-Ann mengutip pengakuan Patricio, seorang gigolo sesama jenis di Rio de Janeiro, Brazil. Pria bermata biru berdarah Yahudi itu berkali-kali ikut dalam pesta pribadi Freddie.
BACA JUGA: Suara Mirip Freddie Mercury, Marc Martel Gelar Konser di Indonesia
Patricio bisa masuk ke lingkungan terbatas Freddie karena peran Paul Prenter. Tugas Paul ialah memenuhi kebutuhan Freddie akan narkoba dan lelaki-lelaki muda.
“Ketika dia (Freddie, red) lelah, Prenter yang membayar pria-pria muda dan meminta kami pergi,” ujar Patricio dalam buku terbitan Touchstone itu.
Patricio jatuh ke prostitusi akibat keputusasaan dan kemiskinan. Dalam pesta pribadi itu pula Patricio mengonsumsi narkoba bersama sang megabintang.
Freddie, tutur Patricio, bukanlah sosok agresif saat melakukan aktivitas seksual sesama jenis. Menurutnya, Freddy selalu bersikap pasif.
Di panggung, Freddie terlihat gagah dan berkarisma. Namun, Freddie justru kemayu di kehidupan nyata.
“Ketika Anda mulai menjadi gay, Anda cenderung aktif. Namun jika anda populer dan setiap orang pengin pergi bersama Anda, Anda berubah pasif, karena itulah cara mudah bersenang-senang. Bertindak seperti laki-laki itu sangat melelahkan. Kebanyakan pria gay memilih peran sebagai wanita,” ujar Patricio.
Jelang akhir hayatnya, Freddie harus bertahan hidup dalam kondisi mengenaskan. Hanya ada dua orang yang setia merawatnya, yakni Peter Freestone dan Joe Fanelli.
“Aku harus melakukannya. Tak ada orang lain yang mampu melakukannya,” ujar Freestone di buku yang sama.
Saat dalam kondisi sakit parah sebelum ajal menjemput, Freddie hanya mau menerima orang-orang tertentu saja di rumahnya, Garden Lodge, wilayah Kensington, London. Dia lebih betah duduk berjam-jam membuat gambar tentang Delilah, kucing favoritnya.
Delilah pun menunjukkan keganjilan pada hari kematian Freddie. Kucing yang sudah seperti anak sendiri bagi Freddie itu terlihat tak betah di tempat yang disediakan khusus untuknya.
Ajal tak bisa ditolak. Freddie pun wafat.
Selanjutnya, Freestone pula yang memutuskan jenazah Freddie harus dikremasi. Keputusan itu bukanlah pilihan mudah, karena Freddie dianggap sebagai penganut Zoroaster.
Dua orang tua Freddie, Pak Bomi Bulsara dan Bu Jer Bulsara, tentu ingin jenazah putra mereka dimakamkan sesuai kepercayaan Zoroastrian.
Artinya, jasad Freddie semestinya tidak dikuburkan, melainkan diletakkan di tempat tinggi agar disantap burung pemangsa. Pengikut Zoroaster menganggap tanah terlalu suci untuk dikotori dengan jasad manusia.
Namun, hal itu tak mungkin dilakukan di Inggris, sekalipun Freddie seorang megabintang. Freestone pun harus membuat keputusan cepat dan mengonsultasikannya terlebih dahulu kepada orang tua Freddie.
Memang, Freddie sudah berpesan agar kematiannya tidak meninggalkan kesedihan yang berlarut-larut. “Dia (Freddie, red) ingin semua segera berakhir secepat mungkin. Dia ingin dikremasi pada hari yang sama,” tutur Freestone.
Jim Beach, kolega sekaligus manajer Queen, menyebut Freddie justru punya dilema soal agama orang tuanya. “Freddie tidak mempraktikkan Zoroastrianisme,” katanya.
Akhirnya, Freddie dikremasi di West London Crematorium pada 27 November 1991. Peti matinya dibawa menggunakan mobil jenazah Rolls-Royce, sedangkan lima Daimler mengusung berbagai bunga ucapan duka.
Pengikut Zoroaster memiliki keyakinan yang optimistis tentang kehidupan setelah kematian. Eksistensi duniawi hanya pendahuluan bagi akhirat tempat berkah menanti.
SA Kapadia dalam buku The Teachings of Zoroaster menyebut agama Persia kuno itu murni monoteisme. Zoroaster mengajarkan kehidupan akhirat, keabadian roh, dan kebangkitan manusia setelah mati.
Sejarawan Yuval Noah Harari dalam buku laris Sapiens menyebut Zoroastrianisme merupakan agama penting selama Kerajaan Persia Akhamanisia (550-330 SM). Selanjutnya, Zoroastrianisme menjadi agama resmi Imperium Persia Sasania (224-651 M).
“Zoroastrianisme memberikan pengaruh besar kepada nyaris semua agama Timur Tengah dan Asia Tengah setelahnya,” tulis profesor di Departemen Sejarah Universitas Ibrani Yerusalem itu.
Terlepas dari polemik tentang bagaimana Freddie dimakamkan, dia sudah membuktikan lirik dalam tembang yang dilantunkannya.
“Dunia ini hanya memiliki satu momen manis yang disisihkan untuk kita,” begitulah lirik tembang Who Wants to Live Forever yang menjadi salah satu signature song milik Queen.
Freddie juga sudah menunjukkan 'keajaiban Tuhan' dengan talentanya yang luar biasa. Keajabian itu pula yang dia dendangkan dalam salah satu tembang Queen.
"Ciptaan Tuhan, yang besar dan kecil, itulah keajaiban,” tulis Queen dalam tembang Miracle.(ara/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rami Malek Persembahkan Golden Globe untuk Freddie Mercury
Redaktur & Reporter : Antoni