jpnn.com, BOGOR - Buah manggis atau si Ratu Buah Tropis banyak dijumpai di kawasan hutan atau perkebunan. Di habitat alaminya, pohon manggis banyak ditemukan tumbuh bersanding dengan pohon durian yang dijuluki Raja Buah Tropis. Manggis terkenal bercita rasa eksotik dan memiliki kandungan zat antioksidan tertinggi di antara buah tropis lainnya. Itulah kenapa manggis banyak diminati konsumen, baik pasar domestik maupun ekspor. Tak banyak yang tahu, selain bernilai ekonomi dan bergizi tinggi, ternyata manggis juga turut berperan dalam perbaikan kualitas lingkungan. Lho kok bisa?
Direktur Buah dan Florikultura Kementerian Pertanian (Kementan) Liferdi Lukman menyebut, pengembangan manggis memberi manfaat ganda, selain manfaat ekonomi langsung juga berpotensi mengurangi emisi karbon.
BACA JUGA: Kementan Cabut 1.147 Izin Merek Pestisida yang Langgar Aturan
"Tanaman manggis adalah salah satu anugerah yang diberikan Tuhan untuk daerah tropis seperti Indonesia. Selain buahnya bernilai komersil tinggi, manggis juga baik untuk konservasi. Tanaman pelindung kota, memperbaiki kualitas lingkungan karena sifatnya yang every green, akarnya kokoh serta batangnya kuat dan elestis. Sangat potensial untuk mendukung upaya pengurangan emisi karbon," ujar Liferdi di sela-sela kunjungan kerja ke kebun manggis PT ALC AGRO Desa Kopo Kecamatan Cisarua, Bogor.
Liferdi menjelaskan adanya Protokol Kyoto 1997 yang mengatur tentang perdagangan karbon. Dalam konteks negara, siapa pun yang melakukan upaya pengurangan emisi misalnya CO2 maka berhak mendapatkan kompensasi. Dengan asumsi 1 ton karbon mendapatkan kompensasi senilai US$ 71. "Sesuai data BPS tahun 2018, kita punya 2,1 juta batang pohon manggis yang sudah menghasilkan atau identik dengan pohon manggis yang sudah berumur tua. Nah, kalau dalam setiap 1 pohon manggis diasumsikan menyimpan 10 kg karbon saja, maka sejatinya sudah berkontribusi mengurangi emisi sebanyak 21.000 ton CO2. Kalau dikalkulasi ekonomi atau diperdagangkan di pasar karbon bisa senilai kurang lebih US$1,49 juta," papar Liferdi.
BACA JUGA: Lagi, Kementan Ekspor Manggis ke Tiongkok
Dalam konteks jasa, lanjut Liferdi, lingkungan tanaman manggis yang telah menghasilkan buah, mampu memberikan manfaat ekonomi lingkungan kepada masyarakat sebesar US$1,49 juta atau Rp 20,8 miliar. "Nilai tersebut baru dari aspek pengurangan emisi, belum nilai ekonomi langsung dari hasil buah dan bagian tanaman manggis lainnya. Terlebih lagi kalau dihitung jasa lingkungannya terhadap pengendalian banjir, erosi dan konservasi air tanah. Luar biasa besar manfaatnya," terang Liferdi yang juga dikenal sebagai pakar manggis tersebut.
Menurut Liferdi, saat ini Ditjen Hortikultura terus menggodog dan menyempurnakan _Grand Design_ pengembangan Hortikultura 2020-2024, yang mensinergikan berbagai aspek terkait dari hulu hingga hilir. Khusus manggis, pihaknya mendorong pengembangan kawasan manggis yang berorientasi pasar modern dan ekspor namun tetap berwawasan lingkungan.
BACA JUGA: Ekspor Manggis Indonesia Meningkat Tajam Tiap Tahun
"Tanaman manggis dikenal sebagai tanaman yang berumur panjang bahkan bisa mencapai ratusan tahun. Tidak serta merta misalnya ditanam sekarang lalu bisa dipetik buahnya 2-3 tahun lagi. Untuk belajar berbuah saja paling tidak butuh 8 tahun. Jadi perlu manajemen pengelolaan kebun dan visi jangka panjang yang kuat terkait kelestarian lingkungan," katanya.
Dirinya menjelaskan, selama fase pertumbuhan awal, tanaman manggis butuh tanaman peneduh terutama pada periode kritis 0 - 3 tahun sejak tanam. Dalam periode tersebut bisa saja dimanfaatkan untuk menanam tanaman sela seperti albasia, pisang atau pepaya agar dalam jangka menengah petani bisa mendapatkan penghasilan lain.
"Selain manfaat ekonomi langsung, harus diingat bahwa pengembangan kawasan manggis juga memberikan manfaat terhadap lingkungan. Nah, kalau sudah bicara kepentingan jasa lingkungan, semua pihak atau stakeholders terkait musti terlibat," tambahnya.
Manajer Operasional PT ALC AGRO, Rusman, mengaku saat ini sudah mengembangkan manggis dalam satu hamparan lahan HGU seluas 90 hektar di Desa Kopo Kecamatan Cisarua, Bogor. "Kami mungkin satu-satunya swasta di Indonesia bahkan di kawasan Asia Pasifik yang menanam manggis secara monokultur dalam satu hamparan yang luasnya mencapai 90 hektar. Target kami bisa mencapai 200 hektar. Coba perhatikan, kawasan manggis yang ada di Indonesia rata-rata masih berupa hutan, bercampur dengan tanaman buah lainnya. Kami ingin bangun kawasan percontohan manggis yang tidak semata bertujuan komersial, namun melekat visi lingkungan alam yang lestari," papar Rusman.
Rusman bercerita, pada awalnya banyak pihak menilai investasi ini sebagai langkah gila dan tidak masuk akal mengingat manggis adalah tanaman tahunan yang umur mencapai panennya relatif panjang. Biaya produksi jika dilakukan pemeliharaan intensif dianggap tidak layak.
"Bayangkan, kami memulai tanam pada 2008, baru di tahun 2016 manggis mulai belajar berbuah. Ada 100 orang yang bekerja di kebun ini. Banyak pihak yang memandang skeptis dan sinis. Belum lagi tanaman manggis ini butuh perlakuan ekstra pada awal-awal penanaman. Awalnya banyak yang iseng mencabuti tanaman manggis kami hingga banyak yang mati," kenang Rusman sedih.
Namun berkat niat dan semangat filantropi yang kuat untuk melestarikan lingkungan dari pemilik perusahaan, Abdul Latief, yang tak lain Mantan Menaker era Presiden Soeharto, upaya pengembangan manggis di kawasan tersebut kini mulai menampakkan hasil menggembirakan.
"Konsep besar beliau adalah memadukan antara kehutanan dan buah produktif untuk konservasi lingkungan. Bagaimana gerakan penghijauan massal di kawasan atas Bogor mampu menanggulangi banjir di sepanjang DAS Ciliwung. Sekarang ini saja dengan menanam manggis 90 an hektar sudah terasa manfaatnya," terang Rusman.
Rusman bercerita, kalau dulu musim kemarau masyarakat sekitar kesulitan air, saat ini air bisa mengalir sepanjang tahun. "Kualitas udara di kawasan ini juga dirasakan masyarakat semakin bersih dan fresh. Aneka jenis burung yang tadinya jarang dijumpai kini semakin banyak muncul," pungkas Rusman senang.(jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh