jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Perdagangan menemukan ada 444 tautan penjualan produk prekursor, B2, serta botol-botol bekas produk kimia pada sejumlah lokapasar atau platform e-commerce.
Temuan ini merupakan hasil pengawasan yang dilakukan Ditjen PKTN sejak April 2021.
BACA JUGA: Kemendag Genjot Lahirnya Bursa Crypto
Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag Veri Anggrijono menyatakan pihaknya akan terus memperketat pengawasan penjualan barang-barang tersebut di berbagai lokapasar di Indonesia.
"Ditjen PKTN akan melakukan pemanggilan klarifikasi terhadap penjual (merchant) yang terbukti memperdagangkan produk-produk dimaksud dan melakukan pengamanan terhadap barang yang diduga tidak sesuai ketentuan pada lokasi kegiatan usaha,” ungkap Dirjen PKTN dikutip dari laman resmi kemendag.go.id, Selasa (22/6).
BACA JUGA: Emil Dukung Kemendag Mengoptimalkan Perdagangan Jatim
Menurutnya, Ditjen PKTN juga telah menyampaikan surat edaran kepada Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) untuk melarang perdagangan bahan berbahaya di platform niaga elektronik.
"Serta memastikan penjual memiliki legalitas sebagai bentuk komitmen positif pelaku usaha perdagangan sistem elektronik," ungkapnya.
BACA JUGA: Kemendag Pastikan Aset Kripto Diawasi Bappebti
Veri menyebutkan pengetatan pengawasan ini sekaligus juga untuk mencegah terulangnya kasus penggunaan potasium sianida, atau kalium sianida, dalam kasus sate beracun di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada April 2021 lalu.
Potasium sianida pada kasus tersebut dibeli secara daring di lokapasar secara bebas tanpa terikat dengan ketentuan yang berlaku atau melalui jalur tidak resmi/ilegal.
Veri menjelaskan, perdagangan produk prekursor, B2, dan botol bekas produk kimia pada lokapasar terindikasi tidak sesuai dengan berat bersih dan jumlah dalam hitungan sebagaimana dinyatakan dalam label, mutu, ukuran, proses pengolahan, kondisi, jaminan, dan standar yang dipersyaratkan.
“Perdagangan bahan berbahaya sangat ketat pengawasannya, sehingga oknum memanfaatkan platform niaga elektronik untuk memperdagangkan produk-produk tersebut secara bebas tanpa harus memenuhi kewajiban yang telah ditentukan,” terang Veri.
Hal ini, tegas Veri, telah melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 8 ayat (1) huruf a, dan ayat (2) & (3); Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 65 ayat (1); dan Permendag Nomor 69 Tahun
2018 tentang Pengawasan Barang Beredar dan/atau Jasa. Tindakan tersebut bahkan dapat diancam dengan pidana penjara berdasarkan Undang-Undang No. 8 tahun 1999 dan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2014.
“Kami meminta pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik untuk memperdagangkan produk yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk memenuhi kewajiban teknis yang telah diatur,” ujar Veri.
Direktur Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Kemendag Ivan Fithriyanto juga menegaskan untuk dapat mendistribusikan, mengedarkan, atau menjual jenis produk tersebut, setiap individu atau badan usaha wajib memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Bahan Berbahaya (SIUP-B2).
Bagi Distributor Terdaftar Bahan Berbahaya (DT-B2), apabila tidak memiliki SIUP-B2, maka dilarang mengemas kembali (repacking) produk B2. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 75 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya.
Ivan memaparkan untuk perusahaan yang telah ditetapkan menjadi Distributor B2, terdapat kriteria yang telah ditentukan dalam Permendag seperti Persetujuan Impor Barang Berbahaya (PI-B2), DT-B2, maupun Pengecer Terdaftar Bahan Berbahaya (PT-B2).
"Kesemua pemilik kriteria tersebut wajib menyampaikan laporan realisasi pendistribusian barang berbahaya ke Kemendag, Kementerian Perindustrian, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan,” tegas Ivan. (mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robia