Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Djohermasyah Johan, mengatakan permohonan tersebut dimaksudkan agar penyelenggaraan pemerintahan di Aceh dapat berjalan dengan baik, serta untuk mengantisipasi agar tidak terjadi proses-proses di kemudian hari, dimana Partai Aceh yang menduduki posisi dominan di dalam Dewan Perwakilan Rakyat Aceh tetap dapat bekerja sama dengan siapapun Gubernur yang menjadi pemenangnya.
"Pemilukada di Aceh harus didasarkan pada dasar hukum Qanun (semacam Perda) sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006," kata Johan dalam sidang pendahuluan di Gedung MK, Jakarta, Jumat (13/1).
Menurut Johan, penundaan itu untuk memberikan kesempatan kepada bakal pasangan calon baru untuk mendaftar Pemilukada baik dari Parpol lokal (Partai Aceh), Partai Nasional, Partai Golkar, dan calon perseorangan. Partai-partai tersebut belum diikutsertakan dalam Pemilukada Aceh.
"Tanpa keikutsertaan pihak-pihak yang memiliki kekuatan ril di parlemen lokal dan pemerintahan daerah, bisa dipastikan pemerintahan daerah di Aceh tidak akan berjalan lancar. Ini akan terus terjadi konflik antara gubernur, bupati, walikota dengan DPRD. Kita juga meminta MK dapat memerintahkan KIP Aceh untuk menjadwalkan atau menyesuaikan tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan Pemilukada,” tandasnya.
Ketua Majelis Harjono mengatakan permohonan pihak Kemendagri harus diperjelas bagaimana kedudukan hukum permohonan, termasuk Sengketa Pilkada atau Sengketa Kewenangan. Sidang akan dilanjutkan pada Senin, 16 Januari pukul 16.00 WIB dengan agenda perbaikan permohonan. (kyd/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PT 4 Persen Bukan Ayat Kitab Suci
Redaktur : Tim Redaksi