Kembalilah pada Jati diri Bangsa

Oleh: Agus Jabo Priyono - Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA)

Minggu, 17 April 2022 – 19:10 WIB
Ketua Umum DPP Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) Agus Jabo Priyono. Foto. Dok. JPNN.com

jpnn.com - Presiden Joko Widodo selama ini konsisten menampilkan dirinya sebagai sosok pemimpin yang merakyat, sederhana, manunggal dan tidak ada jarak dengan rakyat biasa.

Belakangan, dalam merespons kenaikan pelbagai kebutuhan pokok, Presiden juga rajin berkeliling untuk memberikan bantuan langsung tunai kepada masyarakat.

BACA JUGA: Amin Budi Fokus Membentuk Karakter Prima pada CPNS Bakamla RI

Harapannya, bantuan itu dapat mengurangi penderitaan dan membantu masyarakat dalam mengakses kebutuhannya.

Berkat kebijakan-kebijakan jangka pendek itu, mantan Wali Kota Solo ini banyak dielu-elukan setiap berkunjung ke daerah dan menguasai pemberitaan di media massa.

BACA JUGA: PRIMA Merespons Sikap Jokowi Melarang Menteri Bicara Isu Penundaan Pemilu dan 3 Periode, Tegas

Respons cepat yang dilakukannya dianggap sebagai bentuk keperbihakan kepada rakyat kecil.

Tidak heran, dalam beberapa lembaga survei tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi rata-rata di atas 70 persen. 

BACA JUGA: Front Nasional Pancasila Ingatkan Pemerintah Untuk Menaati Konstitusi

Secara logis, mengacu pada pemberitaan dan laporan survei yang mana kepuasan publik masih cukup tinggi, apapun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, baik berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan beleid lainnya tentu akan mendapatkan dukungan besar dari masyarakat.

Namun, kenyataannya, dengan branding merakyat dan tingkat kepuasan yang cukup tinggi, hal itu belum mampu menjamin kestabilan politik.

Masyarakat dan gerakan mahasiswa masih tetap melawan kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut.

Instabilitas politik dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah ini dimulai semenjak adanya penolakan terhadap revisi UU KPK, RUU KUHP, dan UU Cipta Kerja.

Jika kondisinya demikian, berarti ada sesuatu yang meresahkan kehidupan rakyat.

Menurut pandangan saya, keresahan itu berawal dari kekecawaan rakyat terhadap pemerintah. Rakyat menaruh harapan yang cukup tinggi terhadap Presiden Jokowi.

Rakyat berharap janji-janji hebat seperti program Nawacita maupun program lainnya yang banyak disampaikan dalam pidato-pidato presiden Jokowi dapat diwujudkan. 

Ternyata, dalam proses perjalanan pemerintahan selama 8 tahun ini, justru banyak kebijakan yang bertentangan dengan program yang dijanjikan sebelumnya seperti reforma agraria, pertumbuhan ekonomi, pemerintahan bersih, penghentian ketergantungan pada komoditas impor, utang luar negeri maupun swasembada pangan.

Selain itu, banyak juga penerbitan undang-undang yang melahirkan kekecewaan rakyat seperti UU Minerba, UU Cipta Kerja dan UU KPK.

Beberapa undang-undang tersebut dianggap tidak berpihak kepada rakyat dan hanya memberikan keuntungan kepada segelintir orang superkaya saja atau oligarki.

Di sisi lain, masyarakat masih resah dengan narasi kebencian yang diakibatkan adanya polarisasi “cebong vs kadrun”, pandemi Covid-19 yang masih menyisakan kesulitan ekonomi berkepanjangan, penegakan hukum yang tidak adil, kenaikan harga kebutuhan pokok dan tekanan geopolitik dunia yang berakibat pada naiknya harga bahan bakar minyak (BBM).

Akibat alam liberal kapitalistik, sistem oligarki, kesenjangan sosial, ketidakadilan dan kekuasaan yang koruptif dan serta manipulatif, menjadikan bangsa Indonesia ‘sakit akut’.

Parahnya, di tengah bangsa yang sedang sakit tersebut, tiba-tiba masyarakat dikagetkan dengan manuver isu perpanjangan masa jabatan presiden yang dilemparkan oleh Istana dalam hal anak buah presiden Jokowi.

Mereka melakukan upaya itu dengan sistematis dan masif. Mempertaruhkan kewibawaan politik dengan alasan banyak masyarakat yang masih menginginkan pemerintahan saat ini dilanjutkan.

Situasi makin krusial, siapapun yang berkuasa harus hati-hati dalam mengambil langkah, harus mampu menangkap suasana kebatinan masyarakat.

Jika salah, arah jarum jam sepertinya akan kembali ke era tahun 1998, krisis ekonomi, krisis keadilan, krisis keuangan negara, krisis politik, yang berujung munculnya krisis kepercayaan.

Untuk mengambil kembali kepercayaan masyarakat, pemerintah harus bermanuver cepat menghentikan politik identitas yang menyebabkan polarisasi masyarakat. Bukan malah membiarkannya sebagai tameng kekuasaan.

Penegakan hukum yang adil tanpa pandang bulu harus dilaksanakan segera serta menghentikan sementara proyek-proyek yang menggerus keuangan negara.

Terakhir Presiden juga harus segera melakukan reshuffle kabinet.

Negara harus menjaga kestabilan harga-harga kebutuhan pokok rakyat banyak dengan cara menguasai industri dan distribusi barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat tersebut, terutama di sektor pangan dan energi.

Kestabilan harga kebutuhan pokok masyarakat ini akan berpengaruh besar, bukan hanya konsumsi, tetapi juga perputaran kehidupan usaha dari UMKM sebagai pilar ekonomi nasional.

Di tengah perkembangan dunia yang masih didominasi oleh alam liberal kapitalistik, persaingan, kesenjangan, polarisasi, bangsa kita harus berani melompat, kembali membangun karakter kebangsaan yang kuat.

Kembali kepada jati diri bangsa kita sendiri. Kembali kepada nilai-nilai luhur yang sudah berurat akar, gotong royong, kekeluargaan, tepo seliro, persatuan, musyawarah.

Konsep besar membangun Indonesia yang berdaulat, berdikari, bersatu, maju, demokratis, adil dan makmur yang mampu menjaga kepentingan nasionalnya, bukan menjadi follower negara lain harus segera diwujudkan. Sebab, itulah hakikat Pancasila.

Di saat dunia sedang diliputi ketidakpastian, post kapitalisme, post modernisme, dengan prinsip-prinsip luhur yang dimiliki bangsa kita, bisa memberikan solusi untuk perdamaian dunia.

Mari kembali ke Pancasila, memenangkan Pancasila, sebagai karakter bangsa.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler