jpnn.com, JAKARTA - Sebagai bahan pangan pokok, pergerakan beras di tingkat konsumen menjadi perhatian banyak pihak, terutama kaitannya dengan stabilisasi dan inflasi. Untuk itu, Kementerian Pertanian (Kementan) terus memastikan produksi dan pasokan beras tetap bisa memenuhi permintaan dengan berbagai langkah.
Pembentukan harga beras di tingkat konsumen merupakan mekanisme pasar yang secara fundamental dipengaruhi oleh pasokan dan permintaan. Namun demikian, Sesditjen Tanaman Pangan Maman Suherman menyatakan, kenaikan harga beras tidak langsung berkorelasi karena kurangnya produksi padi, tetapi lebih dipengaruhi oleh rantai pasok.
BACA JUGA: Mentan: Ekspor Indonesia 2017 Naik 24 Persen Jadi Rp 441 T
Berdasarkan data Angka Ramalan (ARAM) I, produksi padi 5 tahun terakhir mengalami peningkatan rata-rata 4,07 persen. "Perhitungan yang telah disinkronkan antara Kementan dan BPS tersebut, menunjukkan bahwa produksi padi nasional tahun 2018 diperkirakan sebesar 83,04 juta ton gabah kering giling (GKG), apabila dikonversi ke beras sebesar 48,29 juta ton beras.Sedangkan konsumsi beras diperkirakan sebesar 30,37 juta ton beras. Ini menunjukkan supply beras nasional masih aman sampai dengan akhir tahun," terang Maman.
Maman juga menambahkan bahwa perhitungan angka produksi beras bukan semata-mata hitungan Kementan, kami selalu berkoordinasi dengan BPS dalam peghitungan angka produksi. "Selain itu, kami juga mencatat langsung riil kondisi di lapangan. Kami berkoordinasi dengan petugas pengumpul data tanam/panen dinas pertanian kab/kota yang bertugas di tiap kecamatan untuk setiap harinya melaporkan luas tambah tanam padi. Jadi tidak benar dikatakan bahwa angka produksi hanya di atas kertas," tegas Maman.
BACA JUGA: Mentan Amran Lepas Ekspor Tiga Komoditas Hortikultura
Terkait musim kemarau, produksi gabah di petani memang sangat berkaitan dengan ketersediaan air. Bagi lahan irigasi, air tersedia sepanjang tahun. Jikapun ada kekurangan saat kemarau panjang, kebutuhan air dapat dibantu pompa baik dari bantuan pemerintah pusat/daerah maupun mandiri.
Namun demikian, Maman menyatakan bahwa kekeringan tidak melanda seluruh negeri, karena ada wilayah/daerah yang kondusif untuk ditanami. Ketika tanam kondusif, Kementan membantu percepatan dengan bantuan alat dan mesin pertanian untuk pengolahan tanah dan tanam. Begitu juga saat panen, dipercepat dengan menggunakan mesin combine harvester, juga bantuan alat pengering pasca panen. Kementan juga terus mendorong kecukupan produksi beras di perbatasan dengan memberikan bantuan rice milling unit (RMU) agar petani tidak membeli beras dari luar wilayah.
BACA JUGA: Pakde Karwo Pastikan Pelemahan Rupiah Tak Berefek bagi Jatim
Harga Beras Masih Stabil
Terkait dengan isu kenaikan harga beras, di tempat terpisah Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan (PPHTP) Gatut Sumbogodjati mengatakan bahwa yang perlu dicermati lagi adalah alur perdagangan beras memiliki rantai perdagangan yang cukup panjang. Dimulai dari petani, pedagang pengumpul, penggilingan, industri beras, pasar induk, pedagang grosir, pasar retail baik pasar modern, pasar tradisional, sampai dengan warung/kios.
“Rantai pasok inilah yang menyebabkan disparitas harga antara di tingkat petani dengan konsumen," tambah Gatut.
Selain alur perdagangan, faktor harga juga dipengaruhi oleh sebaran tempat produksi dan sebaran tempat konsumsi, serta sebaran waktu panen. Di luar Jawa produksi melimpah, namun konsumsinya sedikit, sehingga, beras luar Jawa perlu distribusi ke Jawa.
Berdasarkan laporan harga dari Petugas Informasi Pasar, harga rata-rata beras medium di tingkat produsen/petani bulan September dan Oktober lebih rendah daripada harga rata-rata bulanan tahun 2018. Harga rata-rata beras medium di tingkat produsen/petani bulan September sebesar Rp9.093/kg, sedangkan di bulan Oktober sampai dengan tanggal 5 Oktober sebesar Rp9.131/kg.
Angka ini masih lebih rendah dibanding harga rata-rata bulanan tahun 2018 sebesar Rp9.191/kg. Dibandingkan dengan hulan Agustus pun angka ini mengalami penurunan sebesar 0,34 persen dari rata-rata bulan Agustus Rp9.128 menjadi Rp9.093 di bulan September.
Sementara itu, laporan harga dari Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), bulan September dan Oktober ini harga beras masih lebih rendah dibandingkan rata-rata bulanan tahun 2018 baik untuk jenis Cianjur, Setra, Saigon, Muncul, IR64, IR 42 dan Ketan Putih. Kenaikan hanya terjadi untuk jenis ketan hitam. Itupun tidak signifikan.
Sebagai contoh dari data PIBC, beras Cianjur Kepala bulan September Rp13.289,-/kg, sedangkan rata-rata bulanan tahun 2018 sebesar Rp13.738/kg. Beras IR 42 bulan September Rp11.846 /kg, sedangkan rata-rata bulanan tahun 2018 sebesar Rp11.878,-/kg. Beras IR 64 grade I bulan September Rp10.342/kg, sedangkan rata-rata bulanan tahun 2018 sebesar Rp10.823/kg.
Kenaikan hanya terjadi jenis ketan hitam dari Rp15.941/kg menjadi Rp17.688/kg. Harga ketan putih biasa semenjak ada impor terus menurun. Untuk September 2018 harga beras ketan putih biasa Rp11.148/ kg lebih rendah dari harga beras biasa IR 42 yaitu Rp11.846/ kg. Harga ini tidak memberikan insentif bagi petani, dengan adanya impor ketan mencapai hampir 50 ribu ton sampai dengan Juli 2018.
"Spekulasi bahwa ada penurunan produksi pada musim kemarau yang mengakibatkan harga terdorong naik, sudah tidak tepat lagi. Mari kita ciptakan stabilsasi harga beras pada tingkat yang menguntungkan petani, tidak membebani konsumen dan memberikan keuntungan yang wajar bagi pedagang,” tutup Gatut.(jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Era Mentan Amran, Ekspor Pertanian Jatim Meningkat
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh