jpnn.com, JAKARTA - Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) melakukan revisi mata pelajaran (mapel) Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) untuk jenjang anak usia dini sampai pendidikan dasar.
Revisi tersebut menitikberatkan kepada penguatan nilai dan moral Pancasila agar lebih praktikal dan terintegrasi di sekolah.
BACA JUGA: Anton Doni Nilai Pendidikan Kewarganegaraan Tampak Berserakan
"Revisi ini akan mendukung materi ajar Pendidikan Kewarganegaraan yang sudah ada, dengan fokus perbaikan kepada pembelajaran Pancasila di kelas. Nanti (pembelajaran Pancasila) bukan sekedar tataran pengetahuan, tapi lebih pada pembentukan sikap," tutur Mendikbud Muhadjir Effendy di Jakarta, Rabu (10/7).
Sehingga, lanjut Menteri Muhadjir, Pancasila dapat menjadi karakter bagi pendidikan di Indonesia. Pelajaran ini tidak berhenti hanya sebagai pengetahuan tetapi untuk penanaman nilai Pancasila sebagai wahana pembangunan watak bangsa.
Selain itu, juga sebagai bagian dari upaya pembudayaan nilai-nilai Pancasila yang diterapkan dalam kegiatan pembelajaran di satuan pendidikan dasar.
BACA JUGA: Siswa Paling tak Suka Mapel Sejarah Dipaparkan Guru, Lantas Disuruh Menghafal
Aksentuasi program diarahkan untuk mengarusutamakan pembelajaran nilai dan moral kepada seluruh peserta didik, sehingga terbentuk moralitas generasi Indonesia dengan kepribadian Pancasilais yang dimanifestasikan pada perilaku di lingkungan keluarga, sekolah, kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kepala Balitbang Kemendikbud), Totok Suprayitno menjelaskan, para guru kerap merasa Pancasila sering berhenti pada tataran pengetahuan dan ujian. Padahal Pancasila seharusnya melampaui ilmu pengetahuan dan pelajaran.
Untuk itu, perlu dilakukan revitalisasi penanaman nilai-nilai Pancasila agar anak-anak dididik dengan mengutamakan pembudayaan Pancasila. Sehingga, lanjut Totok, guru pengampu mata pelajaran Pancasila bertindak sebagai vocal point untuk pelaksanaan Pancasila.
Ditambahkan Totok, ke depan pembentukan karakter Pancasila akan lebih bersifat praktik, bukan sekedar tataran pengetahuan. Dia mencontohkan, ketika mengajarkan nilai gotong royong, guru harus langsung praktik, sehingga tidak hanya pada tataran teori.
Dia pun menegaskan, para siswa tidak akan dibebankan mengikuti ujian sebagai evaluasi akhir mata pelajaran Pancasila. Evaluasi berbentuk ujian akan kembali menempatkan materi Pancasila di tataran pengetahuan karena berakhir pada penilaian.
"Penilaian akhir itu ujiannya apa, akhirnya pendidikan berakhir di penilaian. Kami sudah ada rapor karakter, tapi deskripsi evaluasi pun bukan pelabelan pada anak," ujarnya.
Evaluasi, nantinya, menurut Totok, akan berupa deskripsi pencapaian siswa pada rapor karakter pengembangan sikap, karakter Pancasila. "Guru nanti mendeskripsikan nilai dan moral Pancasila, misalkan karakter empati yang dicerminkan pada perilaku nyata seperti menolong teman yang kekurangan atau membutuhkan," jelas Totok.
Kemudian, penilaian itu berupa penjelasan bagaimana pencapaian moral dan karakter siswa untuk nilai Pancasila tersebut.
"Guru mendeskripsikan, misal Pancasila empati dicerminkan perilaku nyata, itu menolong anak yang kekurangan yang membutuhkan, jadi bagaimana anak menolong temannya, apakah belum berkembang, sudah berkembang, sudah terbiasa, dan sudah membudaya," tutup Totok.
Pendidikan nilai moral Pancasila menjadi wahana strategis bagi pengembangan kesadaran moralitas anak melalui pengalaman belajar dengan relasi yang lebih luas dan plural.
Penumbuhan pribadi subyek didik bisa pula dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler, seperti pembinaan rohani siswa, kegiatan Pramuka, olah raga, organisasi, pelayanan sosial, karya wisata, lomba, kelompok studi. Jalur ini memberi wahana interaksi komunikasi sekaligus mengasah diri subyek didik menjadi generasi bangsa yang cerdas, dan berintegritas. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad