jpnn.com, JAKARTA - Lembaga riset produk konsumen, FMCG Insights meminta semua pihak mendukung Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam perumusan aturan labelisasi risiko bahan kimia Bisfenol-A (BPA).
Kebijakan ini akan diberlakukan pada galon industri air minum dalam kemasan (AMDK) di Indonesia.
BACA JUGA: Pengamat Ini Pertanyakan Pembiaran Produksi Galon Sekali Pakai
Terutama dalam hal ini, Kementerian Kesehatan yang punya kepentingan dalam turut menjaga kesehatan seluruh masyarakat.
"Semestinya, Kementerian Kesehatan yang paling terdepan dalam mendukung BPOM dalam penerapan labelisasi galon industri AMDK," kata Achmad Haris selaku public campaigner dari FMCG Insights, Selasa (25/1).
BACA JUGA: Kemenperin: Isu Negatif BPA pada Galon Memengaruhi Industri Makanan & Minuman
Haris menyatakan, BPOM terkesan sendirian dalam memperjuangkan pelabelan BPA pada bahan galon industri AMDK.
Kebijakan yang sebenarnya sudah diterapkan di sejumlah negara maju, di mana peluruhan zat BPA selama kurun waktu tertentu berpotensi menimbulkan penyakit serius.
BACA JUGA: Perlukah Pelabelan BPA Galon? Begini Kata Pakar Kimia ITB
Namun, kondisi di lapangan, Haris menilai bahwa BPOM tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari instansi lain.
Termasuk di antaranya dari Kementerian Kesehatan yang sangat berhati-hati dalam mengomentari tentang isu BPA ini.
Malahan, Kementerian Perindustrian menjadi pihak yang menolak rencana pelabelan BPA pada galon industri AMDK.
Alasannya kepentingan ekonomi di masa-masa pandemik.
Dalam banyak kesempatan, Kementerian Perindustrian khawatir pelabelan galon akan berdampak signifikan terhadap sektor industri makanan dan minuman tanah air.
"Kementerian Kesehatan semestinya yang mendukung BPOM dalam isu BPA ini," tegas Haris.
Haris berpendapat, masyarakat sebenarnya berhak tahu tentang potensi ancaman bisa ditimbulkan dalam peluruhan zat kimia galon BPA pada produk air minum.
Ia pun menganalogikan dengan kebijakan penerapan kalimat peringatan pada kemasan bungkus rokok atau pictorial health warning (PHW).
Industri rokok dan AMDK, menurut Haris sama-sama berkontribusi sangat besar dalam memberikan pemasukan pajak kepada negara.
Namun, kenapa perlakuan di antara kedua industri tersebut sangat bertolak belakang?
Pelabelan PHW bahaya rokok sudah diterapkan, sebaliknya pencantuman BPA pada galon AMDK memperoleh pertentangan.
"Cantumkan saja label BPA pada galon AMDK dan biarkan publik menilai sendiri apa yang dikonsumsinya," paparnya.
Keberpihakan negara, menurut Haris, harus lebih condong dalam melindungi kepentingan publik dibandingkan kepentingan privat.
"Jangan malah sebaliknya, kepentingan privat dalam hal ini perusahaan mengalahkan kepentingan publik, yakni kesehatan masyarakat," tegasnya.
Soal kekhawatiran Kementerian Perindustrian, Haris menilai pelabelan BPA tidak akan memberikan dampak signifikan pada perekonomian masyarakat.
Dampak positifnya lebih besar dibandingkan kerugian kesehatan akan menjadi tanggungan masyarakat di masa-masa mendatang.
Apalagi industri AMDK sudah meraup keuntungan besar dalam proses distribusi air kepada pelanggan sejak 1976.
Selama ini, mereka hanya sekadar melakukan proses pengemasan air alam kemudian dilanjutkan dengan distribusi ke pasar.
Lembaga riset internasional, AC Nielsen bahkan sempat mempublikasi dominasi konsumsi produk AMDK sebesar 38 miliar liter air di Indonesia pada tahun 2018.
Ketergantungan masyarakat akan produk AMDK sudah mencapai 41,8 persen.
Sisanya berasal dari air sungai, sumur, hujan, hingga PDAM.
"Keuntungan industri AMDK sangat besar, sudah saatnya mereka menjalankan produk yang memperhatikan kepentingan publik. Kalau perusahaan mengaku rugi, mereka tentunya harus membuat produk yang inovasi juga," ujarnya.
Sementara itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik keras Kementerian Perindustrian terkait agenda pelabelan risiko bahan kimia Bisfenol-A (BPA) pada galon industri air minum dalam kemasan (AMDK).
Kementerian ini dianggap paling terdepan mengganjal aturan BPA ini sedang dirumuskan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Alasannya melindungi pertumbuhan ekonomi sektor industri makanan dan minuman tanah air.
Padahal aturan itu dibuat untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dari luruhan kandungan zat BPA yang berdampak negatif pada kesehatan dalam kurun waktu tertentu.
"Saya tidak heran dengan Kementerian Perindustrian, mereka selalu defensif soal aturan perlindungan konsumen. Mereka selalu menjadi corong kepentingan industri," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi.
Tulus mengatakan Kementerian Perindustrian selalu terdepan mewakili kepentingan industri dalam penerapan berbagai aturan di Indonesia.
Dalam banyak kasus, kementerian selalu menolak pemberlakuan kebijakan dengan tujuan melindungi kepentingan masyarakat.
Contohnya aturan dalam pengendalian tembakau, gula, garam, minuman manis, dan lemak.
Sekarang ini yang terbaru soal rencana penerapan pelabelan BPA galon AMDK.
"Sebenarnya mereka ini mewakili kepentingan negara atau industri? Setiap ada aturan soal perlindungan masyarakat, mereka selalu menolak," ungkapnya.
Di sisi lain, Tulus pun bisa memaklumi saat negara juga memberikan perlindungan bagi kepentingan industri untuk bisa terus hidup dan berkembang.
Tetapi bukan lantas dengan mengorbankan kepentingan masyarakat secara luas dalam jangka pendek, sedang, maupun panjang.
Menurutnya, kepentingan publik harus menjadi prioritas utama dengan menyingkirkan kepentingan privat maupun golongan.
"Saya tidak tahu, apakah itu natural saja, atau ada sesuatu di balik semua itu," tukasnya.
Lebih lanjut, Tulus sangat yakin pemberlakuan pelabelan risiko BPA galon industri AMDK tidak memberikan dampak signifikan pada perekonomian dalam negeri.
Sebaliknya, konsumen semakin loyal di saat produsen menerapkan aturan yang memberikan perlindungan pada mereka.
Dalam hal ini tentang kandungan zat risiko BPA pada galon.
Apalagi dalam penerapannya akan masa transisi sehingga perusahaan pun bisa bersiap diri dalam menyiapkan infrastruktur.
Baru setelah dirasakan siap, pemerintah pun akan sepenuhnya dalam menerapkan aturan ini.
Meskipun memang, akan ada konsekuensi penambahan biaya produksi saat pelabelan BPA ini benar-benar diberlakukan.
Tetapi itu tentunya sudah menjadi risiko dengan berjalannya waktu perubahan kebijakan di suatu negara.
Tulus pun mencontohkan, salah satu industri AMDK berstatus perusahaan multinasional yang menerapkan standar ganda dalam masalah ini.
Sebagai perusahaan internasional, menurutnya perusahaan ini semestinya menerapkan aturan sesuai standar internasional.
Di mana ada perlindungan tegas soal kandungan zat BPA.
Tetapi saat di Indonesia, mereka ingin mempertahankan status quo dengan mengabaikan aturan soal BPA ini.
"Jangan berstandar ganda dong! Kalau di negara mereka sendiri patuh dengan aturan soal BPA, tetapi saat di Indonesia mereka menolak pemberlakuannya. Semestinya sebagai perusahaan MNC menerapkan standar tinggi dalam berbisnis," ujarnya.
YLKI secara tegas mendukung BPOM dalam menerapkan aturan pelabelan risiko BPA pada galon industri AMDK.
Karena BPOM itu merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen di mana produsen yakni Industri AMDK mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi secara detail dan transparan mengenai suatu produk.
Baik manfaat maupun dampaknya sebelum produk didistribusikan ke masyarakat.
Tujuannya adalah untuk memastikan kesehatan dan memberikan nilai edukasi kesehatan masyarakat.
Artinya, konsumen sepenuhnya akan memahami produk yang dikonsumsi berdasarkan informasi diberikan produsen.
Terlebih informasi tersebut menyangkut masalah kesehatan saat konsumen terpapar peluruhan kandungan BPA dalam kurun waktu tertentu.
"Sehingga konsumen akan bisa menentukan, apakah tetap mengonsumsi produk tersebut ataukah tidak," tuturnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil