jpnn.com, JAKARTA - Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), KH Sarmidi Husna berpendapat Kemenkes tidak melibatkan partisipasi publik sepanjang pembahasan RPP pelaksanaan UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan pasal Pengamanan Zat Adiktif.
Sepanjang pembahasan RPP Kesehatan, Kemenkes disinyalir menutup komunikasi dengan multi-stakeholders ekosistem pertembakauan.
BACA JUGA: Pakar Kesehatan Sebut Nikotin Bukan Penyebab Kanker
"P3M meminta Menteri Kesehatan agar mengeluarkan pasal-pasal terkait Pengamanan Zat Adiktif dari draft RPP Kesehatan yang ada, karena selain bertentangan dengan UU Kesehatan, UU Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, UU Perkebunan, dan putusan Mahkamah Konstitusi, juga berpotensi mematikan kelangsungan ekosistem dan tata niaga pertembakauan," kata KH Sarmidi Husna.
Sarmidi berpendapat, pasal-pasal terkait produk industri hasil tembakau seharusnya diatur dalam pengaturan tersendiri sebagaimana mandat UU Kesehatan.
BACA JUGA: APHRF 2024 Soroti Pentingnya Inovasi dalam Pengurangan Bahaya Tembakau di Indonesia
P3M mendesak Menkes memisahkan dari pembahasan RPP Kesehatan dengan pertimbangan mempunyai ekosistem yang berbeda signifikan dengan sektor kesehatan.
UU Kesehatan Pasal 152 Ayat (1) UU 17/2023 memandatkan, ketentuan pengaturan pengamanan zat adiktif, berupa produk tembakau, diatur melalui Peraturan Pemerintah. Begitu pula pada Ayat (2), ketentuan lebih lanjut rokok elektronik diatur melalui Peraturan Pemerintah.
BACA JUGA: Mahasiswi Indonesia jadi Pemenang Designer of The Year di Ajang AYDA International
"Kata 'diatur dengan' Peraturan Pemerintah pada Pasal 152, sangat tegas amanatnya, sehingga seyogyanya, rokok konvensional diatur tersendiri, rokok elektronik diatur tersendiri. Keduanya, juga sebaiknya terpisah dari RPP yang memiliki ekosistem berbeda," terang Sarmidi.
Dia juga mengingatkan bahwa perumusan RPP Kesehatan produk Tembakau harus mengacu pada prinsip-prinsip pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, Bhinneka Tunggal Ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, sebagaimana amanat dalam pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"P3M mendesak pemerintah bersama multi-stakeholder untuk merumuskan pasal-pasal alternatif terkait RPP yang non-diskriminatif, lebih berkeadilan dan berkedaulatan," ujarnya.
RPP tentang pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengaman Zat Adiktif merupakan kebijakan pemerintah yang harus mengacu pada prinsip atau kaidah kemaslahatan umat secara umum, yaitu tasharruful imam ‘ala al-ra‘iyyah manuthun bil mashlahah.
Merujuk kajian P3M, dampak dari disahkannya RPP Kesehatan dengan pasal tembakau yang ada pada industri akan berpengaruh buruk bagi iklim usaha IHT.
Banyaknya larangan terhadap IHT seperti bahan tambahan atau pembatasan tar dan nikotin, akan membuat IHT nasional gulung tikar.
"Kretek khas Indonesia juga menggunakan tembakau dan cengkeh dalam negeri dalam pembuatan rokok. Kalau dibatasi dan dilarang, yang terkena dampak terlebih dahulu industri kretek nasional," katanya.
Sebelum adanya RPP Kesehatan, IHT sudah kepayahan karena kebijakan fiskal yang eksesif.
Sejak 2020, tarif cukai hasil tembakau selalu naik dua digit. Padahal, di saat bersamaan, IHT tertekan karena pandemi covid-19 dan disusul situasi dunia yang tidak pasti.
Situasi IHT legal saat ini terus terpuruk yang terkonfirmasi melalui realisasi penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang tidak memenuhi target. Produksi rokok juga turun.
Dengan tambahan RPP, tentu akan membuat IHT gulung tikar.
Menurutnya, IHT akan semakin berat jika harus memenuhi ketentuan dari RPP seperti perubahan kemasan, bahan baku, yang costnya sangat besar, pengaturannya juga semakin ketat.(chi/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KAI Logistik Perkuat Layanan Logistik Rantai Pendingin
Redaktur & Reporter : Yessy Artada